PWM Riau - Persyarikatan Muhammadiyah

 PWM Riau
.: Home > Artikel

Homepage

PARADIGMA BARU PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

.: Home > Artikel > PWM
24 Mei 2012 02:04 WIB
Dibaca: 9564
Penulis : Dr. Masyitoh Ch, M.Ag

I. Pendahuluan

 

Pada umumnya, para pengamat menganggap bahwa Muhammadiyah adalah organisasi yang paling berhasil dalam pengelolaan pendidikan. Organisasi ini biasanya dipandang mampu melakukan pendefinisian peran yang senantiasa mengikuti perkembangan kedaan zaman. Oleh karena itu, perkembangan internal yang terjadi dalam organisasi ini dalam pengelolaan pendidikan Islam amatlah menarik untuk dijadikan sebagi fokus perhatian.

Organisasi Muhammadiyah adalah sebuah wadah sosial Islam tertua dan terbesar di Indonesia yang bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan dan bercirikan Islam. Jangkauan anggota organisasi ini secara geografis dan etnis sangat luas, bahkan saat ini Muhammadiyah tidak hanya ada di wilayah Indonesia, tetapi juga terdapat di beberapa negara ASEAN, meskipun hubungannya lebih bersifat aspiratif ketimbang instruktif[1].

Sejak awal berdirinya organisasi ini telah dikonsentrasikan pada gerakan Islam secara substansial[2] dan da’wah amar ma’ruf nahi munkar yang mengandung arti luas yakni mengajak manusia untuk beragama Islam, meluruskan keislaman kaum muslim, serta meningkatkan kualitas kehidupan mereka baik secara intelektual, sosial, ekonomi maupun politik. Pengelolaan organisasi dilakukan secara modern. Dikatakan modern karena proses regenerasi kepemimpinan berlaku secara berkesinambungan. Selain itu, tidak terjadi proses kultus individu, yang memandang pimpinan organisasi sebagai sosok individu yang paling sempurna.

Dalam AD-ART bab II pasal 3, dinyatakan bahwa tujuan didirikan Muhammadiyah adalah untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil, dan makmur yang diridhoi Allah SWT, dalam usahanya untuk memurnikan pengamalan ajaran Islam (purifikasi) dan sekaligus mengangkat kehidupan umat. Muhammadiyah berani menerapkan sistem sekolah agama modern yang menerapkan metode rasional dan lebih menekankan pada pemahaman dan penalaran ketimbang hafalan. Sistem ini sangat berbeda dengan sistem pengajaran yang berkembang pada masa didirikannya organisasi ini[3]. Muhammadiyah sering dikatakan hanya melakukan adopsi pendidikan Barat tanpa mengkaji “secara serius aspek filsafat pendidikan yang mendasarinya”. Padahal pendidikan Barat yang diterapkan Belanda tidak dapat dipisahkan dari kegiatan misionaris[4], atau lebih mendasarkan pada nilai pragmatis, artinya cocok dan mudah dipahami oleh masyarakat urban, misalnya salat tarawih delapan rakaat, dan sebagainya yang kadang menimbulkan masalah baru dan tidak kalah pelik dan kompleks. Dengan alasan ini kemudian para cendekiawan menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid (pembaharu), modernis, dan sejenisnya[5]. Jati diri Muhamma-diyah sebagai gerakan tajdid ini semakin diperkuat dengan jargon-jargonnya seperti ijtihad, tidak bermazhab, kembali kepada al-Quran dan al-Hadits, dan sebagainya.

Pada periode awal kebangkitan, Muhammadiyah telah berhasil menjalankan misinya. Banyak data dan fakta yang diajukan untuk mendukung hal ini. Bahkan, dengan gerakan purifikasinya, Muhammadiyah sering dituduh oleh kelompok lain yang tidak sepaham sebagai gerakan “kaum wahabi Indonesia”.

Dalam dinamika proses kelahirannya, Muhammadiyah merupakan gerakan pembaharu atau tajdid, terlebih dari aspek purifikasinya. Setidaknya dalam ukuran tertentu Muhammadiyah telah mengembangkan misi ganda. Pertama, misi purifikasi, yaitu mengembalikan semua bentuk kehidupan keagamaan pada contoh zaman Islam, dengan membentengi keyakinan aqidah Islam serta berbagai bentuk ritual tertentu dari pengaruh sesat. Kedua, dengan landasan universalitas ajaran Islam sesuai dengan tantangan perkembangan kehidupan, terutama pada ajaran yang berkaitan dengan nonibadah, seperti aktivitas yang bersumber dasar ajaran Islam dan hanya memberikan prinsip-prinsip bersifat global.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk mendiskusikan Muhammadiyah dalam aspek gerakannya yang luas, namun lebih memfokuskan pada salah satu aspek gerakan pembaharuan Muhammadiyah yakni gerakan di bidang pendidikan.

 

II. Landasan Filosofis Pendidikan Muhammadiyah

1.      Secara ontologis

Manusia memiliki fitrah yang senantiasa mengadakan hubungan vertikal dengan sang Khaliq (Pencipta) sebagai manifestasi dari sikap teosentris manusia yang mengakui ketuhanan Yang Maha Esa. Manusia yang diciptakan adalah manusia yang mampu mengemban tugas-tugasnya di muka bumi (hubungan horizontal), baik sebagai hamba Allah s.w.t. maupun khalifah-Nya. Untuk dapat mewujudkan fungsi kekhalifahannya, maka seseorang harus:

a.       Memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan.

b.      Bisa melaksanakan tugas/ pekerjaan sesuai dengan ilmu dan keterampilan yang dimiliki.

c.       Bisa menemukan jati dirinya sebagai apa atau siapa dirinya itu.

d.      Bisa bekerja sama dan berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain.

Di sisi lain, seorang khalifah tentunya memiliki pandangan hidup yang setidak-tidaknya dapat diketahui dari jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan berikut[6], apa yang harus diperbuat untuk dirinya; apa yang harus diperbuat untuk alam sekitarnya; apa arti lingkungan sosial bagi dirinya dan apa yang diperbuat untuk lingkungan social serta ppa yang harus diperbuat terhadap keturunan atau generasi penerusnya.

Maka penyusunan kurikulum pendidikan Muhammadiyah adalah untuk:

1)      mengembangkan potensi peserta didik secara optimal serta interaksinya dengan tuntutan dan kebutuhan lingkungannya, tanpa mengabaikan nilai-nilai dan tradisi yang sudah mengakar di masyarakat dan masih relevan untuk dilestarikan.

2)      Menumbuh-kembangkan nilai-nilai moral (akhlaq) dalam konteks perkembangan iptek dan perubahan sosial yang ada.

3)      Menumbuhkembangkan kreatifitas peserta didik.

4)      Memperkaya khazanah budaya manusia, dan

5)      Menyiapkan peserta didik untuk memiliki kecakapan hidup serta mampu dan berani menghadapi tantangan hidup sesuai dengan zamannya yang dijiwai oleh spirit Islam.

 

2.      Secara epistemologis

Pengembangan Pendidikan Muhammadiyah harus memiliki dasar rasional tertentu, yaitu Apa kompetensi hasil didik? Sebagai apa? Siapa yang membutuhkan hasil didik? dan Bagaimana proses pembelajarannya agar tujuan yang diinginkan terwujud?

Agar pendidikan lebih bermakna bagi peserta didik dapat dilakukan dengan menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut:

a.       Lulusan yang kompeten dalam hal apa yang akan dibentuk melalui program pendidikan?

b.      Kemampuan dasar apa dan bagaimana yang harus ditempuh lulusan lembaga pendidikan?

c.       Apa indikator-indikator atau bukti-bukti yang menunjukkan bahwa peserta didik sukses dalam mencapai kemampuan dasar dan hasil belajar yang telah ditetapkan?

d.      Agar peserta didik dapat mencapai indikator-indikator tersebut di atas, maka hal-hal, masalah-masalah, latihan-latihan dan kegiatan-kegiatan apa saja yang harus dikerjakan oleh mereka dalam proses belajar dan membelajarkan?

e.       Apa saja sarana dan sumber belajar, tenaga kependidikan yang seperti apa dan bagaimana, berapa biaya yang diperlukan, dan apa peran dan tanggung jawab pimpinan, unit-unit dan lain-lain untuk mencapai hasil belajar yang diinginkan?

f.       Berapa jam/ sks yang diperlukan untuk dapat mencapai hasil belajar atau mewujudkan indikator-indikator hasil belajar tersebut?

 

3.   Secara aksiologis

 

Pendidikan Muhammadiyah mengarahkan peserta didik pada pengembangan kemampuan menjalankan tugas-tugas atau pekerjaan tertentu. Tugas/ pekerjaan itu bisa berbasis pada:

1)      Kebutuhan pemerintah / kebutuhan user / para pengguna jasa hasil didik.

2)      Kebutuhan pengembangan akademik atau keilmuan.

3)      Kebutuhan lembaga pendidikan itu sendiri, dan

4)      Kebutuhan peserta didik itu sendiri.

 

III.     Visi dan Misi Pendidikan Muhammadiyah

 

1.      Visi Pendidikan Muhammadiyah

-          Terwujudnya manusia muslim, berakhlaq mulia, cakap, percaya kepada diri sendiri, berguna bagi masyarakat dan negara.

-          Sejalan dg tujuan dik-nas: membentuk manusia Indonesia yg beriman & bertakwa kpd Tuhan YME, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri & menjadi warga Negara yg demokratis serta bertanggung jawab”. (UU Sisdiknas, Pasal 3)

2.      Misi Pendidikan Muhammadiyah

-         Berorientasi pd pengembangan SDM & life skills

-         Berorientasi pd stakeholder (persyarikatan, masyarakat, Dunia Usaha dan Dunia Industri-DUDI, ummat, negara)

-         Pengembangan karakter/ SIFAT (Shiddiq, Amanah, Tabligh, Fathanah) para Nabi.              

-          Kompetensi peserta didik yakni kemampuan menguasai keahlian dalam ilmu bidang teknologi

-          Kemampuan menghasilkan karya yang bermutu

 

IV.     Inovasi Pendidikan Muhammadiyah

 

Saat ini dirasakan ada keprihatinan yang sangat mendalam tentang dikotomi ilmu agama dengan ilmu umum. Kita mengenal, bahkan meyakini, adanya sistem “pendidikan agama (Islam)” dan “pendidikan umum”. Kedua sistem tesebut lebih dikenal dengan “pendidikan tradisional”, untuk yang pertama, dan “pendidikan modern” untuk yang kedua. Seiring dengan itu berbagai istilah yang kurang sedap pun hadir ke permukaan. Misalnya, adanya fakultas agama dan fakultas umum; sekolah agama dan sekolah umum. Bahkan dikotomi itu menghasilkan kesan bahwa “pendidikan agama” berjalan tanpa dukungan iptek, dan sebaliknya, “pendidikan umum” hadir tanpa sentuhan agama.

Sehubungan dengan semakin gencarnya pengaruh globalisasi lengkap dengan munculnya berbagai kejadian paradoksal, model-model pemikiran lama dan linear terasa tidak mampu lagi merespon tantangan zaman, seperti terungkap dalam semangat posmodernisme. Dalam proses tersebut, seringkali terjadi peristiwa yang mengejutkan dan manusia kewalahan merespon hasil ciptaannya sendiri. Misalnya, iptek semula diciptakan manusia untuk menjadikan kehidupannya lebih aman dan nyaman, ternyata justru melahirkan krisis makna hidup. Iptek juga berdampak pada perbudakan umat manusia dan kesenjangan sosial budaya. Pada titik ini, iptek merupakan sumber peluang utama dalam memperkokoh eksploitasi antara sesama manusia, dan eksploitasi manusia terhadap alam.

Kemudian oleh orang Islam, sekitar abad ke 8 – 9 M, filsafat dan Iptek Yunani tersebut “diislamkan”, dengan mengganti natural law dengan sunnatullah, yakni hukum alam ciptaan Allah, dan kebenaran duniawi adalah kebenaran relatif yang harus secara terus menerus dikembangkan berdasarkan perspektif kebenaran Tuhan. Dengan demikian, dalam pemahaman nalar metodologi keilmuan yang secara intrinsik menjadi tuntutan universal. Ia didasari, diarahkan, dan dijiwai oleh nilai etik moral Islami, sehingga keduanya akan tetap berkembang dalam perspektif Islam.[7]

Bagi masyarakat awam di Indonesia, nama Syed Muhammad Naquib Al-Attas, pria asli kelahiran Bogor Jawa Barat, 5 September 1931 namun besar di Malaysia tersebut, mungkin terasa asing. Tetapi bagi kalangan akademisi yang pernah membaca karya-karyanya dalam edisi bahasa Indonesia seperti Islam dan Sekulerisme yang pernah populer pada dekade 80-an; Islam dan Filsafat Sains atau Konsep Pendidikan Islam hampir pasti mengenalnya.

Ia mengidentifikasi penyebab kemunduran umat Islam kemudian memberi solusi konseptual secara tepat. Menurutnya, kemunduran umat Islam itu disebabkan oleh lemah dan rusaknya ilmu pengetahuan (corruption knowledge), sehingga tidak mampu lagi membedakan antara kebenaran dan kepalsuan. Karena itu ia menawarkan solusi sentralnya, yakni pembenahan ilmu pengetahuan umat Islam secara fundamental yang lebih populer dengan “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”, suatu istilah yang hingga kini acap disalahpahami dan menjadi sebuah kontroversi.

Ide islamisasi sebenarnya berangkat dari asumsi bahwa ilmu pengetahuan tidak bebas nilai atau netral.  Betapapun diakui pentingnya transfer ilmu Barat ke dunia Islam, ilmu secara tak terelakkan susungguhnya mengandung nilai-nilai yang merefleksikan pandangan dunia masyarakat yang menghasilkannya, dalam hal ini masyarakat Barat.  Bagi Al-Attas, sebelum diajarkan lewat pendidikan, ilmu harus ditapis terlebih dulu agar nilai-nilai yang bertentangan secara diametral dengan pandangan dunia Islam dapat diminimalisasi. Secara ringkas, gagasan islamisasi merupakan upaya dekonstruksi terhadap ilmu pengetahuan Barat untuk kemudian direkonstruksi ke dalam sistem pengetahuan Islam.[8]

Bertolak dari konsep manusia yang bersifat integral-holistik tadi, maka sistem pendidikan Muhammadiyah berorientasi kepada persoalan dunia dan ukhrawi sekaligus. Meski ada lembaga pendidikan Muhammadiyah yang cenderung mementingkan dimensi keakhiratan semata dari pada keduniawian. Tentu saja, sistem pendidikan Muhammadiyah berbeda dengan konsep tabularasa dari John Locke (1632-1704), yang memandang jiwa manusia dilahirkan sebagai kertas putih bersih yang kemudian sepenuhnya tergantung pada tulisan yang mengisinya ke mana jiwa itu akan dibentuk dan dikembangkan, dengan kata lain, tergantung pada kepribadian macam apa yang ingin dikembangkan oleh pendidik dan masyarakat.[9]

Paradigma baru pendidikan Muhammadiyah yang dimaksud disini adalah pemikiran yang terus menerus harus dikembangkan melalui pendidikan untuk merebut kembali pendidikan iptek, sebagaimana zaman keemasan Islam dulu.

Baru-baru ini sebagaimana dilansir Koran Tempo dan website Hidayatullah.com Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa tengah melakukan ujicoba untuk menerapkan kurikulum syariah di SD Muhammadiyah Surakarta dengan mengintegra-sikan al-Quran dan Hadis. Kurikulum syariah tersebut diluncurkan, Sabtu (11/6) atas kerja sama PWM Jateng dengan UNS Solo, serta didukung International Development Partners (IDP) di Auditorium Kampus UNS. Kurikulum yang diterapkan kali pertama di SD Muhammadiyah Program Khusus Surakarta itu, merupakan kurikulum baru berbasis ajaran Islam.

Menurut Prof. Drs. Moch. Sholeh YA Ichrom, MA, Ph.D, penggagas kurikulum itu bahwa kurikulum syariah tetap berpijak pada kurikulum nasional yang dimodifikasi sesuai dengan ajaran menjadi seorang muslim. Guru besar FKIP UNS tersebut mengemukakan, kurikulum yang dikembangkan Majelis Dikdasmen Muhammadiyah itu merupakan kurikulum yang mengintegrasikan ajaran-ajaran pendidikan dalam al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad, dengan mata pelajaran pada kurikulum umum. Setiap pelajaran, apakah itu IPA, matematika, atau lainnya, didasarkan kepada ajaran dalam Kitab Suci.[10]

Ketua PWM. Jateng, Dahlan Rais, berencana mengembangkan kurikulum syariah tersebut di lingkungan Muhammadiyah. Namun karena program itu baru kali pertama di Indonesia, maka pihaknya akan menerapkan kurikulum itu sebagai pilot project dulu.

Setiap inovasi untuk perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan, tentulah kita apresiasi dan kita dukung. Namun, sejauhmana inovasi berhasil, harus kita kaji dalam-dalam baik manfaatnya bagi anak didik serta peluang dan tantangannya maupun akses-akses lain yang ditimbulkannya.

Mencermati inovasi kurikulum syariah yang dikembangkan PWM. Jateng, secara kritis kita dapat mengajukan pertanyaan. Mengapa diperlukan kurikulum syariah? Apakah kurikulum yang ada belum menjawab kebutuhan? Bagaimana isinya? Metode dan tujuannya? Jika jawabannya tidak ada perbedaan substansial antara kurikulum syariah dan kurikulum yang ada, maka inovasi tersebut tak lain hanya sekedar merubah nama supaya terlihat lebih “islami” karena ditambahkan kata syariah.

Pada kesempatan ini, penulis mencoba merumuskan beberapa inovasi yang harus dilakukan dalam pendidikan Muhammadiyah sebagai berikut:

1.      Penegasan karakter Sistem Pendidikan Muhammadiyah sbg bagian dari Sisdiknas

2.      Perubahan fundamental Sistem Pendidikan Muhammadiyah, dg pendekatan pendidikan sistem ganda (Model Pendidikan Jerman)

3.      Mengembangkan model Kurikulum Syariah, dg pendekatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan yg sesuai dg kebutuhan stakeholder

4.      Meningkatkan kualitas & kualifikasi guru

5.      Menetapkan standar profesional guru, tdk hanya standar kelulusan & kompetensi siswa

6.      Mengembangkan MBS di tiap-tiap unit penyelenggara pendidikan Muhammadiyah

7.      Mengembangkan dan mengintegrasikan TI ke dalam lembaga pend. Muhammadiyah yg terdiri dari 2 modul:

         - Sistem Informasi Manajemen Sekolah (SIMAS) yg mencakup:

           a.  Sistem Administrasi, dan

       b. Sistem Akademik yg ditunjang oleh Database: Guru, Karyawan, Siswa, Aset & inventaris sekolah

        - e-Learning à sbg alat, media & sumber belajar

 

V.   Mengagendakan Aksi Program Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah

·         Menyelenggarakan studi atau kajian tentang arah baru model pendidikan Muhammadiyah termasuk kurikulum dan perangkat-perangkatnya.

·         Menyelenggarakan studi atau kajian tentang standar profesionalisme guru dan lulusan atau kompetensi peserta didik

·         Menyelenggarakan diklat MBS bagi penyelenggara sekolah.

·         Mengembangkan TI bagi proses dan pengelolaan pendidikan.

·         Menyelenggarakan tugas belejar dan diklat bagi guru dalam rangka meningkatkan kualitas, kualifikasi  dan profesionalisme guru.

·         Dengan desentralisasi pendidikan, dimungkingkan menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga lain dalam rangka meningkatkan mutu sekolah, namun demikian harus relevan dengan kondisi global dan kebutuhan daerah serta merata pada masyarakat setempat.

 

Berdasarkan uraian sebagaimana terdapat pada pembahasan diatas bahwa berbagai inovasi dalam pendidikan Muhammadiyah bukanlah sesuatu hal yag mustahil tetapi harus terus dikembangkan dan diberikan apresiasi yang setingi-tingginya, selama inovasi tersebut tidak melanggar undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku serta dalam rangka memperbaiki model-model pendidikan yang ada. Dalam pengembangannya, implementasi dari berbagai inovasi dibutuhkan kajian yang serius dan mendalam agar siapapun yang terlibat dalam pendidikan maupun masyarakat Indonesia akan memperoleh keuntungan dari inovasi tersebut.

 

 

 

 

 


[1] Azyumardi Azra, Muhammadiyah dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, dalam Ulumul Al-Quran, Nomor 2 Vol. VI, 1995.

[2] Ahmad Syafi’i Ma’arif, Muhammadiyah dan High Politik, dalam Ulumul Quran, Nomor 2 Vol. VII, 1995, h. 5.

[3] Ira M Lapidus, A History of Islamic Societies, London: Cambridge University Press, 1989, h. 76.

[4] Karel A. Steenbrink, Kawan Dalam Pertikaian: Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia 1596-1942, Bandung: Mizan, 1995, h. 22 – 23.

[5] Harry J. Benda, The Cresent and Rising Sun, Indonesian Islam Under the Japanese Occupation, 1942-1945, Terj. Daniel Dhakidae, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980, h. 70

[6] Arief Furchan, [et. al], Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi di Perguruan Tinggi Agama Islam, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2005, h. 46.

[7] Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, cet. II, 1999, h. 9.

[8] Nita Yushofa, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Sebuah Upaya Pembebasandalam world wide web http: //www.mizan.com/portal/template/BacaResensi/resensiid/202

[9] Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, h. 25.


Tags: pwmriau

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website