PWM Riau - Persyarikatan Muhammadiyah

 PWM Riau
.: Home > Artikel

Homepage

SINAR SANG SURYA DI BUMI LANCANG KUNING (1)

.: Home > Artikel > PWM
22 Juli 2016 22:15 WIB
Dibaca: 2464
Penulis : Tim Penulis

 

Sejarah dan Pembaharuan Muhammadiyah di Riau

 

BAB I 

PENDAHULUAN

 

            Secara umumpara sejarawan menggambarkan bahwa gerakan Wahabi yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1787) merupakan sebuah gerakan yang mencengangkan, karena ia mampu menghidupkan kembali dinamika dunia Islam. Walaupun sepak terjang kaum Wahabi lebih bercorak pemurnian,1 namun tidak sedikit orang yang menilainya sebagai pembaharuan. Ide-idenya amat mencengangkan serta berpengaruh terhadap kehidupan keagamaan kaum muslimin pada waktu itu.

            Di saat revolusi Wahabi berkobar, pada waktu itu terdapat tiga orang Minangkabau yang bermukim di Tanah Suci, yaitu Haji Sumanik, Haji Piobang, dan Haji Miskin. Mereka pulang ke daerah asalnya pada tahun 1803 dengan membawa semangat Wahabi yang membawa faham-faham baru yang bertentangan dengan banyak tradisi yang hidup di tengah-tengah kaum muslimin.2 Kehidupan tiga ulama muda ini merupakan cikal bakal gerakan Paderi dan aktivitas pembaharuan,3 khususnya di Minangkabau dan umumnya di Indonesia.

            Akibat dari pikiran-pikiran baru yang disosialisasikan oleh kelompok muda dan berhadapan dengan kepercayaan-kepercayaan tradisional lama, lahirlah istilah “kaum muda” dan “kaum tua”. Golongan pertama dinisbatkan sebagai kaum muda, sebagai kelompok pem-baharu, sedangkan golongan yang mempertahankan kemapanan dan kebiasaan lama diberi julukan “kaum tua”.

            Aktivitas kaum muda di Minangkabau sangat ber-pengaruh terhadap masyarakat, terutama disebabkan kesungguhannya dalam memasyarakatkan ide-idenya. Banyak tokoh intlektual lagi khrismatik yang lahir dari puak ini, seperti Ahmad Khatib al-Minangkabawi, sebagai tokoh pembaharu generasi kedua di Minangkabau. Dari tokoh ini kemudian lahir bibit-bibit muda lain yang amat energik, seperti Muhammad Jamil Jambek, H. Abdul Kadir Amarullah, H. Abdullah Ahmad, dan Ibrahim Musa. Di tangan kelompok terakhir inilah gerakan kaum muda semakin berkembang serta diterima oleh masyarakat. Sebab, selain mereka itu dikenal sebagai ulama dan intelektual, sosialisasi ide mereka pun dilakukan secara modern, seperti melalui lembaga pendidikan dan publikasi tertulis.4

            Bersempena dengan keadaan di atas, di Jawa lahir pula suatu perkumpulan yang dipelopori oleh kaum modernis dengan Dahlan sebagai tokoh sentralnya. Atas anjuran teman-temannya, ia pun mendirikan Muhammadiyah pada 18 Nopember 1912 di Yogyakarta dengan maksud “menyebarkan pengajaran kanjeng Nabi Muhammad SAW. kepada penduduk bumi putera dan memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya”.5 Ia mendirikan berbagai lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan tabligh yang membicarakan masalah-masalah Islam, mendirikan wakaf dan masjid-masjid serta menerbitkan buku-buku, brosur-brosur, surat kabar dan majalah.

            Kendatipun antara kaum muda di Sumatera dan kaum pembaharu di Jawa tidak memiliki kontak dan hubungan sama sekali, namun karena persamaan ide, kedua kelompok ini dapat sejalan. Majalah Al Munir yang terbit di Padang pada tahun 1911-1916, rupanya menjadi bacaan pula oleh Dahlan dan kawan-kawannya di Jawa.

            Ketika H. Abdul Karim Amarullah melakukan perjalanan ke tanah Jawa dalam tahun 1917 untuk menghubungi pelanggan Al Munir di Betawi, Bandung, dan Surabaya, maka ia mampir di Yogyakarta. Sewaktu ulama pembaharu dari Sumatera Barat ini turun di Stasiun Tugu, maka ia disambut Dahlan dan kawan-kawannya. Tiga hari lamanya H. Abdul Karim Amarullah, yang disebut H. Rasul ini bertamu di Kauman, dan sepulang dari sana ia lalu mengembangkan Muhammadiyah di Minangkabau.6

            Boleh dikatakan bahwa pada dekade dua puluhan, pendidikan modern, sebagaimana pendidikan tradisional, dalam bidang keagamaan, sudah merata di Minangkabau. Masyarakat Riau, khususnya dari daerah Kampar, mulai menuntut ilmu ke sana pada dekade tiga puluhan. Payakumbuh, sebagai kota di Minangkabau yang terdekat dengan daerah Riau mulai dijadikan sasaran untuk tempat memburu ilmu agama Islam, selain dari kota-kota lainnya, oleh para pemuda muslim, terutama yang berasal dari Kampar.

            Angkatan pertama yang menjadi musafir ilmu bertolak menuju Belubus, sebaga suatu daerah di Utara Payakumbuh, tempat berkembangnya kegiatan tarekat, sehingga warga tarekat amat kental mewarnai kehidupan angkatan ini. Menyusul angkatan berikutnya, variasi tujuan pun muncul, bukan hanya memburu ilmu ke sarang terekat. Angkatan ini sudah mulai ada yang menuju Parabek di Bukittinggi, serta ke Taram dan Perambahan, keduanya di Payakumbuh. Santri yang menimba ilmu ke Parabek dan Perambahan berarti mereka menuju ke daerah yang dibina oleh kaum pembaharu, sebab dua lembaga yang disebut ini merupakan institusi milik kamu muda, sedangkan yang ke Taram merupakan milik dan binaan kaum tua. Keadaan ini merupakan awal dari masuknya unsur modernisme ke kalangan pemuda Riau yang belajar ilmu agama Islam yang kemudian mengilhami mereka mengembangkannya di daerah asalnya.

            Perlu dicatat bahwa tidak seluruh pelajar yang menuntut ilmu di lembaga milik kaum muda itu cenderung kepada gerakan kaum muda, termasuk kepada Muhammadiyah. Contoh konkritnya adalah H. Zain Wahidi yang mendapatkan pendidikan di Parabek yang kemudian menjadi tokoh Perti di Kampar. Di antara pelajar yang menghidupkan dan mem-pelopori kegiatan kaum muda sepulang ke kampung halamannya adalah Ahmad Rasyid di Penyasawan, Abdullah Sani di Air Tiris, serta H. Khatib dan H. Shamad di Tanjung Belit. Dua terakhir ini berasal dari Bukittinggi dan dibesarkan serta menghabiskan umurnya di Kampar. Pada mulanya mereka tidak menyebut dirinya sebagai orang Muhammadiyah, melainkan mengidentikkan diri sebagai kaum muda.

            Menurut informasi global dapat disebutkan bahwa pelopor pertama Muhammadiyah di Kampar adalah Ayip Syahrafi di Kuok, sedangkan orang di Penyasawan adalah Buya Rasyid, yang dibantu oleh para pelajar yang menamakan dirinya kaum muda. Di Penyasawan inilah cabang Muhammadiyah yang pertama untuk Kampar, bahkan mungkin untuk Riau. Dengan demikian, Muhammadiyah di Kampar banyak dibantu oleh para kaum muda Kampar dan orang-orang Minangkabau.

            Dapat dikemukakan bahwa perkembangan Muham-madiyah di Riau bukan hanya dari daerah Payakumbuh melalui jalur Kampar. Ada dua daerah lainnya yang menjadi basis pengembangan Muhammadiyah di Bumi Lancang Kuning yang tidak kalah menariknya untuk dipelajari, yaitu Bagan Siapi-api dan Lubuk Jambi. Muhammadiyah masuk dan berkembang di Lubuk Jambi (Indragiri Hulu) melalui kontak langsung dengan Minangkabau, kendatipun bagaimana bentuk kontaknya itu masih menjadi tanda tanya. Berbeda dari dua daerah tersebut di atas, lahir dan ber-kembangnya Muhammadiyah di Bagan Siapi-api, bukanlah melalui kontak langsung dengan Minangkabau, melainkan bersinggungan dengan Muhammadiyah Sumatera Utara.

            Menurut informasi, pada dekade tiga puluhan, Muhammadiyah secara resmi telah eksis di tiga daerah di atas. Dihubungkan dengan kenyataan tersebut, sudah tentu ada babak-babak sejarah yang perlu disingkap tentang bagaimana proses sosialisasi Muhammadiyah di masa awal itu. Sebab sebagaimana diketahui bahwa kedatangan persyarikatan ini ke suatu daerah pada mulanya selalu disambut secara dingin, terutama mendapat tantangan dari “kaum tua”. Memperkenalkan Muhammadiyah dengan seperangkat idenya yang mungkin sangat asing untuk masa itu jelas bukan pekerjaan mudah, termasuk memasyarakatkannya kepada orang banyak.

            Kendatipun sangat diperlukan penelaahan yang mendalam tentang proses masuk dan berkembangnya Muhammadiyah ke Riau, namun yang pasti bahwa pada tahun 1937 telah berdiri konsulat Muhammadiyah di Indragiri Hulu, bahkan sangat mungkin sebelum masa itu. Menurut penuturan Buya Hamka, pada tahun 1937 itu Muhammadiyah pernah melaksanakan konferensi di Rengat, yang antara lain dihadiri oleh Dr. Abdul Karim Amarullah.7 Bagaimanakah gerak langkah Muhammadiyah sejak ia masuk wilayah Riau sampai masa pelaksanaan konferensi itu ? Juga termasuk salah satu misteri yang amat perlu dikuak.

            Kekaburan perjalanan sejarah Muhammadiyah bukan hanya terbatas pada lintasan waktu di atas. Bagaimana wujud Muhammadiyah dengan segala bentuk aktivitasnya, termasuk tantangan dan permasalahan yang dihadapinya sebelum kemerdekaan, juga suatu persoalan misterius. Lebih dari itu, gerakan Muhammadiyah di Riau pasca kemerdekaan pun masih kabur, karena belum pernah dikaji secara sungguh-sungguh. Berkaitan dengan kenyataan tersebut, sampai saat ini paling berani kita hanya bisa berkata bahwa pada masa Pemilu 1955, warga Muhammadiyah di daerah ini telah membawa label Muhammadiyah ke panggung politik dengan menyalurkan aspirasi politiknya melalui Masyumi.

            Sampai sekarang keberadaan Muhammadiyah di Melayu Riau secara legal organisasi yang baru terungkap hanyalah bahwa setelah Riau menjadi propinsi tersendiri, maka pada tanggal 8 Oktober 1961 keluarlah Surat Keputusan Ketetapan Pimpinan Pusdat Muhammadiyah Yogyakarta Nomor 4/II.A yang menyatakan berdirinya Muhammadiyah Riau dengan wilayahnya “melingkupi Daerah Swatantra Tingkat I Riau”. Kemudian, terhitung sejak 15 Nopember 1966 Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yogyakarta mengeluarkan Keputusan Nomor C.3AV/66 yang isinya menegaskan berdirinya Muhammadiyah Riau yang wilayahnya meliputi daerah Riau Daratan dan Riau Kepulauan. Maju mundumya organisasi ini setelah periode itu sampai kini belum pernah diungkapkan secara jelas.

            Di masa penggayangan PKI di Riau, orang-orang Muhammadiyah diperkirakan cukup aktif bersama berbagai kesatuan aksi lainnya. Paparan sejarah dalam bidang ini masih belum pernah terlihat, selain hanya informasi global meng-gambarkan bahwa warga Muhammadiyah termasuk mempergunakan mimbar masjid/mushalla sebagai salah satu media untuk menghantam PKI, yang tergabung dalam Kesatuan Aksi-aksi Masjid Seluruh Indonesia (KAMSI).

            Kini, Muhammadiyah di Riau sudah berkembang ke berbagai penjuru, bahkan sampai ke desa-desa, dengan segala plus minusnya. Menurut data terakhir, di  propinsi ini terdapat (…..?)Cabang Muhammadiyah di bawah naungan 7 Pimpinan Daerah. Amal-amal usaha yang dijalankannya cukup beragam, seperti pendidikan, kesehatan, pemeliharaan anak terlantar, pembangunan dan pembinaan rumah ibadah, dan sebagainya. Walaupun keberadaan persyarikatan ini tidak mungkin dinafikan melalui berbagai aktivitasnya serta anggotanya menyebar di berbagai kalangan masyarakat, namun kekaburan proses masuk, berkembang, dan eksisnya Muhammadiyah di Riau tidak boleh diabaikan. Bahkan sebaliknya, dituntut untuk diungkap secara jujur dan jernih sebagai sebuah perjalanan historis yang akan memperkaya catatan sejarah masyarakat bumi Lancang Kuning di Riau ini.

 

Catatan:

1  Wahabi disebut sebagai reformis, bukan modernis, karena titik tekan perhatian dan aksinya terarah pada soal-soal akidah, sebagai hal yang paling mendasar dalam Islam. Menurut kelompok ini, kegiatan umat Islam sudah jauh menyimpang dari ajaran tauhid yang diajarkan al-Quran dan Sunnah, sehingga banyak umat yang terjerumus ke jurang syirik atau politeisme. Lihat rincian gagasannya dalam Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gagasan ( Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hal. 24-25.

2  M.D. Mansoer, et.al., Sedjarah Minangkabau (Jakarta: Bhratara, 1970), hal. 119-120.

3  Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1980), hal. 30.

4  Di antara lembaga pendidikan yang didirikannya adalah Sekolah Adabiyah di Padang dipelopori Abdullah Ahmad, Surau Jembatan Besi yang kemudian dikenal dengan Thawalib di Padang Panjang oleh H. Abdul Karim Amarullah, Thawalib di Parabek (Bukittinggi) oleh Ibrahim Musa. Dari sini bermunculan pulalah lembaga-lembaga pendidikan modern lainnya ke seluruh Minangkabau, di samping pendidikan tradisional yang sudah lama ada.Majalah yang diasuh kaum muda pada waktu itu ialah Al Imam yang diasuh oleh Syaikh Thaher Jalaluddin di Singapura dan Al Munir yang disponsori oleh Abdullah Ahmad dan kawan-kawan di Padang.

5  Deliar Noer, op.cit., hal. 86.

6  Hamka, Muhammadiyah di Minangkabau,(Jakarta: Yayasan Nurul Islam, tt.), hal. 7-10.

7  Ibid., hal. 36.

 

 

BAB II

MUHAMMADIYAH DAN CITA PEMBAHARUAN

 

A. Munculnya Gerakan Modernisme

            Bila ditelusuri secara historis, pemikiran tentang modernisme Islam muncul di Timur Tengah untuk mengatasi masalah semakin mundurnya kehidupan umat Islam, akibat dominasi Barat atas negeri-negeri yang penduduknya beragama Islam. Sungguhpun secara praktis bangsa Barat datang membawa ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memodernisasikan bidang produksi dan kehidupan sosial, sehingga dapat meningkatkan hasil produksi –dan tentu hal ini membawa kemajuan–, namun pada pihak lain juga berdampak negatif, yaitu mundurnya kehidupan dalam bidang penghayatan agama. Hal ini sebagai akibat adanya perubahan pandangan hidup dari kehidupan religius menjadi  lahirnya sikap materialistis dan hedonistis.1 

            Sebagaimana diketahui bahwa ketika tiga kerajaan besar Islam sedang mengalami proses kemunduran pada abad ke-18 M, Eropa Barat justru mengalami kemajuan pesat karena ilmu pengetahuan yang dikembangkan dan teknologi yang ditemukannya. Kerajaan Safawi di Persia hancur di awal abad ke-18 M, dan Kerajaan Mughal di India hancur pada paro abad ke-19 M oleh Inggris, yang kemudian Inggris menguasai anak benua India ini. Sisa kekuatan Islam terakhir yang masih tinggal adalah Kerajaan Turki Usmani.2 Akan tetapi, semenjak wafatnya Sulthan Sulaiman al-Qonuni (1566 M), kerajaan ini telah memasuki era kemundurannya. Sampai dengan  paro pertama abad ke-19 M tidak terlihat kembali adanya tanda-tanda kebangkitan. Satu-persatu negeri-negeri di kawasan Eropa yang dahulunya dikuasi oleh Turki Usmani mulai memerdekakan diri sehingga daerah kekuasaannya semakin menyempit.

            Bersamaan dengan memudarnya reputasi Islam itu, para tokoh Islam mulai menyadari kelemahannya. Pada gilirannya muncullah gerakan modern di dunia Islam, meskipun pada umumnya daerah-daerah mereka secara politis masih dalam dominasi kekuatan Barat.

Paling tidak ada dua hal yang mendorong munculnya pemikiran pembaharuan di dunia Islam. Pertama, munculnya kesadaran di kalangan tokoh-tokoh Islam bahwa banyak ajaran “asing” yang telah menyusup ke dalam ajaran Islam, berupa bid`ah, tahayyul, ta`asub, kesukuan, khurafat, dan lain-lain, yang mana ajaran sikap tersebut jelas bertentangan dengan dasar-dasar keyakinan Islam maupun semangat dinamisnya. Ajaran-ajaran “asing” itulah, menurut mereka, yang menyebabkan kelemahan dan kemunduran umat Islam. Oleh sebab itu, mereka bangkit untuk membersihkan dan memurnikan-nya kembali sesuai dengan ajaran al-Quran dan al-Sunnah.

Kedua, dominasi politik dan peradaban Barat yang telah mencapai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologinya, bersentuhan secara langsung dengan umat Islam yang sedang mengalami proses kemunduran dan disintegrasi. Persentuhan peradaban ini pada sisi tertentu dapat membuat para tokoh Islam sadar akan kelemahan dan ketertinggalan mereka. Karena itu, mereka berusaha bangkit untuk mencontoh Barat dalam bidang politik dan peradaban dengan memperbaharui interpretasi atau pemahaman-pemahaman yang lama terhadap Islam untuk disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern.3 

Berdasarkan dua hal yang munculnya pemikiran pembaharuan di atas, dapat dilihat bahwa pembaharuan dalam Islam dapat bermakna ganda, yaitu purifikasi dan modernisasi. Kesadaran yang muncul dalam bentuk purifikasi dimaksudkan untuk membersihkan ajaran Islam, terutama dalam bidang ‘aqidah, dari pengaruh ajaran “asing” yang melemahkan sehingga membuat orang Islam tertinggal dari orang Barat. Sementara usaha modernisasi dilakukan dengan memperbaiki dan mengadakan reinterpretasi terhadap pemahaman ajaran Islam, terutama  hal-hal yang berkenaan dengan mua‘amalah, untuk disesuaikan dengan kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh Barat.

Di dalam Kerajaan Usmani sendiri sebenarnya akar-akar pemikiran ke arah pembaharuan telah muncul semenjak Sulthan Ahmad III berkuasa (1703-1730 M).4 Meskipun usaha tersebut masih terbatas pada bidang kemiliteran, namun usaha ini telah menjadi pondasi bagi para penguasa selanjutnya untuk berbuat yang sama, hingga pembaharuan di Turki Usmani itu mencapai momentumnya pada masa Sulthan Mahmud II (1807-1837 M). Salah satu andil penting dari Sulthan Mahmud II ialah tumbuhnya benih-benih modernis yang pada perkembangan selanjutnya dikenal dengan priode Tanzhimat (1839-1876),5 pada zaman inilah pembaharuan di Turki Usmani memperoleh bentuknya.6  

Pada periode yang sama, Mesir pun yang sebenarnya juga merupakan daerah otonomi Turki Usmani, telah memulai pembaharuannya pada masa Muhammad Ali Pasya (1805-1849 M). Walaupun yang menjadi titik pembaharuannya masih dalam bidang militer, namun dapat dipahami bahwa selain kuatnya dalam bidang militer demi mem-pertahankan rezim yang berkuasa, usaha ini secara tidak langsung telah membawa pengaruh besar terhadap munculnya gerakan pemikiran modern di Mesir.

Tokoh pemikiran pembaharuan yang muncul dari usaha Ali Pasya ini adalah al-Tahtawi (1801-1873), seorang alumni al-Azhar, yang kemudian diangkat menjadi imam para tentara Mesir (1824 M). Dua tahun kemudian ia dikirim ke Perancis untuk menjadi imam para mahasiswa Mesir yang sedang ditugaskan untuk mempelajari teknologi militer.7 Di samping bertugas pokok sebagai imam mahasiswa, al-Tahtawi juga memanfaatkan kesempatannya itu untuk mempelajari berbagai perkembangan modern di Barat, sehingga sepulangnya dari Perancis ia mulai mengemukakan pemikiran-pemikiran pembaharuannya yang tidak hanya terbatas pada bidang militer, tetapi meliputi bidang pendidikan, pemerintahan, emansipasi wanita dalam mem-peroleh pendidikan, dan lain-lain.

Gerakan pembaharuan di Mesir terus berlanjut hingga memasuki abad ke-20 M. Bersamaan dengan semakin kuatnya cengkeraman Barat, terutama Inggris dan Perancis, terhadap campur tangan politik di Timur Tengah, muncullah tokoh-tokoh pembaharuan di Mesir yang menaruh perhatian secara intens terhadap masalah politik. Munculnya para tokoh ini boleh jadi akibat semakin ruwetnya persoalan yang timbul di dunia Islam, terutama yang telah dimasuki oleh campur tangan bangsa Barat, yang bukan hanya dihadapi dengan kekuatan militer, tetapi harus dihadapi pula dengan kemampuan diplomasi politik.

Pada pihak lain para tokoh Islam bukan hanya yang menghadapi bagaimana untuk membendung dominasi Barat, tetapi juga untuk memperbaiki masalah-masalah intern umat Islam sendiri, seperti tindakan para penguasa yang rakus, perpecahan antara keluarga aristokrat, kebodohan  di kalangan umat Islam, dan lain sebagainnya.

Salah seorang ulama sekaligus politikus pada periode ini adalah Jamaluddin al-Afghani (1839-1897 M), yang sebagaimana dikemukan oleh Stoddard, bahwa al-Afghanilah orang pertama yang menyadari sepenuhnya akan di Barat dan bahayanya.8 Oleh karena itu, ia mengabdikan dirinya untuk memperingatkan dunia Islam akan hal itu dan melakukan usaha-usaha untuk pertahanan. Umat Islam menurutnya, harus meninggalkan perselisihan-perselisihan dan berjuang di bawah panji-panji kebersamaan. Namun ia juga berusaha membangkitkan semangat lokal dan nasional di negeri-negeri Islam.

Usaha Jamaluddin al-Afghani mendapat sambutan hangat dari muridnya sekaligus menjadi sahabat seperjuangannya, Muhammad Abduh (1849-1905 M), setelah pertemuan mereka yang pertama pada tahun 1871 M ketika Jamaluddin melawat ke Mesir dan menetap di sana.9 Walaupun pada mulanya Muhammad Abduh juga bergerak dalam bidang politik sebagaimana Jamaluddin,10 namun kemudian ia lebih memfokuskan usaha pembaharuannya pada bidang pendidikan dan pengajaran, menulis, dan menerjemahkan buku-buku ke dalam bahasa Arab. Beberapa karyanya yang penting adalah, seperti Risalah al-Tauhid yang ditulis ketika mengajar di Madrasah Shulthaniyah, Tafsir Juz ‘Amma, alIslam wa al-Nashraniyyah, dan lain-lain.

Setelah Muhammad Abduh wafat, ide-ide pem-baharuan dilanjutkan oleh murid-muridnya, terutama Rasyid Ridha (1865-1935), seorang muridnya yang terdekat. Di samping ia sebagai pelanjut karya monumental Muhammad Abduh – Tafsir al-Manar – ide-ide yang dikemukakan oleh Rasyid Ridha juga tidak jauh berbeda dari Abduh. Dalam melaksanakan pembaharuannya, bidang pendidikan dan pengajaran lebih menjadi pusat perhatiannya. Menurutnya, jalur pendidikan dan pengajaran ini lebih mantap dan langgeng, walaupun ia juga mengakui bahwa pembaharuan dalam bidang politik lebih cepat dan praktis. Oleh sebab itu, kedua jalur tersebut mesti saling menunjang.11 

            Berkenaan dengan situasi kemunduran umat Islam tersebut, Rasyid Ridha berpendapat bahwa umat Islam mundur karena tidak menganut ajaran Islam yang sebenarnya. Umat Islam telah mengamalkan ajaran-ajaran serta perbuatan-perbuatan yang menyeleng dari ajaran Islam yang murni. Ajaran bid‘ah seperti ajaran kekuatan batin yang membuat pemiliknya dapat memperoleh apa saja yang dikehendakinya, telah menyusup ke dalam ajaran Islam dan merajalela dalam kehidupan umat Islam. Oleh karena itu, umat Islam harus dibawa kembali kepada ajaran yang murni, yang bersih dari bid‘ah dan khurafat.12

            Semangat dan ide-ide pembaharuan yang menggema di Mesir ini akhirnya menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam, terutama ke daerah-daerah Asia Tenggara yang merupakan satu-satunya wilayah di dunia yang mempunyai penduduk muslim terbesar, di luar wilayah Islam yang terbentang dari Afrika Barat Daya hingga Asia Selatan.13 Di antara sekian banyak daerah muslim di Asia Tenggara, kepulauan Nusantara merupakan bagian terpenting yang paling tidak sejak  awal abad ke-19 M, sebagaimana diakui oleh Alfian, telah muncul bibit-bibit pembaharuan –bercorak Wahabi– yang ditandai dengan kepulangan tiga orang haji dari studinya di Mekah.14 

Berkembangnya ide-ide pembaharuan dari Timur Tengah ke daerah-daerah kepulauan Nusantara itu menjadi sangat mungkin, oleh karena salah satu penyebabnya adalah semakin meningkatnya jamaah haji Indonesia sejak akhir abad ke-19 M, hingga awal abad ke-20 M.15 Jamaah haji bukan hanya ingin menunaikan ibadah haji semata-mata, akan tetapi hal yang tidak kalah pentingnya bagi mereka adalah semangatnya untuk belajar Islam langsung dari tempat kemunculannya tersebut. Tidak dapat dielakkan bahwa para pelajar yang bearasal dari tanah “Jawi” itu mesti bersentuhan, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan gagasan-gagasan pembaharuan yang sedang berkembang di Timur Tengah saat itu.16 Hampir dapat dipastikan bahwa dari kelompok inilah yang menjadi penggerak utama pem-baharuan di kepulauan Nusantara pada awal abad ke-20 itu.

            Ketika ide-ide pembaharuan masuk ke Indonesia, secara berangsur-angsur pemikiran dan pemahaman tentang Islam di Indonesia terpolarisasi ke dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu umat Islam yang masih berpegang pada tradisi abad pertengahan, umat Islam dari kalangan cendikiawan yang umumnya berpendidikan Barat, dan kelompok cendikiawan muslim yang dengan seluruh kemampuannya mencoba mempertemukan antara ajaran Islam dengan seluruh sistim filsafat hidup berdasarkan fenomena baru yang muncul dari kebudayaan Barat.17

            Dari kelompok pertama muncul anggapan bahwa apa yang telah dihasilkan oleh para ulama terdahulu, terutama buah karya imam madzhab yang empat –Malik, Abu Hanifah, Syafi‘i, dan Ahmad bin Hanbal–, dinilai sebagai sesuatu yang telah final, dan oleh sebab itu tidak mungkin lagi terdapat buah pemikiran yang sanggup menandinginya. Pandangan ini menimbulkan rasa skeptis dalam tubuh kaum muslimin serta rasa ketidakmampuan diri dalam memecahkan masalah-masalah agama yang muncul bersamaan dengan semakin kompleksnya kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, ber-taqlid merupakan alternatif keharusan.

            Dampak jiwa skeptis yang muncul dalam bentuk taqlid akhirnya bukan hanya terbatas pada masalah-masalah hukum yang berorientasi pada lapangan fiqh saja, akan tetapi telah merembet kepada masalah-masalah ‘aqidah, yang muncul dalam bentuk semacam ta‘asub kepada guru atau syekh. Khurafat muncul pula dalam bentuk pemujaan-pemujaan terhadap kuburan atau juga tempat-tempat yang dianggap angker atau dikeramatkan. Dalam bidang akhlaq sikap taqlid muncul dalam bentuk penghormatan yang berlebih-lebihan terhadap sesama manusia, seperti terhadap syarief-syarief yang dianggap mewarisi kemuliaan dari Nabi SAW, tanpa menelusuri sampai di mana batas kenasabannya.

            Sementara itu, umat Islam dari kalangan cendikiawan yang umumnya berpenidikan Barat memandang sinis ter-hadap kenyataan kondisi umat Islam yang terkebelakang itu. Mereka berpendapat bahwa setiap apa yang dihasilkan oleh kebudayaan Barat identik dengan kemajuan. Pandangan semacam ini selain  menghilangkan respek terhadap agama Islam, juga dapat mengancam keyakinan mereka sendiri. Di samping itu, kelompok ini juga menawarkan adanya kemungkinan regenerasi Islam itu untuk meninggalkan tradisi lama dan berusaha mengintrodusir kebudayan Barat yang maju dan modern. Menurut kelompok ini, yang menyebabkan keterbelakangan kondisi umat Islam adalah kelambanan atau bahkan karena tidak adanya kesediaan umat Islam untuk menerima kebudayaan Barat.

            Adapun kelompok ketiga berpendapat bahwa yang menyebabkan terisolirnya kaum muslimin dari kehidupan modern, terletak dalam kenyataan bahwa kaum muslimin telah meninggalkan pedoman yang sebenarnya, yaitu al-Qur‘an dan al-Hadits. Mereka berpendapat bahwa apabila umat Islam dapat memperbaiki pemahaman terhadap tuntunannya –al-Qur‘an dan al-Hadits– dengan menggunakan prinsip-prinsip ijtihad semaksimal mungkin dalam setiap proses pemikiran, maka umat Islam akan mencapai kemajuan dan kemamuran sebagaimana telah terbukti pada zaman lampau. Kelompok ini pulalah yang dengan gigih memperjuangkan ide-ide reformasi dan modernisasi masyarakat Islam. Mereka merealisir ide-ide pembaharuannya dengan mendirikan organisasi-organisasi yang mengkonsolidasi kemampuan umat Islam dengan semangat baru.

 

B. Lahirnya Gerakan Muhammadiyah

            Lahirnya suatu pemikiran atau gerakan baru tidak dapat dipisahkan dari kondisi kehidupan sosial budaya yang melingkupinya. Boleh jadi, munculnya pemikiran atau gerakan itu merupakan realisasi dari perasaan protes terhadap kondisi yang ada, atau bahkan sebaliknya, yaitu justru sebagai kekuatan yang ditujukan untuk mendukung kemapanan itu sendiri agar menjadi lebih kukuh. Yang jelas, salah satu dari kedua motivasi tersebut selalu ada dalam setiap fenomena yang muncul. Namun untuk menjelaskan proses kemunculan suatu fenomena tentu tidak begitu mudah, oleh karena banyaknya faktor yang saling berpengaruh. Begitu juga Muhammadiyah, sebagai gerakan Islam bercorak modernis yang berdiri pada awal abad ke-20 M itu tentu tidak akan dapat dilepaskan dari situasi serta sejumlah faktor yang melatarbelakangi kemunculannya.

            Pada dasarnya, faktor-faktor penting yang menye-babkan berdirinya Muhammadiyah dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Secara lebih detil kedua faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Faktor Intern     

            Yang dimaksud dengan faktor intern adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan ajaran Islam itu sendiri secara menyeluruh, terutama yang berkenaan dengan sikap keberagamaan umat Islam, lembaga pendidikan Islam yang merupakan tempat pembentukan sikap beragama, dan dasar-dasar gerakan yang muncul dari ajaran Islam berdasarkan pemahaman pendiri gerakan itu sendiri.

 

a. Sikap Beragama

            Secara historis diakui bahwa masyarakat di Hindia Belanda – Indonesia sekarang, terutama yang hidup di Pulau Jawa, sejak dahulu kala telah memiliki keyakinan yang bersifat animistik. Kemudian, ditambah dengan keyakinan baru yang datang dari Hindu-Budha, sehingga terbentuk falsafah baru, berupaka kepercayaan mereka terhadap kekuatan ghaib yang animistik berupa ruh-ruh nenek moyang yang dianggap pen-jelmaan dari Tuhan. Kepercayaan semacam itu memberikan kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan dalam cara-cara berkomunikasi langsung dengan Tuhan Yang Maha Esa.18

            Ketika agama Islam datang ke Indonesia, kepercayaan-kepercayaan tradisional tersebut masih melekat.  Islam yang dibawa oleh para pedagang dari Gujarat,19 masuk ke Nusantara dengan corak tasauf yang telah dipengaruhi oleh mistik India dari sistim kepercayaan Hindu-Budha. Dengan demikian, Islam dapat masuk ke Nusantara dengan cara damai, karena di antara unsur-unsur tasauf terdapat persamaan dengan pola kepercayaan dan pemikiran orang Jawa khususnya, dan pulau-pulau di kepulauan Nusantara pada umumnya. Hal ini memungkinkan terjadinya pembauran antara keyakinan-keyakinan tradisional dengan ajaran Islam yang bercorak tasauf. Muncullah keyakinan baru yang sinkretis, sehingga Benda menyimpulkan bahwa Islam di Jawa tidak lebih sebagai suatu stagnasi dan kurang murni jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia.20 Dari keyakinan sinkretis ini, muncullah pengamalan-pengamalan ajaran Islam yang menyimpang dari ajaran al-Qur‘an dan al-Sunnah, yang selanjutnya tampil dalam bentuk tahayul, bid‘ah, dan khurafat.

            Keyakinan sinkretis sebagai asimilasi kebudayaan yang lama dengan ajaran Islam itu, kemudian melahirkan apa yang disebut dengan “agama Jawa” atau “Kejawen”,21 yang kemudian tumbuh mendapatkan lahannya yang subur di daerah-daerah pedalaman yang sebelumnya telah mempunyai kebudayaan Hindu yang mapan. Kota Yogyakarta yang sebelumnya merupakan pusat serta klimaks kultur Hindu-Jawa,22 berubah menjadi “kejawen” setelah naiknya Sulthan Agung menjadi raja di Mataram (1601-1613 M), meng-gantikan Kerajaan Pajang.23 Paling tidak dari kurun inilah, seperti digambarkan oleh Benda, bahwa untuk jangka waktu yang lama sebagai pemenang di Jawa adalah “agama Jawa”  dan bukannya Islam, adat-istiadat Jawa dan bukannya hukum Qur‘an, feodalisme Jawa dan bukannya peradaban Islam yang bersifat urban.24

            Kemenangan “kejawen” atas Islam dalam waktu yang lama itu menjadikan kehidupan umat Islam  Jawa dilingkupi oleh kepercayaan kepada ruh-ruh yang dianggap dapat mempengaruhi nasib, kepercayaan kepada keramat yang dimilikin orang-orang yang  disucikan, para dukun, dan sebagainya. Semuanya masih menjadi bagian kehidupan yang tak terpisahkan sampai awal abad ke-20 M.25 

            Dari gambaran ini, maka dapat dipahami bahwa sikap keberagamaan umat Islam sangat memprihatinkan. Kelihatannya refleksi dari sikap keberagamaan yang semacam inilah yang kemudian digambarkan oleh para penulis sebagai perbuatan syirik, tahayul, bid‘ah, dan sebagainya, yang telah membudaya di kalangan masyarakat Indoensia ketika Muhammadiyah lahir.

 

 

b. Lembaga Pendidikan

            Jika sikap beragama yang terbentuk dari keyakinan tercermin dalam bentuk sinkretisme atau “kejawen”, maka pada sisi lain, madzhab fiqh Islam yang dikembangkan juga mempengaruhi pembentukan sikaptaklid buta, yang bukan hanya kepada imam madzhab itu sendiri, tetapi justru kepada para guru, kiai atau syekh-syekh. Sikap semacam ini secara lebih efektif diwariskan melalui lembaga-lembaga pendi-dikan yang pada umumnya masih diselenggarakan secara tradisional, dan secara pribadi oleh para guru atau kiai dengan menggunakan metode sorogan dan weton dalam pengajarannya.26 Kitab-kitab yang dipakai pada umumnya kitab-kitab yang bermadzhab Syafi‘i, walaupun menurut hasil analisis Steenbrink, sebenarnya kitab yang ditulis imam Syafi‘i. sendiri, seperti al-Um,hingga akhir abad ke-19 M tidak dipakai di Indonesia.27

                Dengan menggunakan metode sorogan dan weton itu, aktivitas belajar hanya terpusat pada sang kiai, sementara murid atau santri hanya bersifat pasif, membuat catatan,  tanpa pertanyaan, dan membantah terhadap penjelasan sang kiai adalah hal yang tabu. Selain itu, kedua metode ini juga hanya mementingkan kemampuan daya hafal dan membaca tanpa pengertian dan memperhitungkan daya nalar. Sistim pendidikan semacam ini menurut Hasan Tanggulung dinilai sebagai sistim yang pincang, karena hanya menekankan pada latihan fungsi jiwa tertentu, sementara mengabaikan fungsi jiwa yang lainnya.28

            Bila ditinjau dari segi materi pelajaran yang diberikan, di mana materinya terbatas pada kitab-kitab yang bermadzhab Syafi‘i saja,29 maka tanpa disadari bahwa sebenar-nya lembaga pendidikan tradisonal ini sudah berusaha menanamkan hal-hal yang dogmatis, dan menyingkirkan hal-hal yang mendorong cara berfikir rasional. Dengan tanpa disertai pengembangan fikiran yang rasional, maka jelaslah bahwa sistim pendidikan tradisional itu hanya akan memupuk jiwa taklid, beku, dan jumud, yang akan diwarisi secara turun temurun. Dengan skap taklid inilah keutuhan madzhab lebih terpelihara dan dilestarikan. Namun dari sisi lain, kebekuan berfikir serta munculnya pola-pola pemikiran konservatif tidak dapat dihindarkan.30 Padahal, dengan pola berfikir seperti itu, Islam akan kehilangan sifat kedinamisannya.

            Dari uraian di atas dapat dipahami betapa tertinggalnya pendidikan Islam pada awal abad kedua puluh, karena di samping penyelenggaraannya yang masih tradisional, lembaga pendidikan tersebut tidak lebih dari hanya sebagai lembaga pelestarian nilai-nilai konservatif belaka. Kondisi pendidikan semacam inilah yang ada ketika Muhammadiyah lahir. Oleh sebab itu,  keadaan ini menjadi salah satu faktor penting yang mendorong munculnya Muhammadiyah.

 

c. Perintah al-Qur‘an dan al-Hadits

            Dari awal berdirinya, Muhammadiyah telah menama-kan dirinya sebagai organisasi dakwah Islam.31 Sebagai organisasi yang mengemban misi Islam, berdirinya Muham-madiyah tidak dapat dilepaskan dari semangat ajaran Islam yang menjiwai gerakan ini. KH. Ahmad Dahlan sendiri sebagai pendiri Muhammadiyah, dikenal sebagai orang yang tekun dalam mempelajari kandungan al-Qur‘an dan al-Sunnah, serta gemar dan pandai dalam mengupas ayat Qur‘an dan Hadits. Dalam menafsirkan ayat, ia menyelidiki terlebih dahulu secara mendalam tiap-tiap kalimat dalam ayat tersebut, dengan melihat semangat yang tersirat, dan kemudian disesuaikan dengan pendapat sendiri secara cermat. Yang lebih penting lagi adalah, bahwa apa yang dikajinya selalu membawa bekas yang mendalam pada setiap pekerjaannya dan yakin terhadap apa yang dikerjakannya itu.32

            KH. Ahmad Dahlan adalah sosok yang selalu ber-usaha mewujudkan apa yang ia pikirkan, berdasarkan pemahamannya tentang al-Qur‘an dalam suatu aktivitas atau amal. Dari sini pula dapat dilihat pemahaman dan kesadarannya atas perlunya gerakan yang sistimatis, berupa organisasi yang teratur rapi, karena ini merupakan syari‘at agama yang tidak bisa ditawar-tawar. Pemahaman dan kesadaran tersebut didasarkan atas pendalaman Dahlan terhadap al-Qur‘an surat Ali Imran ayat 104,33 yang berbunyi:      “Dan hendaklah di antara kamu sekalian ada sekelompok “ummah” yang mengajak orang lain menuju kebaikan, menyuruh kepada yang makruf dan melarang dari perbuatan yang munkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

            Pengertian “ummah” yang berorientasi kepada nilai bajik Qur‘aniyah, telah mendorong Dahlan menyadari perlunya suatu persatuan umat secara terorganisasi. Dinyatakan Dahlan, bahwa suatu persatuan umat menjadi satu golongan merupakan alat yang penting bagi tercapainya kebahagiaan.34 Sintesa pemikiran Dahlan untuk mewujudkan kelompok yang terorganisir rapi itu sudah jelas merupakan hasil kejeliannya dalam memahami kandungan al-Qur‘an, kemudian direfleksikan kepada kondisi kehidupan sosial-keagamaan umat Islam ketika itu. Ternyata perlunya penya-tuan kekuatan umat dan menghidupkan kembali kesadarannya untuk membangun kembali martabatnya merupakan keharusan yang tidak dapat ditunda lagi, menurut kesim-pulan KH. Ahmad Dahlan.

            Setelah terbentuknya Muhammadiyah,35 dengan maksud utamanya melaksanakan pembentukan “ummah” seperti yang terkandung dalam surat Ali Imran ayat 104 itu, dalam perkembangan selanjutnya akhirnya ditemukan ayat-ayat lain dan juga beberapa Hadits Nabi yang dipandang dapat mendasari dan mendorong timbulnya gerakan ini. Ayat-ayat al-Qur‘an tersebut di antaranya adalah:

a.  Surat ‘Ali Imran ayat 110, berbunyi: “Kamu adalah “ummat” yang paling baik yang dilahirkan kepentingan manusia, nmenyuruh mengerjakan yang benar dan melarang membuat yang salah, serta beriman kepada Allah. Sekiranya orang-orang keturunan Kitab itu beriman, sesungguhnya itu baik untuk mereka. Sebagian mereka beriman, tetapi kebanyakannya orang-orang yang jahat.

b. Surat Yusuf ayat 108, berbunyi: “Katakan: Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kamu kepada jalan Allah, dengan pemandangan yang terang.36 Maha Suci Allah, dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.

c. Surat an-Nahl ayat 125, berbunyi: Ajaklah mereka menuju kepada jalan Tuhan dengan bijaksana dan pengajaran yang baik, serta bertukarpikiranlah dengan mereka menurut cara yang sebaik-baiknya.37 Sesungguhnya Tuhan-mu lebih tahu siapa yang tersesat jalannya, dan Dia lebih tahu pula orang-orang yang menuruti jalan yang benar.

d. Surat as-Shaff ayat 4, berbunyi: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang (berjuang) di jalan-Nya, dalam barisan yang teratur, bagaikan bangunan yang teguh.38

 

            Sedangkan Hadits-hadits Nabi yang  menjadi dasar berdirinya Muhammadiyah salah satu di antaranya adalah Hadits Shahih yang diriwiyatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim, berbunyi:“Siapa di antara kamu yang melihat kemunkaran, maka hendaklah dia berani mencegah (mengubah)-nya dengan tangannya (dengan kekuatan dan kekerasan). Jika ia tidak mampu mengubah dengan tangannya (karena tidak mempunyai kekuatan dan kekuasaan), maka hendaklah ia mengubahnya dengan lidahnya (dengan teguran atau nasihat), jika tidak mampu mengubah dengan lisan (karena keadaan yang serba lemah), maka hendaklah ia mengubahnya dengan hati (dengan perasaan tidak setuju dan membenci perbuatan itu), dan (dengan cara yang terakhir) inilah iman yang paling lemah (HR. Bukhari-Muslim).39

            Walaupun beberapa ayat dan hadits tersebut tidak langsung membicarakan mengenai organisasi, namun dengan adanya perintah untuk mengubah kemunkaran menjadi baik, sesuai dengan kemampuan, telah sejalan dengan misi “ummah” yang harus dibentuk sesuai dengan perintah pada ayat 104 surat Ali Imran, yang menjadi dasar utama pembentukan organisasi Muhammadiyah ini, yaitu agar “ummah” itu dapat mengajak untuk berbuat makruf dan mencegah kemunkaran. Dengan alasan inilah agaknya, Muhammadiyah menjadikan ayat-ayat dan hadits tersebut sebagai dasar pembentukan organisasinya, dengan keyakinan bahwa perintah beramar makruf dan bernahi munkar tersebut hanya akan efektif jika diusahakan dengan pembentukan “ummah” atau kelompok, atau organisasi.

 

2. Faktor Ekstern

            Faktor lain yang melatarbelakangi munculnya gerakan Muhammadiyah adalah faktor ekstern, terutama yang disebabkan oleh situasi politik penjajahan kolonial Belanda dan pengaruh ide-ide pembaharuan Islam yang berkembang di Timur Tengah. Secara garis besar kedua faktor ekstern tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

 

a. Kebijakan Politik Pemerintah Kolonial Belanda

            Sebagaimana dikemukakan oleh Aqib Suminto, bahwa akhir abad ke-19 M hingga masuk dasawarsa awal abad ke-20 M merupakan puncak imperialisme Barat atas negeri-negeri yang dihuni orang muslim. Pada masa ini, Belanda yang telah ratusan tahun menduduki kepulauan Nusantara masih terus berusaha untuk tetap memperkokoh pendudukannya. Namun di pihak lain, Belanda merasakan adanya kekhawatiran yang sangat mendalam terhadap posisinya tersebut. Hal ini disebabkan munculnya banyak kecaman terhadap pemerintahan kolonial itu atas kebijakan-kebijakan politiknya terhadap penduduk bumiputera, misalnya kebijakan tanam paksa yang telah mengeksploitasi ekonomi rakyat secara besar-besaran. Anehnya, kecaman itu justru muncul dari bangsa mereka sendiri.40

            Kekhawatiran lain muncul karena semakin beringasnya umat Islam dalam menentang berbagai kebijakan pemerintahan kolonial. Berbagai kasus yang muncul ke permukaan untuk menentang pendudukan Belanda seperti Perang Cirebon (1802-1806 M), Perang Diponegoro (1825-1830 M), Perang Paderi (1821-1838 M), Perang Aceh (1873-1903), dan lain-lain, semuanya memberikan pengalaman pahit dan perasaan traumatis bagi Belanda. Terlebih-lebih dengan munculnya isu-isu gerakan Ratu Adil dan Pan Islamisme, terutama dari muslim fanatik yang dianggap mempunyai hubungan Internasional.

            Adanya kemungkinan umat Islam tersebut minta bantuan kepada negara-negara Islam, serta ketaatannya kepada hukum Islam dalam kehidupannya, menjadikan Islam kemudian muncul sebagai musuh yang hebat bagi Belanda. Kecemasan ini kemudian mendorong pemerintah kolonial untuk membentuk suatu politik aliansi dengan unsur-usur masyarakat yang ada di Indonesia.41 Di pihak lain, pada abad ke-19 M baik orang Belanda yang ada di Nederland maupun di Hindia Belanda mempunyai harapan yang besar untuk mengukir pengaruh Islam dengan secepatnya kristenisasi terhadap mayoritas bangsa Indonesia.

Kebanyakan orang Barat pada umumnya yakin akan superioritas Kristen atas Islam.42 Obsesi inilah yang kemudian direalisir dalam politik “Netral terhadap Agama”,43 yang dalam kenyataannya Belanda sangat berat sebelah kepada Kristen, baik untuk Katolik Roma maupun Protestan. Bagi kolonial Belanda hal semacam ini mesti dilakukan, karena mendapatkan tekanan dari partai-partai agama yang ada di parlemen.44 Puncak dari kebijakan kristenisasi melalui politik “netral terhadap agama” ini adalah dengan tampilnya A.W.F. Idenburg (1909-1916 M) sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Sebagai pemeluk Kristen yang setia, ia melakukan politik pengkristenan yang dikenal dengan “Kerstening Politiek Van den Heer Idenburg. Politik Idenburg inipun rupanya mendapat dukungan dari tokoh-tokoh politik Belanda. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya ungkapan seorang politikus Belanda, yang bernama Westhoff, yang menulis sebagai berikut: “Pada pendapat saya, untuk memiliki tetap jajahan-jajahan kita untuk sebagaian terbesar adalah bergantung pada pengkristenan dari rakyat yang sebagian besar belum beragama atau yang sudah masuk Islam”.45

Kebijakan politik Idenburg yang didukung oleh Westhoff ini membuat Belanda tidak segan-segan untuk mengeluarkan biaya berjuta-juta dalam membantu misi Katolik maupun zending Protestan. Bahkan pemerintah kolonial Belanda sengaja menyerahkan masalah pendidikan rakyat Indonesia sebagian besar kepada badan-badan swasta, yang mayoritas didominasi oleh misi dan zending Kristen itu. Dengan demikian, jelaslah bahwa Belanda memanfaatkan misi dan zending semaksimal mungkin demi kepentingan politiknya. Dalam kondisi demikian, maka umat Islam Indonesia dihadapkan pada 2 (dua) penetrasi kekuatan luar yang selalu merongrong kemerdekaan politik, ekonomi, dan yang lebih penting lagi adalah keyakinan agamanya. Pada dasarnya kedua penetrasi itu ialah penetrasi politik kolonial sendiri di satu pihak, dan misi atau zending di pihak lain. Situasi inilah yang menimbulkan keprihatinan KH. Ahamad Dahlan, sebagai seorang ulama yang langsung berhadapan dengan keadaan ketika itu, sehingga terdorong tekadnya dengan segera untuk mendirikan Muhammadiyah sebagai jawaban atas tantangan dari pihak luar tersebut.

 

b. Ide-ide Pembaharuan dari Timur Tengah

Mengalirnya ide-ide pembaharuan dari Timur Tengah ke kepulauan Nusantara pada akhir abad ke-19 M dan awal abad ke-20 M menjajikan harapan baru bagi para tokoh Islam di kepulauan Nusantara untuk mengadakan gerakan yang sama. Ide-ide pembaharuan tersebut masuk ke Nusantara, terutama melalui orang-orang yang pergi naik haji, serta melalui Majalah al-Manaar yang sarat dengan ide-ide pembaharuan. KH. Ahmad Dahlan merupakan  salah seorang jamaah haji dari Indonesia yang telah berkenalan dengan pembaharuan yang berkembang di Mesir melalui Majalah al-Manaar,46 bahkan ia pernah berjumpa dengan Rasyid Ridha ketika menunaikan ibadah haji. Keduanya sempat bertukar pikiran sehingga cita-cita pembaharuan meresap di hati Dahlan.47

Sementara itu, Majalah al-Manaar yang telah menyebar ke seluruh dunia Islam, termasuk Indonesia, semakin banyak dibaca oleh kalangan modernis, bahkan bagian-bagian penting dari artikelnya sempat dimuat kembali oleh beberapa penerbitan modernis yang senada, seperti Majalah al-Imam di Singapura dan al-Munir di Padang.48

KH. Ahmad Dahlan merupakan salah seorang pem-baca Majalah al-Manaar yang aktif. Ia memperoleh majalah tersebut dari seorang temannya di Jami‘at al-Khair.49 Dalam organisasi ini sebenarnya Dahlan hanya merupakan anggota yang pasif, tetapi keterlibatannya merupakan sarana yang tepat pula untuk memperoleh informasi tentang perkembangan dunia Islam, karena organisasi mempunyai jaringan yang erat dengan dunia Islam Timur Tengah.50

Terjadinya hubungan baik antara Dahlan dengan salah seorang guru dari Jami‘at al-Khair,Shaikh Ahmad Soorkati,51 membuat Dahlan lebih intens lagi dalam mem-peroleh ide-ide pembaharuan para modernis dari Timur Tengah, terutama Mesir.52 Di samping itu, keterpengaruhan Dahlan dengan pemikiran-pemikiran pembaharuan dari Timur Tengah itu juga dapat dilihat dari berbagai kitab bacaannya, seperti Kitab al-Tauhid, Tafsir Juz ‘Amma, al-Islam wa al-Nashroniyyah wa al-‘Ilm wa al-Madaniyyah, Shubuhat al-Nashoro (semuanya ditulis oleh Muhammad Abduh), Kitab fi al-Bid‘ah dan Kitab al-Tawashul wa al-Washilah (oleh Ibn Taimiyyah). Kitab al-Hadtis (oleh Farid Wajdi), dan Kitab Kanz al-‘Ulum.53

Kitab-kitab yang telah dibaca oleh Dahlan tersebut pada umumnya kitab-kitab yang bercorak modernis, walaupun dengan berbagai pengertian lainnya. Dengan melihat bahwa sebagian besar kitab tersebut dan bahan-bahan bacaan lainnya berasal dari buah pemikiran Muhammad Abduh, maka dapat dikatakan bahwa munculnya Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan di Indonesia banyak dipengaruhi oleh ide-ide pembaharuan dari Timur Tengah, terutama dari pemikiran Muhammad Abduh, sungguhpun secara substansial terdapat sedikit perbedaan-perbedaan. Mengenai pengaruh Abduh terhadap KH. Ahmad Dahlan ini, Nieuwenhuije menyim-pulkan, “ … following the examples set by Muhammad Abduh`s group in Egypt, Kyai Haji Ahmad Dahlan, of Yogyakarta, Java, founded his Muhammadiyah movement (1912)”.54

 

Catatan Bab 2: 

1. Lihat M.T. Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah(Jakarta: Pustaka Jaya, 1987), hal. 16.

2. Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta: UI-Press, 1985), hal. 87-88.

3. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam  (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 1993), hal. 174.

4. Lihat Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hal. 15.

5. Tanzhima t adalah suatu kata yang berasal dari bahasa Arab, yang berarti mengatur, menyusun, dan memperbaiki. Dalam kaitannya dengan gerakan, tanzhimat, dipakai dengan arti Undang-undang atau peraturan-peraturan, karena memang pada masa ini banyak menghasilkan aperaturan dan undang-undang. Tentunya ini suatu pertanda adanya perkembangan dari sebelumnya yang terikat secara kaku dengan syari‘at agama. Lihat Ibid., hal. 97.

6. P.M. Holt, et.al. (Ed.), The Cambridge History of Islam,  Vol. 2 (London: Cambridge University Press, 1970), hal. 85.

7. Muhammad Ali Pasya mementingkan pembaharuannya bidang militer, karena ia yakin bahwa kekuasaannya hanya akan dipertahankan dan diperluas dengan kekuatan militer. Namun ia memahami bahwa di belakang kekuatan militer harus ada kekuatan ekonomi yang sanggup membelanjai pembaharuan di bidang militer. Dengan demikian, maka pembaharuan di bidang ekonomi hanya merupakan konsekuensi logis dari  pembaharuannya di bidang militer, dan bidang-bidang lainnya yang berkaitan dengan bidang militer. Lihat Harun Nasution, Pembaharuan…, op.cit.,hal. 36.

8. Lihat, Ibid.,  hal. 43.

9. Lothrop Stoddrad, Dunia Baru Islam (Jakarta: tanpa penerbit, 1966), 61

10. Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh: Suatu Studi Perbandingan  (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hal. 144.

11. Sebagai bukti keterlibatan Abduh dalam politik praktis, adalah peristiwa pengasingannya ke luar negeri atas tuduhan terlibat dalam pemberontakan ‘Urabi Pasya pada tahun 1882 M. Lihat Ibid.,  hal. 116, dan Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt  (New York: Russel & Russel, 1933), hal. 52.

12. Ibrahim Ahmad al-Adawi, Rasyid Ridha al-Imaam  (Mesir: Muassasah al Mishriyah al-‘Ammah, t.th.), hal. 106.

13. Harun Nasution, Pembaharuan …, op.cit.,hal. 72-73.

14. Oemar Farouk, Muslim Asia Tenggara dari Sejarah Menuju Kebangkitan Islam, dalam Saiful Muzani (Ed.), Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara  (Jakarta: LP3ES, 1993), hal. 23.

15. Alfian, Muhammadiyah: The Political Behavior of Muslim a  Modernist Organization under Dutch Colonialism (Yogyakarta: Gajah Mada University Press., 1989), hal. 88.

16. Istilah “Jawi” walaupun berasal dari kata Jawa, tetapi merujuk kepada setiap orang yang berasal dari daerah kepulauan Nusantara yang tinggal di Haramain. Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara (Bandung: Mizan, 1994), hal. 17. Jamaah haji Indonesia yang belajar di Mekah, seperti KHA. Dahlan, adalah orang yang secara langsung dapat bertemu dengan seorang tokoh pembaharuan dari Mesir –Rasyid Ridha–, dan berbincang-bincang tentang pembaharuan di dunia Islam. Namun di antara para jamaah haji dan para pelajar tersebut ada juga yang memperoleh gagasan-gagasan pembaharuan tidak secara langsung, tetapi hanya melalui majalah-majalah atau kitab-kitab yang memuat gagasan-gagasan itu. Hal ini menjadi sangat mungkin, dikarenakan semakin majunya teknologi komunikasi, transportasi, dan printing. Lihat MT. Arifin, op.cit., h. 103, dan Azyumardi Azra, Akar-akar Historis Pembaharuan Islam di Indonesia: Neo Sufisme abad ke11 – 12 H/ 17 – 18 M, Prelude bagi Gerakan Muhammadiyah,  dalam M. Din Syamsuddin (Ed.), Muhammadiyah Kini & Esok  (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), hal. 10.

17. Tatang M. Natsir,  Di Sekitar Reformasi dan Modernisasi Masyarakat Islam , al-Ma‘arif, Borandung, 1972, hal. 11-13. 

18. Bisri Afandi, Meninjau Eksistensi Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam Sistim Kerohanian di Indonesia  (Surabaya: Fak. Ushuluddin IAIN Sunan Ampel, 1976), hal. 1.

19. G.W.J. Drewes, Pemahaman Baru tentang Kedatangan Islam di Indonesia , dalam Ahmad Ibrahim, dkk. (Eds.), Islam di Asia Tenggara: Perspektif Sejarah  (Jakarta: LP3ES, 1989), hal. 9.

20. Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matari Terbit: Islam di Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang  (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985), hal. 31.

21. Geertz memakai istilah “Kejawen” dihadapkan dengan kelompok santri. Kelompok gejawen ciri-cirinya adalah tidak menjalankan ibadah formal seperti shalat, puasa, dll., tetapi tetap mengaku sebagai pemeluk Islam. Lihat Cliford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983),  hal.  13-152.

22. Lihat, Ibid.,  hal. 169.

23. Umar Hasyim, Muhammadiyah Jalan Lurus dalam Tajdid, Dakwah, Kaderisasi dan Pendidikan: Kritik dan Terapinya (Surabaya: Bina Ilmu, 1990), hal. 24

24. Harry J. Benda, loc.cit.

25. Snouck Hurgronje, Islam di Hindia Belanda, terj. S. Gunawan (Jakarta: Bratara, 1973), hal. 35-38.

26. Metode Sorogan adalah metode pengajaran yang dilaksanakan secara individual, murid menghadap guru satu-persatu dengan membawa kitab yang akan dibacanya. Kiai membacakan pelajaran, kemudian mener-jemahkan dan menerangkan maksudnya. Metode weton adalah metode pengajaran secara kelompok. Dalam bahasa Arab disebut metode halaqah. Dalam proses pemberian pelajarannya, kiai bersimpuh dan murid juga bersimpuh mengelilingi sang kiai. Kiai menerangkan pelajaran dan murid menyimak pada buku masing-masing. Lihat Zamaksyari Dhofir, Tradisi Pesantren(Jakarta: LP3ES, 1985), h. 12, dan Habib Chirzin, Ilmu Agama dalam Pesantren,dalam M. Dawam Raharjo (Ed.), Pesantren dan Pembaharuan (Jakarta: LP3ES, 1985), hal. 88.

27. Pada umumnya kitab-kitab fiqh itu ditulis oleh para penulis yang ber-madzhab Syafi‘i. Lihat Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal. 154.

28. Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam (Jakarta: al-Husna, 1985), hal. 5.

29. Semua kitab fiqh yang dipakai di Pesantren di seluruh Nusantara bermadzhab Syafi‘i. Lihat Karel A. Steenbrink, op.cit., hal. 155.

30. Nurcholis Madjid, Keilmuan Pesantren: Antara Materi dan Metodologi, dalam  “PESANTREN”, Nomor Perdana, 1984, hal. 14.

31. Lihat M. Djindar Tamimy, Djarnawi Hadi Kusumo, Penjelasan Muqaddimah Anggaran Dasar & Kepribadian Muhammadiyah (Yogyakarta: Persatuan, 1972), hal. 43.

32. Mustafa Kamal, et.al., Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam, Cet. Ke-VI (Yogyakarta: Persatuan, 1988), hal. 35.

33. Departemen Penerangan Republik Indonesia, Muhammadiyah Setengah Abad  (Jakarta: Tanpa Penerbit, 1962), hal. 93., Lihat juga Mustafa Kamal, et.al., loc.cit.

34. KH. Ahmad Dahlan, al-Islam, al-Qur‘an,dalam al-Manaar/Pepadanging Bawana (Solo: Muhammadiyah Bagian Poestaka, 1929), hal. 5., Lihat juga MT. Arifin, op.cit., hal. 16.

35. Nama organisasi ini langsung dinisbahkan kepada nama Nabi Muhammad SAW, yaitu dimaksudkan agar para anggotanya dapat mengikuti jejak langkah Nabi, berdiri pada barisan terdepan dalam ittiba‘ memperjuangkan dan mewujudkan ajaran-ajaran Islam secara positif, nyata dan dapat dirasakan kemanfaatannya oleh masyarakat secara langsung. Lihat M. Margono Puspo Suwarno, Gerakan Islam Muhammadiyah, Cet. Ke-3 (Yogyakarta: Persatuan, 1986), hal. 27. Lihat juga Sholihin Salam, Muhammadiyah dan Kebangunan Islam di Indonesia (Djakarta: Mega Djakarta, 1965), hal. 56.

36. Kaum muslimin yang menjadi pengikut Nabi Muhammad itu bukanlah patuh membabi buta, tuli, melainkan mereka mengikuti jalan yang benar dengan pengertian yang terang dan bukti-bukti nyata. Mereka melihat dengan pemandangan yang terang, bahwa jalan Tuhan itulah yang dapat menyampaikan mereka kepada kebahagiaan dan keberuntungan yang sejati. Lihat Zainuddin Hamidy & Fachruddin, HS., Tafsir Qur‘an(Jakarta: Widjaya Jakarta, 1982), hal. 345-346.

37. Untuk memanggil manusia kepada jalan Allah, mengembangkan agama kepada khalayak umum, Islam menganjurkan supaya dipakai cara kebijaksanaan, dengan ilmu dan hikmat, dengan memberi pengajaran yang baik berdasarkan pertimbangan buruk baik, mudharat dan manfaat untuk diri sendiri dan masyarakat. Jika dilakukan perdebatan, hendaklah secara baik dan sopan, mengadu dalil dan alasan masing-masing dengan secara hati terbuka. Tidaklah benar tuduhan yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad menyiarkan Islam dengan pedang di tangan kanan dan Qur‘an di tangan kiri. Yang benar adalah: “dengan keterangan dan alasan, Islam disiarkan, dan dengan pedang terhunus kemerdekaan agama dan ummatnya dipertahankan”. Lihat Ibid., hal. 392.

38. Berjuang dengan persatuan yang teguh dan susunan yang teratur, untuk menegakkan dan membela ajaran Allah. LihatIbid., hal. 822.

39. Umar Hasyim, op.cit., hal. 55-56.

40. Edward Douwes Dekker (1820-1887) dengan nama samaran Multatuli, adalah seorang Belanda yang mengeluarkan kritik pedas terhadap kebijakan politik pemerintah kolonial Belanda saat itu. Kritikannya dimuat dalam bukunya Max Havelar, Lihat Sholihin Salam, op.cit.,hal. 49.

41. Harry J. Benda, op.cit., hal. 35.

42. Ibid.,hal. 39.

43. Aqib Suminto, op.cit., hal. 15.

44. Ada tiga partai dalam parlemen Belanda saat itu, yaitu Partai Roma Katolik,  Partai Anti Revolusioner, dan Partai Kristen Historis. Lihat Sartono Kartodirjo, Kolonialisme dan Nasionalisme di Indonesia abad XIX-XX (Yogyakarta: Lembaran Sejarah dan Seksi Penelitian Jurusan Sejarah FakultasSastra & Kebudyaan Universitas Gajah Mada, 1967), hal. xxv.

45. Solichin Salam, op.cit.,hal. 50. 

46. Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran(Bandung: Mizan, 1995), hal. 153.

47. Djarnawi Hadikusumo, Dari Jamaluddin al-Afghani sampai KH.Ahmad Dahlan(Yogyakarta: Persatuan, t.th.), hal. 75.

48. Achmad Jainuri, Muhammadiyah sebagai Gerakan Pembaharuan Islam, dalam Din Syamsuddin (Ed.), Muhammadiyah Kini & Esok (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), hal. 38.

49. Jami‘at al-Khair merupakan organisasi Islam yang pertama kali berdiri tahun 1905. Organisasi ini terbuka bagi setiap muslim tanpa memandang asal-usul. Namun mayoritas anggotanya adalah orang Arab. Organisasi ini terbuka terhadap ide-ide pembaharuan, terutama dari Mesir, karena sebagian gurunya didatangkan dari Mesir dan mengaku sebagai pengikut-pengikut Abduh. KH. Ahamd Dahlan adalah salah seorang pribumi yang menjadi anggota organisasi ini. Lihat Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1991), hal. 68-70.

50. Achmad Jainuri, The Muhammadiyah Movement in Twentieth-Century Indonesia: A Socio-Religious Study,Tesis MA., Tidak diterbitkan (Canada: McGill University, 1992), hal. 15.

51. Shaikh Ahmad Soorkati adalah seorang Sudan. Ia datang ke Indonesia atas undangan Jami‘at al-Khair untuk menjadi guru pada sekolah yang didirikan oleh organisasi itu. Dari tahun 1906 telah mengajar di tanah suci, Mekah, dan merupakan pembaca tetap Majalah al-Manaar dari Mesir. Dengan demikian, ia termasuk modernis. Ia kemudian memisahkan diri dari Jami‘at al-Khair  dan mendirikan al-Irsyad  pada tahun tahun 1913. Lihat Ibid.,dan lihat juga Deliar Noer, op.cit., hal. 74.

52. Alfian, op.cit.,hal. 149.

53. Lihat Achmad Jainuri, The Muhammadiyah .., op.cit.,hal. 8-9.,  Solichin Salam, op.cit., hal. 43-44, dan MT. Arifin, op.cit., hal. 111.

54. C.A.O. Van Nieuwenhuije, Aspect of Islam in Post Colonial Indonesia(Bandung: W. Van Hoeve, The Haaque, 1958), hal. 45.

 

(bersambung)


Tags: SejarahMuhammadiyahRiau

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website