PWM Riau - Persyarikatan Muhammadiyah

 PWM Riau
.: Home > Sejarah

Homepage

Sejarah Muhammadiyah Riau

A. MUHAMMADIYAH DAERAH KUANTAN SINGINGI

 

1. Muhammadiyah Lubuk Jambi

Kondisi Awal Masyarakat

            Masa kolonial Belanda, wilayah Riau yang terdiri dari Riau Daratan dan Riau Kepulauan, berbentuk Residensi yang dipimpin oleh seorang Resident. Sebelum dipindahkan ke Pekanbaru, administrasi pemerintahannya masih berpusat di Tanjung Pinang sebagai tempat kedudukan Resident. Secara hierarki Resident ini membawahi Asisten Resident yang berkedudukan di Rengat dan Contraleur di Taluk Kuantan. Sedangkan di Lubuk Jambi berkedudukan Asisten Demang.

            Kehidupan sosial ekonomi di Lubuk Jambi waktu itu cukup lumayan sejahtera. Mata pencaharian masyarakat-nya utama adalah berkebun karet, berladang, dan bersawah. Di samping itu, juga ada pekerjaan sambilan seperti me-melihara kerbau, sapi, kambing dan lain-lain yang dilakukan sebahagian saja. Hasil karet sebagai tanaman rakyat memberikan sumbangan besar bagi pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari. Kondisi ini didukung pula dengan panen padi yang selalu berhasil, sehingga terkadang ada tiga rangkiang (tempat penampungan padi) yang dimiliki sebuah keluarga.

            Perdagangan karet dikuasai oleh pedagang pribumi. Pedagang Cina tak pernah tinggal di Lubuk Jambi, paling-paling mereka datang ke Lubuk Jambi setiap hari Ahad akhir pekannya. Mereka kebanyakan tinggal di Taluk Kuantan. Pengaruh ninik mamak di Lubuk Jambi sebagai pengatur tatanan kehidupan sosial masyarakat mempunyai kedudukan sentral dan kuat. Mereka sangat teguh dalam memegang dan mempertahankan adat kebiasaan. Demikian kuatnya kedudukan ninik mamak ini, sehingga kehidupan beragama, pemahaman, dan penga-malan masyarakat turut dipengaruhinya. Dalam berbagai bentuk, upacara adat bercampur aduk dengan agama seperti upacara turun ke ladang, upacara perkuburan, upacara mendirikan rumah, upacara kandang dan sebagainya. Semua itu diikuti dengan doa bersama. Semangat gotong-royong sangat kuat seperti membersihkan kampung, batobo mengerjakan ladang/sawah, membersihkan tanah perkuburan, manjopuik limau pagi Hari Raya Idul Fitri, dan sebagainya.

            Paham agama terikat oleh kebiasaan-kebiasaan yang turun temurun. Taklik kepada pendapat/fatwa guru sebagai panutan dan rujukan yang berdasarkan syafiiyah. Sementara itu pemahaman agama juga dicampuri oleh syirik, takhayul, dan khurafat seperti percaya kepada perkuburan keramat, tempat-tempat sakti, dukun dan pawang. Mazhab Syafiiyah dipegang kokoh disamping juga paham tarikat.

            Pendidikan formal yang diadakan oleh Belanda di Lubuk Jambi, sebagai lanjutan dari sekolah desa memang cukup baik. Namun pendidikan formal agama sama sekali tidak ada. Pendidikan agama berlangsung di surau-surau yang ada ketika itu disebut mengaji. Surau tempat mendalami pelajaran tentang Islam dimiliki oleh seorang guru. Kadang-kadang dalam suatu surau muridnya bukan hanya orang kampungnya saja, tetapi juga datang dari berbagai kampung dan negeri.

            Sebaliknya seorang guru yang terkenal dan berpengaruh mempunyai surau pada setiap kampung muridnya. Pada waktu waktu tertentu guru tersebut berkunjung dan memberi pelajaran. Antara guru dengan murid tidak ada suatu ikatan formal, tetapi mereka mempunya ikatan emosional. Barang-kali itu pulalah sebabnya murid dapat bebas mencari guru lain di kampung lain yang dianggapnya lebih mempunyai ilmu agama yang hebat dan mendalam.

            Tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam masyarakat/pemerintah sebelum Muhammadiyah masuk di Lubuk Jambi, seperti Engku Luai di Luai dan Engku Syekh di Kinali. Hanya saja sejarah perjuangan kedua tokoh itu belum banyak terungkap, padahal mereka sangat ternama di daerah ini.

            Dalam menunaikan ibadah, terutama melaksanakan shalat dan puasa, kurang mendapat perhatian, kecuali hanya di kalangan tua. Islam masih terbatas pada ritual saja seperti dalam upacara penyelenggaraan jenazah/kematian, kenduri perkawinan, do’a setelah melaksanakan shalat, khatam al-Qur‘an di bulan puasa, dan do’a petang Kamis malam Jumat. Kurangnya kegiatan tabligh/penerangan agama turut mempengaruhi syiar, kegairahan/semangat beribadah, walaupun di kampung-kampung/banjar terdapat surau.

            Pada umumnya, surau tersebut adalah surau per-sukuan yang berfungsi hanya tempat anak-anak mengaji/belajar membaca al-Qur‘an dan tempat tidur di malam hari bagi remaja/pemuda. Sehingga fungsi surau belum maksimal sebagai tempat berjamaah.

 

Lahirnya Muhammadiyah

           Belum adanya organisasi umat Islam dan berkobar-nya semangat kemerdekaan, serta banyak berdirinya partai politik yang berhaluan nasionalisme,  sosialisme, dan komu-nisme, membuat pemuda Lubuk Jambi risau. Mereka yang sebagian besar belajar di Sumatera Barat, terutama di Padang Panjang, seperti Dasin Jamal, Sulaiman Khatib, Saad Manan, Raja Ramli, dan Arsyad, sepakat mendirikan Muham-madiyah. Apalagi setelah kembali ke kampung mereka melihat kenyataan kehidupan Al-Islam yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang murni. Kebiasaan-kebiasaan yang diamalkan justru bertentangan dengan ajaran Islam, bercampur baur dengan khurafat, takhayul, dan bid’ah.

           Belum lagi para pemuda ini melihat sebagian besar masyarakat ketika itu terkesan berpikiran sempit dengan tidak mau menerima perubahan. Kesemuanya itu dapat menimbulkan kondisi masyarakat yang statis dan penam-pilan sosok Islam yang akan meremehkan pandangan terhadap umat Islam. Menghadapi kondisi masyarakat seperti itu, tentu perlu adanya perubahan pembaharuan agar tercipta perkembangan pemikiran yang tumbuh dinamis. Sehingga dapat melahirkan kekuatan yang terorganisir dalam satu organisasi yang diharapkan dapat menyatukan kekuatan untuk menghadapi segala tantangan.     

           Singkat kata, segera diutuslah Dasin Jamal dan Sulaiman Khatib ke Padang Panjang menemui Konsul Muhammadiyah, Buya AR St. Mansyur. Setelah menyampai-kan maksud kedatangan sang utusan, AR St. Mansyur menyambutnya. Beliau kemudian berjanji segera mengirim Ibad Amin, putra Lubuk Jambi, untuk mengurus per-siapannya, yang pada saat itu ia sedang bertugas mengajar di Kerinci, Sungai Penuh.

            Awal September 1933, Ibad Amin datang dengan membawa mandat Konsul Muhammadiyah Sumatera Barat. Maka pada tanggal 9 September 1933, terbentuklah kengurusan Muhammadiyah Ranting Lubuk Jambi, yang langsung berhubungan dengan Pengurus Besar di Yog-yakarta. Adapun susunan pengurusnya sebagai berikut:

Penasehat dan Ketua          : Ibad Amin

Wakil Ketua                          : Mudasin

Sekretaris                              : Sulaiman Khatib

Keuangan                              : Raja Ibrahim

Pembantu                              : Sa’ad Manan

Pembantu                              : Arsyad

 

            Setelah selesai mengurus segala sesuatu yang me-nyangkut dengan perizinan kepada pemerintah, Penghulu, dan Orang Gadang, maka diadakan suatu acara yang disebut apriahting Muhammadiyah bertempat di Surat Gadang, Pasar Lubuk Jambi. Semua tokoh yang mengambil inisiatif dan pengurus pertama Muhammadiyah adalah putra Lubuk Jambi sendiri.

 

Perkembangan Setelah Kelahiran

            Kehadiran Muhammadiyah memunculkan reaksi dari masyarakat, terutama dari kaum adat/ninik mamak dan para “pokiah-pokiah”/malin. Hal ini disebabkan karena mereka menganggap Muhammadiyah memberantas dan menentang kebiasaan yang telah mendarah daging dalam kehidupan mereka, walaupun itu merusak dan bertentangan dengan ajaran Islam yang berdasarkan al-Qur‘an dan Hadits.

            Tindak tanduk Muhammadiyah mereka anggap dapat merusak tatanan kehidupan yang telah mapan, serta menjatuhkan kewibawaan ninik mamak dan pokiah/malin. Maka dilancarkanlah fitnah terhadap para tokoh Muham-madiyah agar masyarakat membenci dan mengucilkan serta menjauhi dan selalu berusaha menghalangi pertumbuhan dan perkembangannya. Namun demikian, betapapun hebatnya tantangan yang dihadapi atas kelahiran Muhammadiyah ini, para pendirinya tak pernah surut langkah.

            Pada masa pemerintahan Jepang, jabatan-jabatan di pemerintahan mengalami perubahan dengan nama Jepang seperti Asisten Demang disebut Kumachi. Di Lubuk Jambi, Jepang memerintah dengan kejam. Mereka memberlakukan warga di luar prikemanusiaan: nyawa tidak berharga, kerja paksa diterapkan, perempuan dijadikan pemuas sex para tentaranya, serta rakyat disuruh menyembah matahari.

            Walaupun situasi ketika itu tidak menentu, namun Muhammadiyah tetap eksis. Para pengurus dan anggota masih tetap melakukan kegiatan, walaupun agak kesulitan dalam berhubungan satu sama lain. Pada zaman Jepang ini terdapat sekolah Muhammadiyah dengan nama “Niswa” di Kinali yang masih aktif walaupun banyak sekolah lain yang terpaksa ditutup.

            Hasan Arifin yang diangkat sebagai Konsul Muham-madiyah Riau Indragiri pada tahun 1943, kurang dapat melakukan pembinaan organisasi karena sulitnya ber-komunikasi. Kekejaman Jepang terhadap rakyat yang selalu dalam keadaan terancam dalam bahaya membuat semuanya tidak berkembang. Beliau sendiri turut dipenjarakan oleh pemerintahan Jepang.

 

 

2. Muhammadiyah Kenegerian Cengar

Kondisi Awal Masyarakat

            Kenegerian Cengar termasuk dalam wilayah Keca-matan Kuantan Mudik, Kabupaten Kuantan Singingi. Karena penyeragaman yang dilakukan Orde Baru, Cengar yang berbentuk kenegerian berubah menjadi desa. Wilayah eks Kenegerian Cengar terbagi atas dua desa, yaitu Koto Cengar dan Seberang Cengar. Tingkat perkembangan desanya berbentuk swadaya dengan jumlah penduduk lebih kurang 3.200 jiwa.

            Secara geografis, Cengar terletak 5 Km di sebelah utara Lubuk Jambi, yang dapat dijangkau melalui jalan darat. Penduduk Cengar umumnya menggantungkan penghidupan-nya pada sektor pertanian sebagai petani karet, berladang dan berkebun. Selain itu ada yang berprofesi sebagai pegawai negeri, pegawai swasta, berdagang dan lain-lain. Agama yang dianut penduduk Cengar secara turun-temurun seratus persen adalah Islam

 

Lahirnya Muhammadiyah

            Sebelum Muhammadiyah masuk ke Kenegerian Cengar, masyarakat setempat percaya kepada tukang-tukang tenung, takhyul, dan khurafat. Faham agama mereka terikat secara turun-temurun dan taklik kepada pendapat guru sebagai panutan. Mereka ini menganut faham safiiyah.

            Suatu waktu, sekitar tahun 1934, tibalah seorang kiai yang bernama Limin asal Tanjung Barulak, Sumatera Barat. Beliau membawa misi Muhammadiyah yang bersumberkan al-Qur‘an dan Hadits. Secara berangsur-angsur, Limin mem-berikan pengajian-pengajian untuk memperkenalkan dan mengembangkan persyarikatan Muhammadiyah. Beliau terus mencari-cari kader untuk persyarikatan. Setelah berhasil mengumpulkan beberapa orang kader, maka dibentuklah pengurus dengan susunan sebagai berikut:

Ketua              : Tembang

Wakil Ketua  : Saabat

Sekretaris      : Ali Madinah

Bendahara     : Badu Moli

Anggota         : Muhammad Lamil, Gomuak, Montuak, dsb.

            Respon masyarakat sangat besar terhadap gerakan dakwah Muhammadiyah ini. Ditambah lagi beberapa orang yang aktif di persyarikatan adalah orang-orang tempatan (Cengar) yang sangat berpengaruh dan berpendidikan. Maka tak heran masyarakat awam banyak yang ikut bergabung di pengajian persyarikatan Muhammadiyah.  

            Pada tahun 1935, dengan semakin pesatnya pengajian Muhammadiyah, maka dibentuklah Group Kesenian Suliang (seruling bambu) dan Drum Band. Beberapa waktu kemu-dian tersiarlah (terkenal) Group Suliang ini kemana-mana, khususnya Rantau Kuantan. Dimana waktu itu Muham-madiyah Cengar berinduk ke Muhammadiyah Cabang Taluk Kuantan yang ketuanya adalah H. Umar Amin Husin

            Dengan melihat perkembangan Muhammadiyah di Cengar ini, maka pada tahun itu juga didatangkan  tiga orang malin (ulama) dari Sumatera Barat, yakni Engku Darowi (Darwis) dari Lubuk Basung, Engku Lutan dari Maninjau, dan Engku Muslim dari Padang Panjang untuk mengembang-kan persyarikatan.

            Keinginan  dari warga Muhammadiyah Cengar untuk memiliki cabang sendiri begitu besar, yang sebelumnya masih berinduk ke Taluk Kuantan. Dan gayung pun bersambut. Pada Juli 1936, Fungsionaris PP Muhammadiyah, Dono Wardoyo (PP Yogyakarta) datang meninjau keberadaan Muhammadiyah di Cengar. Pada masa itulah diresmikan status Muhammadiyah Cengar menjadi Cabang Tunggal (Cabang Istimewa) karena tidak memiliki ranting. Pada Mei 1997 lalu, Muhammadiyah Cabang Cengar telah memiliki empat ranting, antara lain Ranting Koto Cengar, Seberang Cengar, Kampung Sago dan Desa Air Buluh.

            

Perkembangan Setelah Kelahiran

            Setahun setelah terbentuknya cabang, tepatnya pada tahun 1937, untuk menunjang aktifitas dakwah persyarikatan dibangunlah surau tempat mengaji (belajar membaca al-Qur‘an) bagi anak-anak dan juga sebagai pusat kegiatan dakwah seperti pengajian-pengajian. Tidak lama berselang didirikan pula Sekolah Ibtidaiyah di bawah pimpinan Ali Madina sebagai guru sukarela. Dari waktu ke waktu, jumlah murid semakin bertambah banyak, baik murid anak-anak tempatan maupun murid yang datang dari kenegerian lain.

            Untuk mengantisipasi kekurangan tenaga pengajar, tahun 1938 Ali Madina pergi ke Padang Panjang menjemput Guru Engku Jamaluddin untuk membina sekolah tersebut. Menyadari masih kurangnya kader-kader persyarikatan yang berpendidikan cukup, maka diutus pula beberapa orang putera-putera Cengar untuk menuntut ilmu ke Sumatera Barat, Padang Panjang dan Lubuk Basung. Mereka di antaranya Daruhu, Sumarin Umar, Ali Rauf, Abdul Rahim, Tayut, Joham, Taher, Muhammad Yunus, Muhammad Rasyid, dan Ahir.

            Setelah berjalan beberapa tahun, sekolah Muham-madiyah ini berjalan lancar. Apalagi dengan didatangkan guru dari luar daerah seperti Engku Muncak, Engku Darowi, dan Effendinur dari Bukittinggi, yang pernah menjabat sebagai Duta Besar di Amerika. Dengan kedatangan guru tersebut dan ditambah pula dengan putera daerah yang  telah memperoleh pendidikan, maka pada tahun 1940 dibentuk Kepanduan Hizbul Wathan di Cabang Cengar.  

 

 

B. MUHAMMADIYAH DAERAH KAMPAR

1. Muhammadiyah Kampar

Kondisi Awal Masyarakat

            Secara historis daerah Kampar, terutama Limo Koto Kampar (Kuok, Bangkinang, Salo, Air Tiris dan Rumbio) pada mulanya masuk dalam daerah Lima Puluh Koto Sumatera Barat. Posisi tersebut memungkinkan adanya hubungan sosiologis secara mudah antara masyarakat yang tinggal di kedua daerah ini, sehingga mereka secara bergan-tian saling mengunjungi. Walaupun sarana transportasi pada waktu itu belum begitu lancar, mereka menempuhnya dengan berjalan kaki atau naik sepeda.

            Di samping jalan darat, transportasi melalui sungai menjadi alternatif yang penting, terutama sebagai sarana lalu lintas ekonomi. Melalui jalur sungai inilah kemudian men-jadikan daerah pinggiran sungai di sepanjang Sungai Kampar menjadi ramai, yang dikenal dengan daerah Limo Koto Kampar. Hubungan kedua daerah ini terus berlanjut hingga awal tahun 1930-an, dimana para pemuda dari daerah Limo Koto Kampar banyak yang belajar mengaji ke Sumatera Barat, seperti ke Parabek di Bukittinggi, Sumatera Thawalib di Padang Panjang, Batu Hampar dan Candung di Payakumbuh.

            Para pemuda yang pergi belajar (mengaji) ke Sumatera Barat atau yang dulu lebih dikenal dengan Minang-kabau. Mereka antara lain adalah Zakaria Jamin, Zakaria Yatim, Usman Amin, Usman Yatim, Bahrumn Arif, Lebai Hakim, Ayub Syarofi, Arifin Ruslan dan lain-lain. Mereka berasal dari Kuok, yang merupakan generasi pertama yang berangkat ke Minangkabau. Dalam waktu yang hampir bersamaan pula, dua orang pemuda lainnya berasal dari Airtiris dan Penyasawan, yaitu Abdul Hamid Yusuf dan Abdul Wahab Soleh, masing-masing berangkat mengaji ke Parabek dan Padang Panjang.

            Pada umumnya para pemuda tersebut juga belajar pada lembaga-lembaga pendidikan yang beraliran modern, yang diasuh para ulama berfikiran modern pula seperti Syekh Abdul Karim Amrullah yang lebih dikenal dengan Haji Rasul, Syekh Ibrahim Musa Parabek, Syekh Jamil Jambek, dan lain sebagainya. Di antara ulama yang berfikiran modern itu, Haji Rasul merupakan ulama yang pernah berkenalan langsung dengan KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muham-madiyah, sehingga Haji Rasul tertarik dengan ide-ide dan gerakan yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan itu.

            Sekembalinya Haji Rasul dari Yogyakarta untuk kedua kalinya pada tahun 1925, ia mendirikan Muham-madiyah  di kampungnya sendiri, Sungai Batang (Maninjau). Organisasi yang diperkenalkan ini pada mulanya untuk menggantikan nama perkumpulan yang pernah dibentuk lebih dahulu yang diberi nama “Sendi Aman Tiang Selamat”. Dalam waktu singkat gerakan ini mendapat simpati dari sebagian besar masyarakat Sungai Batang, meskipun pada mulanya mendapat tantangan langsung dari kalangan keluarga sendiri. Muhammadiyah selanjutnya terus ber-kembang  ke daerah-daerah lain di Minangkabau seiring dengan kemasyhuran nama Haji Rasul. Pada tahun 1925 secara resmi Muhammadiyah telah berdiri cabangnya di Padang Panjang.  Menurut para ahli Vander Plas seperti dikutip Alfian, organisasi yang baru berdiri mendapat  ilham dari Haji Rasul, alasannya karena di samping Muhammadiyah telah terlebih dahulu diperkenalkan di Sungai Batang, salah seorang anggota pimpinan Muhammadiyah Cabang Padang Panjang, yaitu Sutan Mangkuto, adalah murid kesayangan Haji Rasul.

 

Lahirnya Muhammadiyah

            Nama Haji Rasul bagi kalangan para pelajar dari daerah Limo Koto Kampar tidak asing lagi, bahkan menjadi idola mereka, sehingga dengan mudah para pelajar itu terpengaruh dengan alam fikiran dan gerakannya. Sekembali-nya mereka ke kampung halaman masing-masing, merekapun mengembangkan Muhammadiyah.

            Tahun 1937 merupakan titik awal gerakan para pemuda yang baru pulang belajar dari Minangkabau itu. Paham dan gerakan Muhammadiyah yang mereka peroleh, mereka kembangkan pula di kampung halamannya. Usaha ini makin kuat dan pesat dengan hadirnya orang-orang Minangkabau yang sudah menjadi anggota dan mubaligh Muhammadiyah di daerah Limo koto Kampar, seperti Labai Zakaria di Penyasawan, Iniek Abu Samah di Kuok, serta seorang pemuda berfaham modernis yang baru menyelesaikan studinya di Malaya, yaitu A. Rahim Arif.

            Atas usaha orang orang inilah, pada tahun 1937 secara resmi berdiri ranting atau group Muhammadiyah di Penyasawan. Tahun 1938 berdiri ranting (group) Muhammadiyah di Kuok. Dan Tahun 1940 berdiri pula ranting Muhammadiyah di Tanjung Belit Airtiris. Ketiga ranting Muhammadiyah ini semuanya masih  bercabang ke Bukittinggi. Hal ini menunjukkan betapa eratnya hubungan daerah Kampar dengan negeri Minangkabau. Selain itu juga menunjukkan bahwa antara Muhammadiyah daerah Riau (sekarang) belum terdapat hubungan satu sama lain.

            Kehadiran Jepang menggantikan pemerintah  Kolonial Belanda di daerah Kampar membawa perubahan bagi tumbuh dan berkembangnya Muhammadiyah. Pada zaman Jepang ini Muhammadiyah berkembang lebih pesat, karena  Jepang membiarkan organisasi ini melaksanakan amal usahanya, sehingga para mubaligh Muhammadiyah yang datang dari Minangkabau dapat bertabligh dengan bebas sampai ke ranting-ranting.

            Perkembangan Muhammadiyah semakin pesat setelah pulangnya seorang tokoh yang memiliki kewibawaan keilmuan dan kemimpinan, Mahmud Marzuki. Beliau adalah tokoh kelahiran Kumantan-Bangkinang yang pernah belajar di Perguruan Tinggi Nadwah al Ulama Di Lucknow-India. Tahun 1937 beliau pulang ke kampung halamannya. Begitu sampai di kampung halaman, oleh buya H. Abdul Malik (perintis dan pendiri Madrasah Tarbiyah Islamiyah) beliau diminta mengajar di sekolah di mana sebelumnya ia pernah menimba ilmu di sana. Mahmud Marzuki melaksanakan tugasnya lebih dari yang dibebankan kepadanya. Karena itu, beliau diberi tanggung jawab yang lebih besar dengan diangkatnya ia menjadi kepala sekolah. Tugas baru tersebut menjadikan Mahmud Marzuki semakin intensif dalam menjalankan dakwahnya.

            Tahun 1939 Mahmud Marzuki mulai bergabung dengan Muhammadiyah. Hal ini merupakan hasil dari pertemuan beliau dengan kaum muda pembawa pem-baharuan di Penyasawan. Bergabung dengan Muhamma-diyah, membawa dampak pada penampilan dan pelaksanaan ibadahnya yang pada gilirannya berpengaruh pula pada murid-muridnya.

            Sudah barang tentu paham pembaharuannya ini menjadi lawan dan tantangan bagi Tarbiatul Islamiyah yang berpahamkan tradisional. Sehingga Mahmud Marzuki dicopot dari kepala sekolah dan diboikot untuk tidak me-ngajar lagi. Karena paham pembaharuannya itu juga  dianggap membahayakan bagi Belanda dan kaum tua, Mahmud Marzuki diusir dari kampung halamannya dan pindah ke Payakumbuh. Di tempat  yang baru ini ia sempat menjadi kepala MTs Muhammadiyah Payakumbuh. Di daerah ini beliau bertemu dengan para tokoh Muham-madiyah terkemuka, seperti Hamka, Rasyid, Duski Samad, AR Sutan Mansur, dan lain-lain.

            Pada tahun 1942, Mahmud Marzuki dipanggil pulang kembali ke kampung halamannya oleh Datuk Palo (wali nagari) yang pernah bekerja sama dengan Belanda untuk mengusirnya, dengan alasan untuk memenuhi permintaan Jepang sebagai wakil rakyat (Anggota DPR atau Syu Sangi Kai) di Riau. Sepulangnya Mahmud Marzuki ke kampung halamannya, ia segera memperkokoh kembali barisan Muhammadiyah. Dengan kegigihan dan kepeloporannya, pada tahun 1944 berhasil diadakan Konferensi I untuk membentuk pimpinan Muhammadiyah Cabang Bangkinang, dan ia terpilih menjadi ketuanya. Dalam masa kepemim-pinannya, Muhammadiyah Kampar berkembang pesat hingga mencapai 47 ranting.

 

Perkembangan Setelah Kelahiran

            Ketika memasuki Orde Lama, setelah penyerahan kedaulatan ke pangkuan Republik Indonesia, Muham-madiyah pun terus berkembang. Hal ini karena dipacu dengan munculnya berbagai persaingan politik, baik yang muncul dari sesama kelompok  Islam maupun golongan yang beraspirasi non-Islam, seperti naiknya prestise komunis di mata penguasa. Meskipun secara teritoris jauh dari pusat perkembangan partai itu, namun dampak politiknya sampai ke daerah Kampar.

            Dengan munculnya tantangan-tantangan baru itu, Muhammadiyah semakin terpacu untuk mem-perkokoh barisannya dengan menggiatkan amal sosial, seperti penyantunan anak yatim, fakir miskin, dan yang tidak kalah pentingnya adalah usahanya dalam pendidikan yang diarahkan untuk membekali umat Islam dan generasinya dengan pemahaman yang benar terhadap ajaran Islam. Dalam kaitan inilah Madrasah Mualliminin Muhammadiyah Bangkinang yang didirikan pada tahun 1947, akhirnya menjadi basis pergerakannya.

            Pada akhir masa Orde Lama, perkembangan Mu-hammadiyah masih stabil, tetapi dengan munculnya kebijaksanaan multi partai dalam perpolitikan Nasional, dimana orang Muhammadiyah menyalurkan aspirasi politiknya kepada Masyumi. Akhirnya friksi dengan kelompok lain, seperti NU dan Perti, tidak dapat dielakkan. Meskipun kemunculan friksi ini hanya sering terlihat dalam pengamalan agama yang bersifat furu’iyah, tetapi sebenarnya karena dipacu oleh perbedaan aspirasi politik yang dianutnya. Bagi Muhammadiyah tentu hal ini bukan merupakan tantangan yang berat untuk maju. Bahkan pembangunan amal usaha terlihat semakin maju.

            Ketika memasuki era Orde Baru, eksistensi Muham-madiyah di Kampar boleh dikatakan sudah mapan. Setidaknya jika dilihat dari struktur kepemimpinannya, organisasi ini sudah merata ke seluruh wilayah kecamatan di daerah Kampar, dengan pusat pimpinan daerahnya di Bangkinang. Dengan munculnya kepemimpinan pada setiap tingkatan ini, jelas menunjukkan adanya gerakan alam nyata, karena setiap berdirinya sebuah ranting Muhammadiyah saja mesti  melengkapi syarat-syarat, misalnya harus ada anggota yang sudah memiliki Kartu Tanda Anggota sekurang-kurangnya 10 orang. Kemudian harus memiliki amal usaha seperti sekolah, tempat ibadah, tempat pertemuan lainnya; kegiatan tabligh (pengajian) harus berjalan secara rutin. Sedangkan untuk berdirinya sebuah cabang, harus ada sekurang-kurang 3 ranting yang sudah aktif.

            Nama yang disandang oleh Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan memang sudah sewajarnya, karena dalam kiprahnya Muhammadiyah sudah banyak mengolah bidang-bidang sosial yang sekaligus berkaitan erat dengan persoalan keagamaan. Semenjak dari persoalan yang sangat sederhana hingga masalah-masalah yang mendasar seperti penanaman idiologi dan pembentukan prilaku sosial melalui pendidikan. Namun semua yang dilakukan Muhammadiyah bukan hanya didasari oleh solidaritas secara murni saja atau hanya bermotif sosiogenetis, tetapi didasarkan atas pema-hamannya terhadap Islam yang dinamis, misalnya kegiatan penyantunan anak yatim yang diwujudkan dalam bentuk panti asuhan adalah karena didasari atas pemahamannya terhadap Surat al-Maun dan lain-lain.

            Adapun kiprah Muhammadiyah Kampar dalam mengembangan misi dan organisasinya dilaksanakan melalui usaha-usaha dapat dijabarkan di antaranya:

 

1. Tabligh

            Tabligh merupakan salah satu kegiatan dakwah yang secara langsung dapat menyampaikan pesan-pesan kepada masyarakat. Pesatnya perkembangan Muhammadiyah di daerah Kampar banyak ditentukan oleh kegiatan tabligh yang dilakukan, terutama pada priode awal. Kedatangan para mubaligh tenar dari kalangan Muhammadiyah di Minang-kabau memberikan daya tarik terhadap masyarakat  Kampar. Umumnya mereka datang ke ranting-ranting Muhammadiyah di daerah Limo Koto secara periodik untuk mengadakan tabligh akbar. Kedatangan mereka  di samping dapat memberikan pemahaman baru terhadap Islam, juga memberikan semangat untuk membina dan mengembang-kan kehidupan Muhammadiyah.

Mengingat besarnya peranan tabligh dalam mengem-bangkan Muhammadiyah, maka selanjutnya kegiatan ini dikelola langsung oleh suatu badan yang disebut Majlis Tabligh. Melalui Majlis Tabligh inilah seluruh kegiatan yang berkaitan dengan masalah tabligh dirancang dan dilaksanakan.

 

2. Mendirikan Lembaga-lembaga Pendidikan

            Aspek lainnya yang mendatangkan keuntungan berlipat ganda bagi Muhammadiyah adalah pendirian lembaga-lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan ini di samping sebagai sarana yang efektif untuk menyebarluaskan paham keagamaan, juga dapat mendorong pencerahan kehidupan umat, yang pada akhirnya menimbulkan  transformasi sosial. Oleh karena pentingnya lembaga pen-didikan ini, maka hal ini selalu menjadi perhatian bagi warga Muhammadiyah.

            Pada awalnya, setiap ranting Muhammadiyah yang muncul di daerah Kampar selalu diikuti munculnya sebuah lembaga pendidikan agama seperti TPA, MDA, dan TK-ABA. Pada periode selanjutnya muncul sekolah umum yang bermuatan agama dalam bentuk modern seperti MTs dan Mu’allimin Muhammadiyah Bangkinang sebagai alternatif pengganti SMP Islam. Sekolah-sekolah umum yang didirikan oleh Muhammadiyah Kampar seperti SD, SMP dan SMA selanjutnya, juga tidak meninggalkan ciri khas kemuhamma-diyahannya, yaitu dengan warna ke-Islaman dalam kurikulum atau mata pelajarannya.

            Seluruh sekolah yang ada dalam lingkungan Muham-madiyah di daerah Kampar secara administratif telah sesuai dengan aturan yang dibuat oleh Pimpinan Pusat Muham-madiyah, jadi tidak satupun Lembaga Pendidikan Muham-madiyah yang ada di Kampar ini yang merupakan kepunyaan pribadi atau individu. Langkah Muhammadiyah dalam bidang pendidikan ini mendapat respon  positif di kalangan masyarakat Kampar.

 

3. Pelayanan Kesehatan

            Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan ter-penting bagi kehidupan manusian. Oleh sebab itu, sebagai gerakan sosial, Muhammadiyah juga mencermati masalah ini. Sebagai realisasinya, maka setiap jenjang kepemimpinan yang memungkinkan selalu diusahakan berdiri lembaga-lembaga pelayanan kesehatan, seperti klinik, balai pengo-batan dan lain-lain. Sebagai organisasi modernis, Muham-madiyah menghindari cara-cara pengobatan tradisional seperti dengan magis, praktek-praktek perdukukan, dan lain-lain. Karena hal itu bertentangan dengan aqidah yang di-perjuangkan oleh Muhammadiyah.

            Lembaga-lembaga pelayanan kesehatan yang telah didirikan oleh Muhammadiyah Kampar, misalnya di Bangkinang telah sejak lama berdiri rumah bersalin, klinik, dan balai pengobatan. Di Penyasawan dan Pulau Payung Rumbio telah berdiri pula balai pengobatan. Semua lembaga pelayanan kesehatan itu dibangun atas swadaya anggota Muhammadiyah setempat. Tenaga medis umumnya berstatus swasta, meskipun juga ada sebagian yang  negeri dalam status diperbantukan. Cara pelayanan kesehatan semacam ini banyak mengundang simpati massa terutama dari kalangan terdidik.

 

4. Penampilan Tokoh

            Untuk menarik simpati umat Islam, peranan profil tokoh merupakan hal yang patut dipertimbangkan. Hal ini dimungkinkan, karena pada setiap kehidupan masyarakat selalu terdapat tokoh yang disegani, diagungkan dan menjadi panutan dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Oleh sebab itu, pernan tokoh dalam mengembangkan Muhamma-diyah juga masih terlihat sangat penting, meskipun secara idiologis Muhammadiyah mengembangkan suasana kepemimpinan yang lebih moderat, berusaha memberantas budaya kulturalisme. Namun karena kelihatannya secara sosiologis Muhammadiyah juga tidak akan dapat mening-galkan kondisi masyarakat yang masih dilingkupi oleh budaya kulturalisme, maka peranan tokoh dalam mengem-bangkan gerakan Muhammadiyah masih tetap memegang peranan penting.

            Dalam kaitan inilah penampilan Mahmud Marzuki sebagai tokoh Muhammadiyah periode awal dan sejumlah tokoh lainnya banyak mengundang simpati massa, sehingga Muhammadiyah semakin kuat dan semakin banyak anggotanya. Di samping itu, para mubaligh Muhammadiyah yang didatangkan dari Sumatera Barat yang umumnya para  tokoh dan ulama yang berpengaruh, baik dari segi ilmunya maupun kewibawaannya, juga faktor yang memperkuat barisan Muhammadiyah di daerah Kampar.

 

Proses Sosialisasi Gerakan

            Kehadiran Muhammadiyah di Kampar berkaitan erat dengan masuk dan berkembangnya Muhammadiyah di Minangkabau. Gerakan ini memasuki daerah Kampar sekitar awal tahun tiga puluhan melalui para pemuda Kampar yang belajar (mengaji) ke negeri Minangkabau, seperti ke Padang Panjang, Bukittinggi dan Payakumbuh, kemudian diperkuat pula oleh para mubaligh yang datang dari Minangkabau tersebut.

            Para pemuda yaaaang baru pulang dengan membawa paham Muhammadiyah ini disambut oleh kalangan terpelajar lainnya yang menuntut ilmu di kampung halamannya, di Darul Mu’allimin dan dari Malaya seperti A. Rahim Arif.

Pada periode awal, tahun 1937 Muhammadiyah diper-kenalkan kepada masyarakat Kampat melalui tabligh (pengajian umum). Tabligh dinilai sebagai cara yang paling efektif untuk menyampaikan pesan pesan agama, termasuk  paham keagamaan yang dianut Muhammadiyah. Di sinilah peran ulama dan guru-guru agama sangat besar sekali. Ini semua telah dimiliki oleh Muhammadiyah Kampar untuk mensosialisasikan gerakannya.

            Seperti sudah dikenal sejak lama bahwa peranan guru, apalagi guru agama dalam masyarakat Indonesia umumnya sangat besar sekali. Segala gerak-gerik dan pola hidup guru umumnya menjadi panutan dengan masyarakat, sehingga umumnya guru lebih mudah berhubungan dengan masya-rakat. Kekuatan inilah yang dimiliki oleh Muhammadiyah terutama yang tersebar di sekolah-sekolah Muhammadiyah di daerah Kampar, sehingga simpati masyarakat terhadap Muhammadiyah semakin hari semakin bertambah.

            Ketika peran pemuda semakin dituntut untuk mem-bela dan memperjuangkan kemerdekaan bangsa, pada umumnya para pemuda Muhammamdiyah Kampar turut aktif dalam perjuangan menentang penjajah. Di samping mereka juga tetap aktif dalam mengembangkan Muham-madiyah sehingga setelah penyerahan kedaulatan, mereka banyak yang berperan sebagai tokoh-tokoh birokrat dan militer. Proses sosialisasi Muhammadiyah semacam ini di samping dapat menyembatani hubungan Muhammamdiyah dengan Pemerintah, juga dapat menarik simpati masyarakat terhadap Muhammadiyah, karena dapat dilihat bahwa Muhammadiyah memiliki komitmen kebangsaan yang tinggi.

            Proses sosialisasi gerakan Muhammadiyah yang dipacu oleh para pedagang yang datang dari Minangkabau, yang secara strategis merupakan sumber dana yang tiada habis-habisnya bagi Muhammadiyah. Kedatangan para pedagang dari Minangkabau ke daerah Kampar ini relatif lancar, karena di samping secara teritoris daerahnya masih menyatu, sarana transportasi juga relatif lancar. Para pedagang yang umumnya tinggal di sentral-sentral perkotaan, menjadikan Muhammadiyah semakin memusat perkembangannya di daerah-daerah yang rama (kota) saja, seperti Kota Bang-kinang sendiri hingga terbentuknya Pimpinan Muhamma-diyah Daerah Kampar pada tahun 1968 yang bertempat di Kota Bangkinang.

            Dari sekian banyak bentuk sosialisasi gerakan Muham-madiyah itu, nampaknya jalur pendidikan merupakan sarana yang paling efektif, karena melalui jalur ini semenjak dini nilai-nilai ber-Muhammadiyah dapat ditanamkan. Melalui pendidikan pula orang tua murid yang sebelumnya tidak mengenal Muhammadiyah, secara tidak langsungsudah berusaha menyetujui dan mendukung Muhammadiyah. Dari jalur ini jugalah munculnya kader-kader Muhammamdiyah yang mampu menjadi penggeraknya di kemudian hari.

 

2. Muhammadiyah Penyasawan

Kondisi Awal Masyarakat

            Penyasawan adalahsalah satu banjar (kampung) di antara dua puluh kampung yang berada di bawah Kenegerian Air Tiris. Kampung ini berpenduduk sebanyak 1.600. Dikepalai oleh seorang Kepala Kampung dengan prediket Tua Banjar yang merupakan pemegang administrasi peme-rintahan terbawah. 

Masyarakat Penyasawan sangat percaya kepada tukang-tukang tenung, takhayul, dan khurafat (ilmu sihir) yang pada masa itu pemukanya yang terkenal seperti Buya Hitam, Siatib, Syamsuddin, Sanding, Habib Pakih Melano, Lahaman Toke, Rasun Malin Itam, Miuluk Dt. Gindojalelo, dan Miudin Pakeh Simani.

            Sementara itu, para alumni Thawalib Perambahan di Payakumbuh, Thawalib Parabek di Bukit Tinggi, Thawalib Jambatan Besi di Padang Panjang, Training College di Payakumbuh kembali ke Air Tiris. Kehadiran para alumni ini dengan paham kaum muda yang telah terbina di tempat mereka belajar tidak diterima dengan mulus.  Pembaharuan yang mereka bawa diisukan akan merombak kehidupan keagamaan masyarakat tradisional yang sudah mapan. Sebagian mereka yang kembali itu berasal dari Banjar Penyasawan.

            Pertemuan antara Ustaz Labay Zakaria, seorang da’i dari Bukittinggi, dengan Abdul Hamid Engku Muda Sutan merupakan tonggak sejarah lahirnya persyarikatan Muham-madiyah di Kampar. Di Penyasawan inilah grup Muham-madiyah pertama yang merupakan grup pelopor yang selanjutnya berkembang dari kampung ke kota.

Menurut keterangan Abd. Hamid E Sutan bersama dengan Labai Zakaria, selama aqidah pemuka ilmu sihir ini belum dapat dibetulkan dan diperbaiki menurut aqidah yang sebenarnya, tentu akan sulit mengembangkan gerakan Mu-hammadiyah di tengah tengah masyarakat kampung Penyasawan khususnya dan Kewedanaan Bangkinang pada umumnya. Dalam menghadapi pemuka sihir , oleh E. Sutan bersama Labai Zakaria, mereka dibawa bergaul dengan baik dengan perlahan-lahan diberi penjelasan dan pengertian tentang ilmu tauhid yang dikehendaki Allah, dan apa yang menyebabkan timbulnya kemusyrikan dalam kehidupan manusia.

            Lebih kurang satu setengah tahun lamanya kedua tokoh tersebut terus menerus berkomunikasi dan bergaul dalam upaya menghadapi ilmu sihir yang berkembang di kampung ini. Secara bertahap mereka mulai menerima ajakan ajaran tauhid, di antaranya seperti Buyung Hitam, Khatib Sanding, Rasun Malin Itam, Miuluk gelar Dt. Gindojalelo, Syamsuddin, dan Miudin Pakeh Simani.

            Keenam orang tersebut telah mengaku dan bersedia membantu dan mendukung untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah di Penyasawan. Walaupun sebahagian yang lain belum dapat diyakinkan, namun mereka sudah mulai agak segan menentang usaha pendirian gerakan Muham-madiyah.

 

Lahirnya Muhammadiyah

            Setelah mendapat pengakuan dari mereka itu, sebelum didirikan Muhammadiyah di Penyasawan, E. Sutan dan Labai Zakaria mengajak mereka menghadiri Konfrensi Daerah Muhammadiyah ke-3 di Padang, tentang bagaimana kiprah organisasi Muhammadiyah dalam upaya mengem-balikan masyarakat agar memiliki aqidah yang benar sesuai dengan al-Qur‘an dan Hadits.

            Tidak berapa lama kemudian, setelah mereka kembali dari Padang, diresmikanlah berdirinya Muhammadiyah Ranting Penyasawan pada tanggal 18 April 1937 dengan susunan pengurus sebagai berikut:

Ketua I                       : Abd Hamid Engku Sutan

Ketua II                      : Miun Engku Surau Betung

Sekretaris I               : Mohd. Rasyad

Sekretaris II              : Z. Arifin Jaafar

Bendahara                 : Pakih Haudin

Komisaris                  : Miuluk Dt. Gindojalelo

Komisaris                  : Abd. Hakim

Komisaris                  : Miudin

 

            Sebelum usaha ini dilaksanakan oleh pendiri-pendiri tersebut, salah seorang penduduk Penyasawan yang belajardi Padang Panjang, yaitu Abd. Wahab Saleh, telah menjadi ide dan rencana untuk mendirikan Muhamamdiyah. Hal ini berkat dari pengalamannya ketika belajar, beliau telah banyak memahami bagaimana mengelola sebuah organisasi Muham-madiyah. Tetapi beliau tidak dapat mengembangkan idenya tersebut karena mendapat penyakit TBC, dan pada tahun 1935 beliau meninggal dunia.

            Dalam upaya menggerakkan/pengembangan Muham-madiyah agar dapat dihayati dan dipahami  oleh masyarakat, terutama mengenai kaum ibu (Aisyiah) terlebih dahulu dibentuk Pengurus Aisyiah Penyasawan dengan susunan sebagai berikut:

Ketua I                       : Rukiyah Idris

Ketua II                      : Saudah Parai

SekretarisI                : Syarifah Yusuf

Sekretaris II              : Rafi’ah Majid

Bendahara                 : Lainah

Komisaris                  : Harisah

Komisaris                  : Gd.Ragek

Komisaris                  : Gd. Gudang/Tiramah

Komisaris                  : Tionah

 

         Di samping pengurus Aisyiah, dibentuk pula badan-bada penggerak dan badan Ishlah yang bertugas untuk melakukan perbaikan antara anggota jika terjadi kesalah-pahaman sesama anggota. Badan ini dinamakan “Nenek nan Sepuluh” yang beranggotakan  Maipah, Lainah, Gd. Ragek, Duinah, Baiti, Turai, Gd. Gudang, Dainah, Tionah dan Hasiah.

 

Perkembangan Setelah Kelahiran

            Setahun setelah berdirinya Muhammadiyah, pada tahun 1938 atas kekompakan dan kerjasama anggota, telah dapat mendirikan Kantor Muhammadiyah berukuran 8 x 12 m, berlantas semen dan berdinding papan dan atas seng yang dibangun di atas tanah wakaf seluas 8 x 28 m yang diperoleh dari Baawal Tukang Mudo, Maarief, Jonun, Salip, Atim, Abd. Wahid, dan Idris.

            Tanah tersebut terletak di pinggir jalan raya Pekanbaru-Bangkinang. Pembangunan kantor ini dikepalai oleh M. Thalib dan kawan-kawannya seperti Baawal Tukang Mudo, Maksori Dt. Paduko, Ahmad Tukang, dan sebagainya. Pada tahun 1976 Kantor Muhammadiyah tersebut dibongkar dan dibangun kembali untuk pembangunan Sekolah/Madrasah Tsanawiyah yang sekarang menjadi Gedung SDM sebelah timur. Kemudian pada tahun 1939, dibangun lagi sebuah Mushalla Aisyiah dengan ukuran 8 x12 m di atas sebidang tanah wakaf dari Lainah/Gd. Gadang dengan luasnya 14 x 14 m.

            Kantor Muhammadiyah dan Mushalla Aisyiah tersebut berfungsi selain  sebagai pusat kegiatan Muhammadiyah, juga dipergunakan untuk pendidikan anak-anak (madrasah Tsanawiyah tahun 1939-1942). Kemudian Mushalla Aisyiah dimanfaatkan selain untuk shalat berjamaah, juga diperguna-kan untuk pusat kegiatan Aisyiah, NA, PKK, dan lain lain.

            Sejak berdirinya Muhammadiyah pada tahun 1937, telah dapat didirikan sekolah/Madrasah Ibtidaiyah. Pada sekolah tersebut diajarkan baik pelajaran agama maupun juga ilmu pengetahuan umum seperti berhitung, huruf laten, ilmu bumi dan sebagainya, yang pada masa penjajahan Belanda ilmu pengetahuan tersebut tidak boleh diajarkan di sekolah sekolah swasta. Namun demikian oleh Muham-madiyah tetap dilaksanakan sebagaimana mestinya, karena Muhammadiyah berpendapat bahwa kedua ilmu pengeta-huan tersebut harus sejajar diajar kepada anak didik, agar mereka mampu menjadi kader untuk meneruskan per-gerakan organisasi Muhammadiyah di masa mendatang.

            Guru yang mengajar di sekolah Muhammadiyah seperti Abd. Hamid gelar E. Sutan sebagai Kepala Sekolah. Adapun guru bantunya adalah Mohd. Rasyad, A. Latief K, Abdullah Engku Airtiris, Maudin, Mohd. Yusuf J, dan lain lain. Pada tahun 1939 didirikan pula sekolah Tsanawiyah dengan gurunya Baharuddin dari Bukittinggi sebagai Kepala Sekolah, dibantu oleh Abd. Hamid E. Sutan, dan para guru yang lain. Murid tertua terdiri dari Maska, Tirukiah, Nukman Haudin, Musa, Abbas Dt. Sindodirajo, Mukhtar Haudin dan lain-lain.

            Pada tahun 1942 dengan meletusnya bom di lapangan terbang Simpang Tiga Pekanbaru dan masuknya tentara Dai Nippon, derah ini mulai dijajah oleh Jepang. Pada zaman Jepang inilah sekolah Muhammadiyah terpaksa ditutup, karena gurunya (Baharuddin) bersama keluarganya telah pulang ke kampungnya Bukittinggi.

            Pada tahun 1964 dengan diprakarsai oleh empat serangkai, yaitu Mohd. Yusuf J, Abbas Dt. Sindodirejo, M. Zein Arief, dan Abdullah Sani, telah dapat mendirikan Sekolah Menengah Pertama dengan nama (PGA 4 Tahun Muhammadiyah) dengan gurunya antara lain Ya’cub B sebagai Kepala Sekolah, M. Zein Arief, Abdullah Sani, H. Husin, Hasan Basri, Danin Bakri dan Daud Bimbang. Guru-guru tersebut akhirnya pindah  tugas. Ya’cub B pindah ke Al-Islam Rumbio, M. Zein Arief dan Abdullah Sani  pindah ke Kandepag Kampar di Bangkinang, Hasan Basri pindah ke SMPN Rumbio sebagai Kepala Sekolah, sedangkan Daud Bimbang pindah ke SMPN Airtiris sebagai guru.

            Sekolah PGA Muhammadiyah didirikan dalam upaya mencetak tenaga guru yang di kemudian hari nanti akan dapat mengabdikan dirinya sebagai guru disekolah-sekolah Mu-hammadiyah. Murid pertama yang menamatkan sekolah ini dan meneruskan pendidikan ke PGAN 6 tahun Pekanbaru adalah Syahril T, Syarifuddin, M. Dinar, Ishak, Yulizar, Sudirman, dan Habiruddin.

            Pada tahun 1970, karena kekurangan biaya dan tingkat ekonomi masyarakat mulai merosot, maka sekolah tersebut terpaksa ditutup. Barulah pada tahun 1971 sekolah didirikan kembali dengan nama Muallimin/SMP Filial Muallimin Bangkinang dengan gurunya Miras.M, sebagai kepala, guru-gurunya yaitu Umar Mauni, Baihaki, M.Saat, Jaali Ba, Ilyas, Nasaruddin, Basri D.

            Pada tahun 1976 murid Muallimin/SMP ini telah mengeluarkan lulusannya dan mereka meneruskan pen-didikannya di Muallimin Bangkinang. Pada tahun 1979/1980 sekolah Muallimin tersebut berubah nama menjadi Madrasah Tsanawiyah yang dikepalai oleh Syahril T, dengan guru-gurunya antara lain Baihaki, Ilyas, M. Saat, M. Dani, Umar Mauni dan Tabrani. Melihat sekolah ini semakin hari menjadi pusat perhatian masyarakat, maka didirikanlah madrasah tersebut di atas tanah wakaf Khairuddin yang berlokasi di Bukit Pematang Petai dengan ukuran 40x50 m. Adapun panitia pembangunan sekolah tersebut adalah Haji Kasman, Miras.M, Anwar.R, Nazaruddin, Asmar, Khairuddin, Husin Mayur, Tamrin J, Rusli PK dan Abdullah Sani. Pada awalnya sekolah tersebut baru dapat membangun sebanyak 4 lokal. Kemudian pada tahun 1984/1985 mendapat tambahan sebanyak 2 lokal lagi.

 

3. Muhammadiyah Kenegerian Kuok

Kondisi Awal Masyarakat

            Di awal tahun 1930-an para pemuda/pelajar negeri Kuok  telah banyak yang belajar (mengaji) ke Sumatera Barat seperti Parabek, Prambahan, Bukittinggi atau ke Padang Panjang. Tercatatlah beberapa orang generasi awal yang belajar ke Sumatera Barat seperi Zakaria Jamin, Zakaria Yatim, Usman Amin, Usman Yatim, dan Arifin Ruslan yang berasal dari Pulau Jambu. Adapun Bahrun Arief dan Lebai Hakim berasal dari Pulau Belimbing, serta Ayub Syarofi berasal dari Pulau Terap.

            Banyak lagi para pemuda yang belajar ke Sumatera Barat. Tercatat generasi kedua seperti Imam al-Rasyid (Pulau Terap), Ilyas Thaib (Pulau Belimbing), Fuad Nazir (Pulau Belimbing), Ibrahim, Hasan Hamidi, Ahmad Radhi, Arifin Rahim (Pulau Jambu), dan Muhammad Syarofi (Pulau Terap).

            Kemudian menyusul pula generasi ketiga antara lain A. Jalil Yusuf, Usman Bath, Yusuf Rahman, Ilyas Rahim, Mohammad Ali dan lain-lain. Kader-kader inilah yang menjadi pelopor berkembangnya Muhammadiyah kelak di Kenegerian Kuok. Kegiatan ini didukung oleh para pelajar yang mengaji di Muallimin Bangkinang seperti Hamzah Yunus dan Husin Syuib. Begitu pula dibantu oleh Darut Dt. Singo, Daud, dan kawan-kawan. Pada tahun 1944 pulang pula dari Malaya beberapa pemuda pelajar antara lain A. Rahim Arief (Pulau Belimbing).

            Pada tahun 1936 para pelajar dari Sumatera Barat tersebut setiba kembali di kampung halam, mulai meniupkan faham tajdid Muhammadiyah di tengah-tengah masyarakat yang fanatik kepada adat yang beaneka tradisi yang diwarnai oleh takhyul, khurafat dan bid’ah. Pada tahun itu juga dengan didorong oleh semangat kepeloporan,  mereka mendatang-kan seorang ulama Sumatera Barat bernama Inyiek Abu Samah untuk memberikan pengajian dan menerangkan prihal Muhammadiyah di Sumatera Barat.

            Kehadiran Muhammadiyah pada mulanya memang mendapat tantangan dari sebagian pemuka negeri, karena keterbatasan wawasan mereka di bidang keagamaan. Akan tetapi, berkat kesungguhan pemuka Muhammadiyah ini, dakwah dapat berjalan terus meskipun hambatan dan kendala belum juga reda. Pada tahun 1937 dimulailah pergerakan Muhammadiyah ini oleh H. Darut Dt. Singo, Ayub Syarofi, dan kawan-kawannya. Barulah pada tahun 1938 mereka bermusyawarah untuk membentuk ranting yang bercabang ke Bukittinggi.

 

Lahirnya Muhammadiyah

            Pada tahun 1944 bermufakatlah ranting-ranting Muhammadiyah yang sudah berdiri di Limo Koto untuk mengadakan Konfrensi I di Kumantan Bangkinang. Hadir waktu itu pemimpin Muhammadiyah dari Sumatera Barat Buya Ahmad Panani dari Padang Panjang. Salah satu keputusan musyawarah pada waktu itu membentuk Cabang Muhammadiyah Kuok berpusat di Kebuh Tengah Pulau Balai.

            Pusat kegiatan Muhammadiyah Cabang Kuok dipindahkan ke Pasar Kuok sekitar tahun 1960-an, setelah dapat membeli sebidang tanah dari Razali J. Maka di-bangunlah Kantor Muhammadiyah secara gotong-royong, yang pada mulanya terbuat dari kayu bulat dan dinding tadir (bambu). Di kantor inilah digerakkan organisasi Muham-madiyah, sehingga masyarakat Kenegerian Kuok meng-anggap Muhammadiyah itu sebagai milik mereka.

            Berkat dukungan masyarakat, Muhammadiyah waktu itu berhasil mendirikan rumah sakit bersalin (yang sekarang dipakai oleh BKIA) di samping Kantor Kepala Desa Kuok. Di samping itu Muhammadiyah mendirikan Sekolah Menengah Islam (SMI) di bawah pimpinan A. Rahim Arif, kemudian dirubah nama dengan PGA 6 tahun. Gedung sekolah tersebut bertempat di sebelah arat Pasar Kuok yang sekarang telah menjadi lokasi Mesjid Al-Ittihad.

            Sebagai organisasi kemasyarakatan, Muhammadiyah Kuok tidak berpangku tangan menggerakkan umat untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi melalui dakwah Muhammadiyahlah ditiupkan semangat heroisme untuk merebut kemerdekaan dan mengutuk penjajahan. Sejarah membuktikan bahwa H. Ayub Syarofi adalah saksi nyata dari perjuangan tersebut.

            Ayub Syarofi pernah dipenjara dan disiksa oleh penjajah, karena beliau berapi-api membangkitkan semangat bangsa untuk merebut kemerdekaan dan membenci pen-jajah. Setelah merdeka, beliau dikokohkan sebagai pahlawan kemerdekaan dengan imbalan pensiun oleh pemerintah RI.

            Berita proklamasi kemerdekaan sangat terlambat sampai ke Kenegerian Kuok. Baru pada September 1945 diterima berita bahwa Sukarno-Hatta telah memprok-lamasikan Indonesia Merdeka. Lalu pemuka-pemuka Muhammadiyah menaikkan bendera merah putih buat pertama kalinya pada, dimana daerah lain di Limo Koto  ini masih ragu-ragu dan takut menaikkan bendera merah putih. Tempat penaikan bendera merah putih pertama kali adalah di depat kedai Ilyas Thaib Pasar Kuok. Patutlah kiranya di tempat ini dibangun tugu peringatan untuk mengenang sejarah yang telah dilupakan itu.

 

Perkembangan Setelah Kelahiran

            Setelah selesai Konferensi I Muhammadiyah di Kumantan Bangkinang dengan diresmikannya Cabang Muhammadiyah Kuok, maka pada tanggal 16-18 Desember 1944 diadakan Musyawarah Muhammadiyah di Kebuh Tengah Kuok, dihadiri oleh Mahmud Marzuki dari Kumantan. Mendengar pengarahan dan motivasi Mahmud Marzuki, semangat dan perjuangan pemuka Muhammadiyah makin menggebu terutama dalam mengembangkan faham tajdid. Setahap demi setahap Muhammadiyah berjalan dengan pasti. Segala macam bentuk ibadah yang dipandang tidak sesuai dengan al-Qur‘an  dan Hadits mulai diluruskan. Seperti talqin mayat di kubur, azan Jumat dua kali, khutbah berbahasa Arab, pembayaran zakat fitrah kepada imam surau, shalat tarwih 20 rakaat, shalat Idul Fitri di lapangan terbuka. Kesemuanya ini dapat dibetulkan oleh Muham-madiyah Kuok. Begitu juga masalah tariqoh dan semacamnya boleh dikatakan dapat diluruskan.

            Patut dicatat bahwa Muhammadiyah Kuok memiliki seorang ulama yang cukup tangguh dan mempunyai ilmu dan wawasan luas tentang Islam, yaitu A. Rahim Arif yang baru kembali ke tanah air di tahun 1944 dari menyelesaikan studinya di Ma’hadul Ihya’ussyarif Bunng Semenggul Perak Malaysia. Berkali-kali diadakan diskusi/perdebatan antara kaum tua dengan kaum muda di kala itu. Sehingga kaum muda (Muhammadiyah) dijuluki oleh kaum tua dengan kaum wahabi. Pada tahun 1956 diadakan muzakarah tentang azan 2 kali hari Jumat di Surau Tinggi Pulau Balai, yang dihadiri oleh ustazd A. Hamid Sulaiman (pernah menjadi Ketua MUI Propinsi Riau).

            Begitulah sekelumit riwayat lama yang perlu kita catat dan perlu diingat bagi generasi sekarang. Untuk  itulah di masa lalu, para ulama telah meletakkan benih benih tauhid yang benar melalui organisasi Muhammadiyah, dan sekaligus dengan Ortomnya seperti Aisyiah. Hasil Konferensi Muham-madiyah Kuok di Kebuh Tengah Desember 1944, dibentuk pula pengurus Aisyiah Cabang Kuok. 

            Amal usaha nyata dari Muhammadiyah Cabang Kuok sejak dahulu sampai sekarang terfokus kepada ma-salah pendidikan, dakwah, dan sosial. Di samping itu juga yang paling mendasar tentu apa yang disebut pengembangan faham tajdid. Sehingga tidak berlebihan rasanya jika disebut bahwa hampir 100% masyarakat Kuok menganut faham Muhammadiyah. Meskipun tidak memiliki kartu Muham-madiyah, sekurang-kurangnya mereka menjadi simpatisan pendukung gerakan Muhammadiyah.

            Muhammadiyah Cabang Kuok kini memiliki lembaga pendidikan seperti Taman Kanak-kanak Aisyiah sekarang berjulah 8 buah, Madrasah Diniyah Awaliyah Muhammadiyah sebanyak 10 buah, dan SMP Muham-madiyah 1 buah.

 

4. Muhammadiyah Tambang

Kondisi Awal Masyarakat          

            Salah satu tujuan dari Muhammadiyah adalah untuk memurnikan ajaran Islam di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Sesuai dengan tujuan dan azas berdirinya, maka Muhammadiyah mengalami perkembangan yang begitu pesat, dari kota besar sampai ke desa-desa seluruh Indonesia. Salah satu daerah yang mempunyai Muham-madiyah adalah Desa Gobah Kecamatan Tambang.

            Muhammadiyah masuk ke desa ini pada tahun 1935 yang dibawa dan dikembangkan oleh putera-putera setempat yang kembali dari Sumatera Barat dalam rangka menuntut ilmu pengetahuan. Mereka itu adalah Jasa Engku Silam, Baarim Engku Mudo, Gudang Engku Sutan, Harun Dt. Penghulu Rajo, Faqih Hamzah, Langkat Engku Banjar, Faqih Jalid, dan Buya Darwis Maaf.

           

Lahirnya Muhammadiyah

            Pada mulanya Muhammadiyah di Desa Gobah ini belum berdiri sendiri, tetapi merupakan gabungan wilayah dari Ranting Muhammadiyah Penyasawan Rumbio Kecamatan Kampar sampai tahun 1945. Dengan berdirinya Muhammadiyah di Desa Gobah, maka para pendirinya mulai bergerak untuk menyiarkan dan mengembangkan paham tajdid terutama dalam usaha memurnikan aqidah dan ibadah masyarakat setempat. Pemurnian itu mereka sampaikan kepada masyarakat melalui pengajian atau ceramah agama Islam pada hari-hari besar Islam atau pada waktu-waktu tertentu untuk memberikan pengertian pentingnya pemurnian Aqidah.

            Dari segala macam syirik dan ibadah, dan dari segala macam bid’ah dan khurafat, akhirnya paham pemurnian tersebut dapat diterima oleh masyarakat, sehingga semakin hari jumlah anggota Muhammadiyah bertambah banyak.

            Sehubungan dengan pesatnya perkembangan Muhammadiyah di daerah ini, maka pada tahun 1935 didiri-kan dua buah lembaga pendidikan Islam, yaitu Rakyat Muhammadiyah (SRM) dan mushalla yang disamping untuk tempat ibadah juga digunakan sebagai tempat pengajian dua kali seminggu, yaitu setiap malam Jum’at dan malam Selasa.

            Pada tahun 1945 Muhammadiyah Desa Gobah yang pada mulanya bergabung dengan Ranting Muhammadiyah Penyasawan, mendirikan ranting baru dengan nama Ranting Muhammadiyah Gobah yang dipimpin oleh Buya Gudang  Engku Sutan sebagai Ketua dan Harun Dt. Penghulu Rajo sebagai sekretaris. Tiga tahun kemudian (1948) Muham-madiyah di Ranting Gobah mendirikan sebuah mesjid. Melalui mesjid tersebut diadakan pengajian secara intensif dengan tujuan melenyapkan segala paham yang mengandung unsur syirik, bid’ah, takhayul, dan khurafat. Sehingga dalam waktu yang relatif singkat usaha pemurnian tersebut memberikan hasil yang positif.

            Oleh karena Ranting Muhammadiyah Desa Gobah berkembang sangat pesat, dan anggotanya meluas sampai ke daerah sekitarnya, maka didirikanlah ranting-ranting yang baru. Adapun daerah yang didirikan ranting tersebut antara lain Ranting Pulau Tengah, Aur Sati, Danau Bingkuang, Terantang, Durian Tandang, dan Padang Luas.

 

Perkembangan Setelah Kelahiran

            Setelah berdirinya ranting-ranting tersebut kemudian para pengurus dan tokoh Muhammadiyah mengadakan musyawarah dengan keputusan untuk mendirikan Cabang yang diberi nama Cabang Muhammadiyah Kampar IV. Keputusan tersebut diusulkan kepada Pimpinan Pusat di Yogyakarta untuk disetujui dan disyahkan. Setelah mendapat persetujuan, maka pada tahun 1967 Muhammadiyah Cabang Kampar IV tersebut secara resmi didirikan dan berkedudu-kan di Danau Bingkuang.

            Adapun susunan personalia pimpinan Muham-madiyah Cabang Kampar IV pada periode pertama adalah:

Ketua Umum             : Harun Dt. Penghulu Rajo

Wakil Ketua I                       : Gudang Engku Sutan

Wakil Ketua  II                     : Muhammad Zen

Wakil ketua III                     : Nursin Abdullah

Sekretaris I                           : Yahya

Sekretaris II                          : Muhammad Diran

Sekretaris III                        : Nurdin Yasin

Bendahara                             : Zulkarnaini

Anggota Majlis

A. Majlis Tabligh      : Muda Engku Makam

B. Majlis PPK                        : Darwis Maaf

C. Majlis Tarjih                     : Barim Engku Mudo

D. Majlis PKU                       : Jasi Dt. Majoindo

E. Majlis Hikmah                 : Harun Dt. Penghulu Rajo

 

            Sejalan dengan itu, didirikan pula Ortom-ortom seperti Pimpinan Cabang Aisyiah, Pemuda Cabang, dan Pimpinan Nassyiatul Aisyiah Cabang. Kemudian dengan adanya pemekaran Kecamatan Kampar menjadi dua, yaitu Kecamatan Kampar dan Kecamatan Tambang, maka Cabang Kampar IV dimekarkan pula menjadi dua cabang. Cabang kedua itu diberi nama Cabang Muhammadiyah  Kampar V dan diusulkan kepada Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Riau No. I.A/1.b/07/1992 tanggal 8 Muharram 1413/ 9 Juli 1992. Usulan tersebut disetujui oleh PWM Riau dan resmi terbentuk Cabang Muhammadiyah Kampar V yang berkedudukan di Desa Gobah Kecamatan Tambang.

            Sejalan dengan nama kecamatan yang baru itu, Cabang Muhammadiyah Kampar IV dan Kampar V dirubah namanya menjadi Cabang Muhammadiyah Tambang I yang berkedudukan di Danau Bingkuang dan Cabang Muhammadiyah Tambang II berkedudukan di Desa Gobah. Perubahan ini terhitung sejak tanggal 5 September 1996. Adapun Pimpinan Muhammadiyah Tambang II pada periode pertama masa jabatan 1990-1995 sebagai berikut:

Ketua Umum             : DRS. M.Ali Yusuf

Wakil Ketua I                       : Muhammad. F

Wakil Ketua  II                     : Mansyur

Sekretaris                              : M. Ruslan

Wakil Sekretaris I                : Ali Munir

Bendahara                             : Sinar Dt. Palimo Datar

Anggota                                 : Rusdy. BA

                                                  Abu Hasan

                                        Bukhari. S

                                        M.Isa Dt. Bijoanso

                                        Ja’afar gesmy

Bagian P & K             : M.Isa Dt. Bijoanso

Bagian Pustaka         : Ja’afar Gesmi

Bagian Ekonomi      : Drs. Akhyar

Bagian Tabligh         : Bukhari. S

Bagian PKS                : Hasan. R

Bag. Wakaf dan

Kehartabendaan       : Abu Hasan

 

            Masing-masing cabang, baik Cabang Tambang I maupun Cabang Tambang II terus membangun dan membuat amal usaha sebagai realita keberadaan Muham-madiyah di Kecamatan Tambang.

           

C. MUHAMMADIYAH DAERAH

ROKAN HILIR

 

Muhammadiyah Bagan Siapi-api

Kondisi Awal Masyarakat

            Bagan Siapi-api pada awalnya adalah sebuah distrik yang berada di wilayah Kerajaan Siak Sri Indrapura. Setelah masa kemerdekaan daerah ini disebut dengan Kewedanaan Bagan Siapi-Api. Sekarang sebagai Ibukota Kabupaten Rokan Hilir, sebuah kabupaten baru di Propinsi Riau dari hasil pemekaran Kabupaten Bengkalis.

Sebelum Indonesia merdeka, sebahagiaan besar daerah Kabupaten Bengkalis berada dalam pemerintahan Kerajaan Siak Sri Indrapura, kecuali Pulau Bengkalis yang merupakan jajahan langsung dari pemerintahan Hindia Belanda. Sebelum tahun 1858, Pulau Bengkalis adalah pusat peme-rintahan Keresidenan yang dikepalai oleh seorang Resident dengan wilayahnya meliputi Kepulauan Riau dan Sumatera Timur.

            Kerajaan Siak beserta seluruh daerah taklukkannya berdasarkan Traktat 1858 berada di bawah lindungan Kerajaan Hindia Belanda. Berdasarkan Lauge Contract tahun 1890 pemerintah Hindia Belanda boleh mencampuri urusan pemerintahan Kerajaan Siak.

            Desa Bantaian adalah sebuah kampung yang berada di wilayah Distrik Bagai Siapi-api, terletak lebih kurang 20 Km dari Kota Bagan-Siapi-api. Desa Bantaian berada di bawah pemerintahan Belanda, tetapi status dalam Kesul-tanan adalah sebuah kecamatan yang dikepalai oleh seorang Kepala Kampung bernama Abdurrauf yang bertanggung jawab kepada Onder Distrik.

            Di Desa Bantaian terdapat dua kerapatan adat. Masyarakat Melayu dihukum berdasarkan kerapatan Siak, sedangkan masyarakat Cina dan Jawa memiliki kerapatan adat tertentu pula. Sebagai kepala adat ia bertanggung jawab kepada Kepala Propinsi yang ada di Bangko, Kubu, dan Tanah Putih. Ketiga wilayah ini dipimpin oleh kepala daerah.

            Kehidupan sosial ekonomi masyarakat Bagan Siapi-api pada waktu itu lebih tergantung kepada hasil hutan dan perkebunan. Ini dimungkinkan karena daerah ini terteltak di sepanjang Sungai Rokan. Dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti beras, masyarakat mananam padi di ladang dan sawah yang ada di sekitar perkampungan. Daerah ini cukup subur, sehingga hasil padi mereka lebih mencukupi. Mereka masyarakat agamis, sehingga setiap kali panen mereka mengeluarkan zakatnya. Telah menjadi tradisi bahwa zakat harus diserahkan kepada Imam yang telah ditunjuk oleh Sulthan, sehingga zakat tersebut telah dapat dibagi-bagikan kepada rakyat.

            Paham agama yang dianut oleh masyarakat Bantaian adalah Mazhab Syafii. Paham ini sangatlah berkembang. Walaupun demikian, mereka tidak begitu dipersoalkan, karena agama telah masuk ke sini pada abad ke-15 dan 16 masehi yang dibawa oleh Syarif Ali Dt Batu Hampar dari Negeri Pasai, Aceh. Masyarakat masih percaya kepada takhyul, khurafat, dan bid’ah yang terlihat ketika ditimpa sakit, mereka pergi ke dukun-dukun dan diberi loundy (tangkal azab). Shalat Tarawih dilaksanakan 23 rakaat, pelaksanaan zakat masih diberikan kepada Tuan Qadhi dan wakil-wakil Sulthan. Ibadah zakat yang berintikan membantu fakir miskin tidak tercapai. Adapun mengenai perkawinan tetap dilak-sanakan menurut Islam, tetapi harus terdaftar di kerajaan Siak Sri Indrapura. Perkawinan dilakukan oleh Tuan Qadhi yang ditunjuk oleh Sulthaan Siak. Qadhi juga bertugas sebagai Imam Mesjid kecamatan dan ia juga sebagai wakil Sulthan di kecamatan.

            Abdur Rauf diangkat oleh Sulthan Syarif Qasim, Sulthan Kerajaan Siak terakhir sebagai Datu (ketua adat, ketua peradilan dan kepala pemerintahan) untuk daerah Bangka dengan gelar “Datuk Dewa Pahlawan”. Beliau juga sebagai salah seorang anggota Kerajaan Tinggi Kerajaan Siak yang bersidang di Bagan Siapi-api. Setiap tahun persi-dangan, Sulthan datang ke Bagan Siapi-api didampingi oleh Controleur pemerintahaaan Hindia Belanda yang berke-dudukan di Bagan Siapi-api. Pada waktu itu, salah satu tugas Controleur adalah mengadili orang-orang asing (Cina, India, dan lain-lain). Sedangkan orang pribumi diadili oleh Sulthan Siak atau pejabat di bawah beliau yang dalam hal ini ditunjuk Distrik Hofd.

            Kampung dimana Abdur Rauf menetap sampai akhir hayatnya terkenal dengan sebutan “Parit Tuk Dewo”, maksudnya Parit Datuk Dewo Pahlawan yang merupakan salah satu Parit (sekarang Dusun) yang terdapat di Desa Bantaian. Dalam mendidik anak-anaknya, Abdur Rauf cukup keras terutama dalam pelaksanaan ibadah shalat lima waktu dan puasa Ramadhan. Anak-anaknya dilarang keras merokok. Kelak salah seorang anak Abdur Rauf ini yang bernama Mansyur, menjadi tokoh pergerakan Muham-madiyah di Bagan Siapi-api.

            Sebelum Muhammadiyah masuk ke Bagan Siapi-api, lembaga pendidikan belum ada, masyarakat belajar agama  di mesjid dan pengajian dilaksanakan di rumah para ulama. Oleh sebab itu, memerlukan tokoh ulama yang memiliki pengikut di sekitar desa tersebut. Islam berkembang dari generasi ke generasi melalui pengajian toriqoh. Tidak terlalu banyak putra daerah yang melanjutkan pelajarannya ke luar daerah asal. Ini berlangsung hingga masuknya organisasi Muhammadiyah yang bergerak dalam memajukan pen-didikan agar lahir generasi baru yang mampu merubah masyarakat menjadi masyarakat yang maju di bawah ajaran Ilahi.

 

Lahirnya Muhammadiyah

            Muhammadiyah masuk pertama kali tahun 1931 dibawa oleh Tua Muhammad dari Padang Panjang, seorang saudagar, bahkan selaigus Mubaligh Muhammadiyah. Bersamaan dengan itu pula Muhammadiyah berkembang di Bagan Siapi-api khususnya di Desa Bantaian di bawa oleh Zakaria Nali yang baru pulang dari Labuhan Bilik. Beliau kembali ke Bantaian setelah bercerai dengan istrinya. Ia menyebarkan paham Muhammadiyah di tengah-tengah masyarakat melalui pengajian.

            Zakaria Nali hanya sebagai penggerak (inisiatif) orgaaanisasi Muhammadiyah di Bantaian, tidak mau menjadi ketua, yang ditunjuk menjadi ketua malah Muhammad Jamil dan Sekretaris adalah Muhammad Mahidin. Keluarga Mahidin adalah orang terpandang, berkedudukan. Mahidin sendiri adalah menantu Datuk Indra Pahlawan yang terkenal, ia mempunyai hubungan dengan Raja Siak Sri Indrapura. Karena ia bagian dari raja, apalagi kekuasaannya di Bagan diakui oeh raja sehingga memudahkah Muhammadiyah mendapat dukukangan dari Raja Siak.

            Menurut Zakaria Nali, mereka ditunjuk lebih baik daripada dia yang tidak memiliki pendidikan yang memadai, sebab bisa saja ia akan menjadi sasaran permusuhan mas-yarakat Bantaian yang kurang suka dengan kehadiran organisasi Muhammadiyah. Sebab pada waktu itu incaran PID ke Muhammadiyah ini hanya untuk mengerdilkan Muhammadiyah dan organisasi sosial menjadi organisasi poliitik, sehingga akan mendapat tantangan dari pemerintah Belanda. Tetapi Muhammadiyah tetap dipertahankan Sulthan sebagai organisasi sosial dan agama. Sulthan mempunyai andil yang amat besar dalam memajukan Muhammadiyah. Sulthan memiliki keinginan besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ia memperbesar dana yang dipergunakan untuk membiayai anak-anak yang melanjutkan studi ke Jakarta dan Bandung.

            Zakaria Nali walaupun pendidikannya rendah, tetapi beliau memiliki kemampuan yang baik dan berkemauan keras untuk memajukan masyarakatnya. Pendekatan yang dilakukannya adalah secara kekeluargaan dan sosial.  Sesekali melakukan home visit, door to door melakukan dakwah fardiyah. Beliau juga melakukan “Metode Desimal System”, yaitu adanya satu lingkaran besar, di atas kain besar itu dibuat pula lingkaran kecil, spora-spora berkedip sehingga satu orang yang berada di desa terpencil akan punya pengikut minimal empat orang sehingga simpatisan lebih banyak daripada anggota.

            Begitulah paham pembaharuan ini mulai mewarnai kehidupan masyarakat. Ia mulai memiliki kekuatan dan dukungan untuk memajukan kehidupan masyarakat. Pada bulan Juli 1932, melalui surat, Muhammad Sa’id Arhab, konsul Muhammadiyah untuk daerah Sumatera Pesisir Timur, Muhammadiyah Bagan Siapi-api disyahkan ber-dirinya di bawah pembinaan Muhammadiyah Cabang Medan. Pada tanggal 8 Agustus 1935 karena telah memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri, disyahkan menjadi daerah cabang. Lebih kurang dua bulan kemudian tepatnya tanggal 8 Sya’ban 1355 H/24 Oktober 1936 datang Surat Ketetapan No. 594 dari Muhammadiyah Pusat Yogyakarta yang mensyahkan berdirinya Cabang Muhammadiyah Bagan Siapi-api.

            Muhammadiyah di Bagan Siapi-api berkembang cukup pesat apalagi setelah mendapat perhatian dari Sri Paduka Yang Mulia Tuanku Sulthan Syaidul Syarif Qasim Jalil Syaifuddin, Sulthan  kerajaan Siak pada waktu itu. Hal ini terbukti pada tanggal 12 -17 Februari 1939 Muhammadiyah cabang Bagan Siapi-api dipercayakan sebagai tuan rumah untuk melaksanakan Konferensi Daerah Muhammadiyah ke-12 se-Sumatera Timur di Kota Bagan Siapi-api.

            Pendidikan merupakan salah satu ujung tombak gerakan Muhammadiyah yang amat mendasar, karena melalui lembaga pendidikanlah gerakan ini dapat melahir kaderisasi dan transpformasi nilai-nilai keislaman. Maka berdirilah sekolah-sekolah Muhammadiyah yang bersifat umum maupun sekolah agama. Pada sekolah ini ditanamkan nilai-nilai keislaman sebagai pedoman hidup, dan sekaligus untuk membina kader-kader pemimpin umat dan bangsa.

            Di Bagan Siapi-api dan beberapa desa di sekitarnya telah berdiri pula cabang Muhammadiyah seperti Desa Bantaian, Bangko, Labuhan Tanjung Besar, Labuhan Tanjung Kecil, Sialang, Bagan Puncak, Bagan Hulu dan desa Bagan Jawa. Organisasi ini tetap memiliki sekolahnya masing-masing, baik sekolah rakyat maupun sekolah agama. Di Bantaian di samping sekolah tersebut, berdiri pula Tsana-wiyah pada tahun 1935. Pada tahun yang sama (1 Oktober 1935) berdiri pula sekolah Muhammadiyah ke-2 (HIS) di Bagan Siapi-api. Pada tanggal 3 Januari 1937 berdiri pula Madrasah Ibtidaiyah. Semua sekolah-sekolah Muhamma-diyah tersebut berjalan dengan baik.

 

Perkembangan Setelah Kelahiran

            Sejarah mencatat bahwa dari Bagan Siapi-api pulalah Muhammadiyah berkembang misalnya ke Bengkalis, yang didirikan oleh M. Kasirun orang Bantaian yang pindah bekerja ke Bengkalis. Ke Dumai Muhammadiyah dikem-bangkan oleh Kabul Jidin. Perkembangan seperti ini bukanlah atas instruksi dari Muhammadiyah Cabang Bagan Siapi-api, tetapi lebih banyak disebabkan oleh pindah tugas ke Dumai sebagai Kepala Urusan Agama (KUA). Ia mendirikan Mesjid Taqwa, walaupun tidak bermerek Mesjid Muhammadiyah tetapi praktek ibadan dan paham keagamaan diperkenalkan seperti yang diajarkan oleh organisasi Muhammadiyah.

            Muhammadiyah berkembang di Selat Panjang melalui Bengkalis, kemudian sebahagian ke Sungai Apit, Lalang, Kayu Ara. Masyarakat Kampar menjadi pelopor berkem-bangnya gerakan Muhammadiyah di Sungai Apit. Di Selat Panjang pelopor Muhammadiyah adalah H. Maulana. Beliau adalah seorang yang gigih dalam memperjuangkan Muhammadiyah di Selat Panjang.

            Muhammadiyah semakinberkembang di Bagan Siapi-api setelah anak Bagan yang belajar keluar daerah, dan setelah mereka kembali ke kampung halamannya menjadi tokoh pelopor Muhammadiyah. Abdurrab misalnya, ia adalah tamatan Tarbiyatul Irsyad Padang Sumatera Barat. Setelah kembali ke Bagan menjadi pengurus Muhammadiyah Bagan Siapi-api periode 1940-1950. H.A. Karim Said adik beradik sekolah di Padang Sumatera Thawalib Padang Panjang, MILO School dan Diniyah Putri.

            Sebenarnya sebagai penggerak dan pendiri Organisasi Muhammadiyah di Bagan Siapi-api adalah Yusuf Muhammad Nur. Beliau juga muballigh dari Sumatera Timur yang telah diundang memberikan pengajian (tabligh akbar) di Bantaian. Kehadiran tokoh ini mendatangkan pengaruh yang luar biasa terhadap cara pandang masyarakat tentang agama Islam yang mereka anut selama ini. Mereka selalu mengajarkan kepada masyarakat bahwa dalam beribadah kepada Allah haruslah selalu berpedoman kepada ajaran-Nya, terutama bagaimana tuntunan Rasul dakan melaksanakan sholat sebagai tiang agama Islam.

            Tokoh lain yang cukup berpengaruh sebagai peletak dasar bagi berdirinya Muhammadiyah di Bagan Siapi-api adalah M. Jamil Kubis Atan Kano, Muhammad Jidin ayah Kabul Jidin, Fakih Hasan mertua Kahar Muzakir, Amir Kasim. Sebenarnya masih banyak lagi tokoh-tokoh yang belum terlacak dalam kajian sejarah Muhammadiyah di Bagan Siapi-api ini.

            Ketika tentara Jepang masuk ke Kerajaan Siak Sri Indrapura, selama 6 bulan mereka meyakinkan kedaulatan kerajaan. Istana Siak oleh tentara Jepang dijadikan sebagai tempat pengenalan ke-tenuhaikahan. Setelah masyarakat mengerti dan banyak tahu tentang apa misi kedatangan Jepang ke Indonesia pada umumnya dan ke daerah Kesulthanan Siak khususnya, tentara Jepang mulai meninggalkan Raja.

            Hari-hari besar tidak dirayakan lagi, bendera Raja Sulthan Siak tidak boleh dipasang, diganti dengan bendera Hinobaru. Maka tinggallah raja di istana, diberi makan tetapi tidak memiliki kekuasaan karena telah dirampas oleh tentara Jepang. Raja Siak bagaikan buru dalam sangkar. Lama-kelamaan daerah kekuasaan Raja Siak Sri Indrapura dicaplok oleh tentara Jepang. Tidak adalagi dualisme dalam pemerintahan, semuanya harus tunduk dan berlutut kepada Runco (Wedana) diatas Wo Kunco, diatas lagi Cokang.

            Gerakan Muhammadiyah yang pada mulanya telah berkembang pesat di Bagan Siapi-api dan sekitarnya mulai lesu, hal ini terutama sekali karena tidak lagi mendapat dukungan perlindungan dari Raja. Walaupun sekolah Muhammadiyah tetap berjalan tetapi pola pelajaran sudah berubah menjadi Aiueo, Kakikukeko, Tatituteto, Sasisuseso. Pelajarn huruf arab berubah total, yang dipakai adalah harajana-tanakana. Guru-guru sekolah Muhammadiyah pada zaman ini banyak yang lari. Kurikulum sekolah Muhammadiyah harus tunduk kepada kekuasaan Jepang. Hubungan Muhammadiyah Bagan Siapi-api dengan pimpinan pusat sudah hampir tidak ada. Dengan konsulat Medan pun akhirnya konsulat medan pun bubar.

            Selama pemerintahan Jepang, pada mulanya organisasi Muhammadiyah sulit untuk bergerak, karena walaupun Jepang menjajah Indonesia selama 3,5 tahun, tetapi akhirnya cukup pahit dirasakan oleh bangsa Indonesia pada umumnya dan organisasi Muhammadiyah pada khususnya. Pada zaman Jepang inilah berakhirnya periode konsulat, Muhammadiyah Bagan Siapi-api tidak lagi berhubungan dengan Medan. Ia berdiri sendiri dan mencoba untuk mengurus diri sendiri, karena suasana penjajahan Jepang. Waktu sudah dicoba untuk berhubungan dengan Pimpinan Pusat Yogyakarta tetapi surat yang dikirim pada waktu itu tidak pernah mendapat balasan.

            Pada zaman revolusi fisik, tokoh-tokoh Muham-madiyah Bagan Siapi-api ikut terlibat dalam revolusi termasuk Abdurrab, Buyung Khutbah Lubis, Yamani, Dt. Harunsyah, Murad serta banyak lagi tokoh Muhammadiyah lainnya. Pada saat itu Hizbullah tidak bisa dikendalikan, maka ia masuk lasykar Hizbullah kemudian berdiri BKR, PKR. Organisasi Muhammadiyah hampir tidak terurus lagi. Pengurus Muhammadiyah dipergunakan oleh tentara Jepang, sebentar sebentar mereka dipanggil ke Pekanbaru menghadap Riau Su Samin (semacam DPRD) untuk menerima komando, melaksanakan keinginan tentra Jepang. Misalnya mereka ingin dibuatkan jalan dari satu tempat ketempat lain dan harus siap dalam jangka waktu tertentu. Tokoh-tokoh Muhammadiyah benar-benar dalam keadaan yang tidak menguntungkan buat memajukan organisasi Muhammadiyah.

 

 

D. MUHAMMADIYAH DAERAH

INDRAGIRI HILIR

 

1.     Muhammadiyah Tembilahan

Kondisi Awal Masyarakat

            Ketika kolonial Belanda menguasai Tembilahan (Indragiri), kehidupan kaum bumi putra sangat terbelakang, baik sosial ekonomi maupun ilmu pengetahuan. Kehidupan beragama umat Islam dalam menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran yang dianutnya, karena mayoritas kaum bumi putra beragama Islam yang diterima secara turun temurun, baik dikalangan suku Banjar/Kalimantan maupun suku-suku lain yang sudah berada di daerah Tembilahan/Indragiri Hilir. Setiap kegiatan yang mengarah kepada peningkatan wawasan dan kecerdasan selalu dihambat, bahkan dimusnahkan oleh kolonial Belanda, kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan perbaikan sosial ekonomi, hanya kalangan kecil kaum ningrat dan kaum yang mau mengabdikan dirinya untuk kepentingan perjuangan kolonial, meskipun harus membabat dan bahkan mengorbankan kaum bumi putra sendiri.

            Kecenderungan untuk menjajah ini dilanjutkan oleh pendudukan Nippon Jepang, meskipun dalam kurun waktu yang relatif singkat tetapi cukup membekas dalam hati dan sanubari kaum bumi putra, apalagi kewajiban hormat pada Matahari sambil mengumandangkan lagu Kebangsaan Jepang Kimigayo  setiap pagi yang diterapkan oleh pemerintah Nippon untuk seluruh kaum bumiputra diseluruh Persada Nusantara ini, perbuatan pemerintah Jepang seperti ini dianggap pendangkalan aqidah oleh Pemimpin Agama Islam waktu itu.

            Menyimak dari beberapa kejadian itulah, secara evolusi tetapi pasti lahirlah pemikir-pemikir yang peduli dengan penderitaan dan kemiskinan tentang pengetahuan agama yang dialami oleh kaum bumi putra, disamping kemiskinan juga penyimpangan dari ajaran agama yang sebenarnya dan pencampur bauran ajaran Islam dengan ajaran agama lain berupa TAHYUL, BID’AH DAN CHURAPAT (TBC) dan masih banyak lagi bentuk penyimpangan-penyimpangan yang dianggap cukup menyesatkan aqidah kaum bumi putra tempo dulu.

            Proyek pendangkalan aqidah ini bukan hanya dari faktor internal diseabkan kelemahan kaum bumi putra, tetapi juga disebabkan proyek missionaris kaum penjajah waktu itu baik dari kolonial Belanad maupun penjajahan Nippon Jepang. Secara global pejuang-pejuang Islam telah berusaha melakukan perlawanan bersenjata terhadap kaum penjajah diseluruh kawasan Nusantara.

            Pada tahun 1907 M tokoh agama Islam yang bernama KH. Abdurrahman Siddiq bin Muhammad Apip datang dari banjarmasin (kalimantan Selatan) ke Tembilahan. Datang dari Banjarmasin dengan tujuan utama untuk menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat. Paham Tuan Guru ini sangat besar dan melekat pada kehidupan masyarakat Tembbilahan (Indragiri Hilir), meskipun penyampaian ajaran agama itu masih dalam bentuk paham tradisional sesuai kondisi tembilahan waktu itu.

            Tuan Guru Abdurrahman Siddiq bin Muhammad Apip diterima dengan baik oleh kerajaan Melayu Indragiri dan diangkat sebagai mufti kerajaan dari tahun 1908 – 1939 berkedudukan di tembilahan, sampai beliau meninggal dunia pada tanggal 10 maret tahun 1939 dan dimakamkan di Parit Hidayat Sapat Kuala Indragiri sekarang.

            Ajaran tuan Guru Sapat ini tentang paham ajaran agama belum sampai ketingkat pembaharuan pemikiran dalam Islam seperti yang diinginkan oleh beliau, karena pada waktu yang ditingkatkan pola pikir masyarakat sangat rendah belum bisa menerima ajaran agama dalam bentuk yang lebih tinggi. Meskipun Tuan guru ini sudah menerima ajaran pembaharuan dari jazirah Araia bersama dengan Syekh Iobrahim Jambek (pendiri Madrasah Sumatera Thawalib Parabek Bukit Tinggi). Begitu juga dengan teman seangkatan beliau.

            Pelaksanaan ajaran agama waktu itu masih berbaur antar ajaran Islam dengan paham dan kepercayaan lain yang merupakan warisan nenek moyang sebelum masyarakat mengenal dan memahami ajaran Islam yang dibawa oleh tuan guru Sapat tersebut, kepercayaan yang sangat melekat dihati masyarakat Islam berbentuk tahyul, bid’ah dan churafat (TBC), sangat kental dengan istilah penunggu sesuatu tempat yang bisa memberikan manfaat dan bahkan mudharat (PUAKA/PUAKE) bagi yang melanggar pantangan atau harus melepaskan dan memberikan sesaji bila merasa senang terhadap sesuatu baik. Kepercayaan seperti ini diyakini betul secara turun temurun, dari generasi ke generasi yang baru yang dianggap bahagian dari ajaran Islam yang diajarkan oleh tuan Guru. Kehidupan beragama waktu itu sangatkuat disegi kepercayaan dan sangat memegang teguh ucapa petuah seorang kiyai atau tuan Guru yang bisa melebihi dari ajaran agama itu sendiri.

            Masyarakat Islam di tembilahan waktu itu masih sulit membedakan antara ajaran yang berasal dari Islam dengan paham yang hanya petuah ulama atau ucapan guru, seakan-akan apa yang disampaikan oleh tuan guru semuanya berasal dari ajaran agama (al-Qur’an dan Hadits Nabi muhammad SAW), hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :

1.    Masyarakat Islam Tembilahan belum bisa menulis dan membaca dalam mempelajari dan meneirma ajaran Islam, tetapi hanya menerima langsung dari pengajian dengan Tuan Guru waktu itu.

2.    Belum adanya sekolah atau madrasah untuk menyiarkan ajaran agama Islam secara formal struktural, sebab kondisi waktu itu masih berada di bawah jajahan kolonial Belanda.

3.    Bagi masyarakat Islam kritis waktu dapat bertanya langsung kepada Tuan Guru atau muridnya apabila terbentur sesuatu dalam maslaah agama Islam (kaji duduk).

4.    Bagi masyarakat yang jauh dari tempat tinggal Tuan guru hanya memandai-mandai(tetangguhan/mengira-ngira) baik atau betul dalam melaksanakan sesuatu yang berhubungan dengan ajaran agama Islam.

            Dengan beberapa faktor diatas itulah yang menyebabkan ajaran Islam itu tidak sepenuhnya sesuai dengan konteks asli yang disampaikan oleh Tuan Guru, karna apa yang telah diterima dari generasinya akan dilanjutkan ke generasi berikutnya (Islam warisan) hal ini berlangsung dalam kurun waktu yang lama dalam suasana daerah Tembilahan dibawah kolonial Belanda.

            Setelah meninggalnya tuan Guru pada tanggal 10 maret 1939 dan dikebumikan di Parit Hidayat Sapat Kuala Indragiri, ajaran agama dilanjutkan oleh murid-murid beliau sekaligus menanamkan perasaan kultus (Penghormatan yang berlebihan) terhadap almarhum tuan Guru tersebut sampai sekitar tahun 1965 dan bahkan sampai sekarang masih ada masyarakat islam yang menghormati atau meminta sesuatu di makam (kuburan) beliau atau acara zairah kubur ke hidayat.

           

Lahirnya Muhamadiyah

            Sekitar tahun 1913 paham muhammadiyah sudah masuk ke Tembilahan/ Indragiri melalui jalur perantau yang berasal dari pulau jawa, perantau dari sumatera barat, perantau dari sumatera utara dan sumatera tengah, perantau dari banjarmasin, perantau dari sulawesi selatan dan perantau dari daerah-daerah lain yang keresidenan Riau.

            Perantau ini ada yang berstatus pedagang pegawai kewedanaan, ada yang sengaja hijrah ke Tembilahan untuk membuka usaha kebun kelapa, ada yang sengaja jalan-jalan menemui sanak keluarga dan akhirnya menetap dan tinggal bersama keluarganya dan lainnya.

            Dalam kehidupan menjalankan ajaran agama sehari-hari terutama ibadah kepada Allah SWT dengan amalan muhammadiyah sering kali mendapat tantangan dari kaum penduduk asli Tembilahan yang sudah menerima paham ajaran agama leluhurnya, sehingga ajaran Muhammadiyah disamakan dengan ajaran kaum muda (kaum yang sesat). Kejadian yang sangat mengharukan apabila ada orang yang berpaham muhammadiyah masuk kerumah penduduk, maka bekas tempat duduk langsung dicuci/dibersihkan, seakan-akan bekas tempat yang diduduki akan membawa sial dan bencana yang bisa berdampak buruk bagi si tuan rumah, bahkan yang paling menyakitkan bekas tempat yang diduduki tersebut dianggap bernajis yang segera dibersihkan/disucikan oleh si tuan rumah yang menerima tamu.

            Kehidupan agama yang seperti ini berlangsung cukup lama dan sulit dirubah karena mereka mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Tembilahan dan kaum pendatang yang berpaham Muhammadiyah  menghadapi tantangan cukup  berat untuk menyebarkan dan menyebarluaskan paham muhammadiyah kepada masyarakat pribumi/ penduduk setempat diseluruh Tembilahan. Meskipun demikian usaha yang dilakukan oleh kaum pendatang ini tetap tegar dan konsekuen memegang keyakinan dan paham Muhammadiyah , meskipun tetap membaur dengan masyarkaat setempat baik dalam kehidupan sosial ekonomi maupun kehidupan amalan ajaran agama Islam.

            Pada waktu itu, meskipun sudah dianggap banyak kaum pendatang yang berpaham Muhammadiyah  di Tembilahan yang datang dari berbagai daerah dan dari berbagai suku bangsa, tetapi belum terbentuk suatu struktur kepemimpinan persyarikatan  Muhammadiyah  seperti apa yang diinginkan oleh sesepuh /pendiri muhammadiyah KH. Ahmad dahlan, hal ini barangkali disebabkan oleh beberapa kendala antara lain :

1.   Belum adanya satu keinginan bersama untuk secara resmi mendirikan persyarikatan Muhammadiyah di Tembilahan

2.   Belum adanya tempat (ruangan) yang bisa digunakan untuk berkumpul dan bermusyawarah membicarakan gerak langkah persyarikatan Muhammadiyah di Tembilahan

3.   Belum adanya dukungan dari penguasa kewedanaan Tembilahan waktu itu untuk mendirikan secara resmi persyaraikatan Muhammadiyah.

4.   Belum adanya tokoh sentral sebagai motor penggerak yang dituakan yang mau dan bisa menjadi pimpinan persyarikatan Muhammadiyah di Tembilahan.

5.   Belum adanya jalur penghubung (arus birokrasi) untuk mendapatkan informasi tentang persyaratan yang dipenuhi untuk mendirikan persyarikatan Muhammadiyah di Tembilahan.

 

            Dari beberapa kendala itulah mungkin yang menjadi sebab utama maka persyarikatan Muhammadiyah  itu belum berdiri secara organisatoris di kewedanaan Tembilahan sampai sekitar tahun 1949 M.

            Meskipun pada sekitar tahun 1946 tersebut secara organisatoris Muhammadiyah  belum ada kifrahnya di Tembilahan, tetapi paham dan ajaran Muhammadiyah  itu secara berangsur-angsur tetapi pasti telah merambah kebeberapa daerah di wilayah keweadnaan tembilahan, bukan saja pada tingkat masyarakat bawah (masyarakat awam) tetapi juga ditingkat birokrat (kalangan pegawai) yang statusnya juga perantau dari berbagai penjuru Nusantara).

Sekitar tahun 1947 ada beberapa tokoh baru yang berpaham Muhammadiyah  datang ke Tembilahan dari berbagai kawasan nusantara, ada yang datang sebagai Pegawai Pemerintah, ada yang datang sebagai pedagang dan ada yang datang menjadi guru di Tembilahan, antara lain :

1.   Hikmat kadir datang dari Banjamasin sebagai pensiunan tentara dan menetap di Tembilahan membawa misi Muhammadiyah .

2.   Tjik Lie dan Djazuli, keduanya pegawai pemerintah waktu itu datang dari luar Tembilahan membawa misi Muhammadiyah  ke Tembilahan.

3.   H.M Assaf BTL dari makasar (Sulawesi Selatan) datang ke Kuala Enok untuk membawa usaha dagang dan membawa misi Muhammadiyah .

4.   Engku Mudo Muhammad Yazid dari Taluk Kuantan datang ke Jerambang/laking ingin menjadi guru agama disekolah-sekolah dan membawa misi Muhammadiyah .

5.   Dan banyak lagi tokoh-tokoh lain dari daerah yang punya misi Muhammadiyah  untuk dikembangkan di Tembilahan.

 

            Perantau yang baru datang ini bertemu dengan tokoh-tokoh yang sudah ada di Tembilahan dan mempunyai paham yang sama dengan keinginan yang sama, seperti khalidi M. Noer, H.M. Yusuf, Amir Hamzah, Muhammad Russi, Ajad, Khairu Karimun, Ali Amran Sibad, H. Nawawi Hatmi, Nawazar Yamin (Wongso), Murad Rasyidi, Djalil Nuzu dan beberapa tokoh lain.

            Sekitar tahun 1962 tokoh-tokoh yang berpaham  Muhammadiyah  ini sepakat mendirikan persyarikatan Muhammadiyah  di Tembilahan, maka sekitar tahun 1963 resmi Muhammadiyah  berdiri di tembilahan meskipun belum mempunyai tempat atau gedung untuk melaksanakan kegiatan persyarikatan, sehingga nampak oleh masyarakat ketika itu bahwa Muhammadiyah sudah resmi berdiri di Tembilahan ini. Struktur pimpinan masih bersifat sementara sesuai dengan kondisi waktu itu yang terdiri dari :

Ketua                    :     Ahmad Djazuli

Sekretaris            :     Nawazar Yamin

Bendahara           :     Amir Hamzah

Anggota               :     1.   Muhammad Rusi

                                    2.   Ajad

                                    3.   Khairu Karimun

 

Perkembangan Setelah Kelahiran

            Kemudian pada tahun 1960, H. Sa’luddin mewakafkan sebuah bangunan gedung kepada persyarikatan Muhammadiyah untuk dijadikan tempat kegiatan operasional dan kegiatan amal usaha lainnya (lokasi bangunan gedung di jalan kapten mukhta sekarang). Dengan adanya bangunan gedung tersebut maka kegiatan organisasi sudah mulai nampak, teurtama dibidang pendalaman ajaran agama Islam dengan paham Muhammadiyah yang disampaikan oleh Pimpinan Muhammadiyah Tembilahan, baik melalui ceramah-ceramah umum,maupun wirid/pengajian setiap kamis malam jumat untuk seluruh warga dan simpatisan Muhammadiyah waktu itu ditembilahan.

            Selain itu pendalaman ajaran agama juga dirintis kegiatan lain untuk mendidik kader-kader muda Muhammadiyah, sesuai dengan langkah-langkah yang telah ditempuh/dilakukan oleh pendidri Muhammadiyah       KH. Ahmad Dahlan, yaitu bidang pendidikan (mendirikan sekolah Muhammadiyah). Maka pimpinan cabang Muhammadiyah Tembilahan waktu itu sepakat mendirikan sekolah rakyat (SR) Muhammadiyah.

            Melalui lembaga Pendidikan (Sekolah) ajaran dan paham Muhammadiyah itu dapat ditularkan kepada masyarakat dalam waktu yang relatif singkat dan juga para siswa dalam perguruan Muhammadiyah merupakan kader-kader persyarikatan yang diharapkan dapat meneruskan ajaran dan paham Muhammadiyah dimasa mendatang, baik sebagai anggota dan simpatisan maupun sebagai pimpinan dalam persyarikatan Muhammadiyah di Tembilahan khususnya dan Indragiri umumnya.

            Secara umum paham Muhammadiyah itu menyebar keseluruh organisasi Otonom (ORTOM), seperti Aisyiyah, Pemuda Muhammadiyah, Pelajar Muhammadiyah dan Nasyiatul Aisyiyah, semua nya ini harus tergarap dengan rapi dan sukses sebagai pendukung persyarikatan ini, sehingga waktu itu secara bahu membahu seluruh warga Muhammadiyah turut andil menggalang masa dan menyampaikan paham dan ajaran Muhammadiyah ini ketengah-tengah masyarakat Tembilahan, baik melalui ceramah, pengajian, perdagangan maupun melalui birokrasi pemerintahan yang ada waktu itu.

 

2. Muhammadiyah Kuala Enok

            Muhammadiyah di Kuala Enok didirikan oleh perantau Bugis pada tahun 1952 yang terdiri dari H.M.Asap BTL, H.Abdullah Halim, H.Muhd. Kasim, H.Radhi, H.Abd. Gafar dan H.Jalaluddin. berdirinya Muhammadiyah ini didorong oleh keinginan untuk mengembangkan paham Muhamamdiyah dan secara kebetulan kebanyakan perantau Bugis yang ada di Kuala Enok adalah keluarga dan aktivis Muhammadiyah di kampung halamannya.

            Pembinaan anggota dilakukan melalui pengajian tetap yang dilaksanakan di Mesjid. Tetapi Mesjid untuk sekarang tidak lagi dimangaatkan oleh Muhammadiyah karena aktivitas Muhammadiyah tidak kelihatan lagi sehingga Mesjid tersebut sekarang dipergunakan oleh  orang dagang, sehingga mesjid itu sekarang bernama dengan Mesjid Dagang.

            Perjalanan Muhamamdiyaah Kuala Enok boleh dikatakan tidak mendapat tantangan. Penerimaan masyarakat terhadap Muhammadiyah sangat baik, apalagi masyarakat Bugis yang terdiri dari 70% tidak mempersoalkannya. Pengajian  Muhammadiyah tidak mendapat tantangan karena Muhammadiyah tidak mencaci, mengecam paham diluar Muhammadiyah. Kebakaran pasar Kuala Enok tahun 1964, merupakan salah satu penyebab lumpuhnya gerakan Muhammadiyah, karena para aktivis Muhammadiyah banyak yang pindah dari Kuala Enok.

 

3. Muhammadiyah Teluk Pinang

            Kehidupan Islam berjalan apa adanya, perkem-bangannya sangat statis dan fanatik. Tidak ada Muballigh dan ulama yang akan membina jamaah agar dapat menggerakkan syariat dan ibadah Islam, sehingga pengamalan agama hanya terbatas kepada pengalaman yang turun temurun tanpa memperhatikan peningkatan kualitas.

            Saat sebelum ada organisasi Islam di Teluk Pinang yang dapat mengajak jamaah untuk mempelajari Islam secara mendalam. Maka pada waktu kondisi umat Islam seperti itu datanglah seorang guru (ustazah) tamatan Mualimin Padang Panjang dengan penampilan yang dirasa asing bagi masyarakat Teluk Pinang. Ia berpenampilan selalu berbaju Muslim, berbaju kurung, padai Mudawarah, semacam jilbab sekarang. Ia mendapat perhatian dan banyak kaum ibu untuk mengadakan wirid mingguan dan secara berangsur-angsur pengikutnya semakin banyak, akhirnya pengajian itu dinamakan pengajian Aisyiah.

            Sementara itu, atas keinginan mengembangkan paham keagamaan Muhammadiyah, beberapa orang berusaha mendirikan Muhammadiyah, dan terbentuklah Muhammadiyah yang diresmikan pada tanggal 25 Mei 1967 dengan susunan pengurus antara lain :

Ketua                          : H.Marhanang

Wakil Ketua              : Jamaluddin

Sekretaris                  : Hamron Plang

Bendahara                 : H.Haroen

 

Setelah Muhammadiyah diresmikan, maka kelihatanlah berbagai kegiatan yang dilakukan oleh pengurus, seperti : mendirikan SD Muhammadiyah pada bulan September 1967. Sekolah Muhammadiyah ini disamping tempat mendidik generasi harapan bangsa dari kalangan penduduk muslim, juga tempat menampung anak-anak keturunan Tionghoa dalam mendapatkan pendidikan hingga kini.

            Setelah resminya Muhammadiyah dan berdiri pula SD Muhammadiyah, maka pengajian Aisyiah nyaris bubaar, karena mereka menganggap tertipu, yang semula mereka mengira bahwa Aisyiah itu adalah suara kaum muda. Alhamdulillah dalam situasi demikian datanglah seorang Muballigh Muhammadiyah yakni bapak Priyo Utomo yang menjelaskan tentang Muhammadiyah dan Aisyiah. Beliau sempat tinggal di Teluk Pinang selama 1 bulan, dan setiap malam dan subuh terus memberikan ceramah agama, hendak menjelaskan bagaimana ajaran Islam yang sebenar-benarnya.

 

 

E. MUHAMMADIYAH DAERAH

BENGKALIS

 

1.Muhammadiyah Selat Panjang

Kondisi Awal Masyarakat

            Selatpanjang berada di Pulau Tebing Tinggi, Kecamatan Tebing Tinggi. Penduduk kecamatan ini didiami oleh etnis Melayu, Jawa, Cina dan etnis lainnya. Jumlah penduduk Selat Panjang lebih kurang 40.000 jiwa, 70% pribumi keturunan Cina, selebihnya 30% adalah pribumi. Kota Selatpanjang akhir akhir ini memang telah berkembang pesat terutama dalam bidang pembangunan .

            Daerah ini penghasil sagu, yang pada masa lampau merupakan komuditi ekspir, tetapi sekarang umumnya dikirim ke Jawa. Disamping sagu juga terdapat kelapa dengan aeral yang cukup luas. Sedangkan hutan penghasil kayu yang sejak dahulu dikuasai Cina, karena urat nadi perdagangan di daerah ini memang dikuasai sepenuhnya oleh Cina. Kapal-kapak fery yang hilir mudik menghubungkan Seatpanjang dengan Pekanbaru, Batam, Dumai, Tanjung Balai Karimun, Tanjung Pinang, Dabo Singkep, Bengkalis dan Singapura.

            Semuanya adalah milik orang-orang Cina, sedangkan orang pribumi (melayu) pada umumnya hanyalah menjadi buruh di perusahaan Cina. Ketimpangan social tentu tak dapat dielakkan, walau ada juga orang-orang melayu yang mencoba berusaha dibidang ekspor-impor, traansportasi dan lai-lain, tidak jarang setelah berjalan beberapa bulan atau tahun,. Mereka bangkrut, karena tidak  kuat bersaing dengan orang Cina.

            Mencermati keberadaan  Muhammadiyah cabang Selatpanjang, nama Haji Maulana sangat lengket dengan Organisasi ini. Sunggupun  beliau bukan pendirinya, namun keberadaannya bertahun tahun sangat menentukan perkembangan Muhammadiyah hingga kini.

            Seorang warga Muhammadiyah Selatpanjang mengemukakan perjalannya ketika beliau membuka toko obat “Sehat Bersama”. Pedagang- pedagang Cina di Selatpanjang tidak memiliki organisasi yang jelas, tetapi memiliki ikatan emosional rasnya yang cukup tinggi.

 

Lahirnya Muhammadiyah

            Muhammadiyah di Selatpanjang diperkenalkan oleh Datuk Harun Syah, ketika beliau dipindahkan dari Bagan Siapi-api untuk menjadi Wedana di Selatpanjang. Beliau mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1952. gerakan organisasi ini belum  ada yang menonjol diawal berdiriny, karena penanganannya yang terkesan belum begitu baik. Kendatipun demikianmempat tahun setelah berdirinya, gerakan Kepanduan Muhammadiyah yang bernama Hizbul Wathan berdiri pada tahun 1956. namun karena kekurangan tenaga pengelola maka kegiatan kepanduan ini tidak berjalan dengan baik.

Pada tahun 1961 adalah tahun yang patut dicatat, karena pada tahun tersebut pertumbuhan Persyarikatan Muhammadiyah di Selatpanjang mulai menggeliat kembali. Hal ini dimulai oleh seorang muballigh Muhammadiyah yang berasal dari Solo, Raharjo Periotomo.  Terasa sekali kegiatan Muhammadiyah, beliau turun langsung berdakwah ke desa-desa di Kecamatan Tebing Tinggi. Tidak sedikit rintangan yang dihadapinya dalam menumbuhkan semangat ber-Muhammadiyah. Telah diketahui bahwa orang-orang Melayu tradisional yang berfaham Syafiiyah, menganggap Muhammadiyah golongan muda yang diilhami paham Wahabiyah, yang banyak mendobrak paham keagamaan tradisional masyarakat Melayu yang telah berakar dalam hati sanubari mereka. Faham keagamaan yang berdasarkan tahyul, khurafat, dan bid’ah menjadi inti pokok kegiatan dakwah yang dilakukannya. Ia ingin meluruskan aqidah dan ibadah umat Islam agar berpedoman kepada Alquran dan Hadits Rasul. Pengalaman, pengetahuan, ketekunan dan keikhlasan bapak Raharjo Periotomo membuahkan hasil dalam mengemban misi dakwahnya. Keberhasilan ini tak lepas pula dari dukungan para pemuda yang penuh semangat seperti H.Maulana yang berasal dari Selatpanjang.

            Tahun 1963 Muhammadiyah bangkit, karena ranting-ranting Muhammadiyah dan Aisyiah mulai ditata kembali.Bapak Raharjo berdakwah di Selatpanjang selama tiga tahun. Biaya hidup dan menghidupkan Muhammadiyah hanya dengan bermodal 6 ringgit emas yang dibawanya dari Solo. Kemudian beliau pindah ke Pekanbaru, dan pada tahun 1967 beliau meninggal di Medan.

            Sampai tahun 1967, perjalanan pergerakan Persyarikatan Muhammadiyah sangat menyenangkan. Tetapi  dengan kehilangan tokoh seperti bapak Raharjo, ditambah lagi dengan berangkatnya H.Maulana untuk belajar, maka Muhammadiyah Selatpanjang mulai redup kembali. Beberapa ranting sudah mulai tidak aktif lagi, walaupun SMP Muhammadiyah yang didirikan oleh seorang anak didiknya, Drs. Wan Abu Bakar ( ketua pemuda Muhamadiyah Wilayah Riau, Wakil Ketua DPR Riau) tetap berjalan. Tahun 1972 H.Maulana kembali ke Selatpanjaang dengan pikiran dan semangat baru untuk membina kembali organisasi Muhammadiyah.

 

Perkembangan Setelah Kelahiran

            Pada tanggal 8 Juni 1980, Muhammadiyah Selatpanjang pernah mendapat kunjungan Drs.H.Lukman Harun PP Muhammadiyah. Muhammadiyah Cabang  Selatpanjang secara organisatoris berada  dibawah Muhammadiyah Daerah Bengkalis. Menyedihkan, pengurus Muhammadiyah Daerah di ibukota kabupaten Bengkalis tidak terbentuk, sehingga cabang-cabang yang ada di kecamatan praktis tidak mendapat pembinaan oleh Muhammadiyah Daerah. Untuk mengatasi hal ini, tanggung jawab daerah dibebankan ke Muhammadiyah Dumai. Padahal Dumai adalah kotamadya administrative yang tidak membawahi kecamatan-kecamatan, dimana cabang Muhammadiyah berdiri.

            Pada waktu itu Muhammadiyah cabang Selatpanjang telah membina beberapa cabang Muhammadiyah disekitarnya, sehingga gerak langkahnya lebih pesat disbanding dengan Muhammadiyah Daerah Dumai yang seharusnya menjadi pembina. Keadaan seperti ini menimbulkan berbagai pemikiran agar Muhammadiyah Daerah Bengkalis dibagi dua saja, Bengkalis Timur dan Bengkalis Barat. Cabang Muhammadiyah Selatpanjang dimasukkan menjadi Daerah Bengkalis Timur dan Muhammadiyah dumai membawahi Bengkalis Barat. Usul dan pemikiran tersebut tidak mendapat persetujuan.

            Usaha membentuk Pengurus Daerah Muhammadiyah Bengkalis mulai dilakukan. Maka terbentuklah PDM Bengkalis yang dipimpin oleh Drs. H.Lumban Hutabarat, ketua Pengadilan Agama Kabupaten Bengkalis. Dengan terbentuknya Pengurus Daerah Muhammadiyah Bengkalis, pengusulan cabang Selatpanjang untuk dikembangkan ketingkat daerah terjawab sudah. Cabang Muhammadiyah Selatpanjang berada dibawah pembinaan PDM Bengkalis, sedangkan cabang Muhammadiyah Dumai dikembangkan menjadi beberapa cabang sesuai dengan status kotamadya dan membentuk PDM sendiri.

            Aktivitas dakwah Islamiyah dijalankan terus menerus tiada henti, dengan munculnya para muballigh yang berdeikasi tinggi, mengingat lokasi dakwah di tempat yang sulit dan terpencil. Daerah-daerah yang sulit dijangkau tersebut, menyadarkan para muballigh untuk mempersiapkan keteguhan iman, kesabaran, ulet, semata mengharap ridha yang Maha Kuasa.

            Amal Usaha yang terus berkembang hingga saat ini. Cabang Muhammadiyah Selatpanjang telah membangun TK, SD, Tsanawiyah, 4 buah Mesjid, 1 buah Mushala dengan sebelas ranting. 9 diantaranya masih aktif, sedang du ranting lain memerlukan pembinaan yang serius dengan mendidik kader Muhammadiyah.

 

F. MUHAMMADIYAH DAERAH

KEPULAUAN RIAU

 

Kondisi Awal Masyarakat

            Di zaman pemerintahan Belanda Kepulauan Riau adalah sebuah keresidenan yang diperintah seorang residen yang berkedudukan di Tanjung Pinang. Wilayah kekuasaannya mencakup Riau daratan, namun Kota Pekanbaru tidak termasuk di bawah wilayah Keresidenan Riau. Pekanbaru berada di bawah daerah taklukan Kesultanan Siak yang termasuk Keresidenan Sumatera Timur.

            Pada tahun 1942 ketika Belanda kalah perang dengan Jepang, di Kepulauan Riau terjadi vakum (kekosongan pemerintahan) masa vakum ini diambil alih oleh sementara oleh Kapten Cina dan Kapten India (begitu disebut orang) sebelum statusnya jelas.

            Jepang menduduki Singapura di bawah Shio Nanto, dengan didudukinya Singapura. Jepang segera membenahi administrasi pemerintahannya. Nama Singapura digantinya dengan namamya sendiri yaitu Shionanto. Pemerintahan Shionanto memasukkan wilayah Tanjung Pinang (baca Kepri) di bawah kekuasaannya. Singapura yang jajahan Inggris, Kepulauan Riau jajahan Belanda digabungkan pemerintahan Shionanto, maka jadilah Tanjung Pinang tunduk ke Shionanto (Singapura).

            Setelah Jepang kalah dari sekutu tahun 1945 lagi-lagi terjadi kevakuman di Tanjung Pinang sebelum statusnya kembali ke pemerintahan Belanda dengan status pemerintahan federal. Ketika Bung Karno memprok-lamirkan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945,  wilayah Kepulauan Riau tidak termasuk kedalam negara kesatuan Republik Indonesia. Wilayah Kepulauan Riau termasuk pemeritahan federal. Beberapa tokoh Muhammadiyah/Masyumi seperti Muchtar Husin, Yakup Hasibuan, DR. Ilyas, Abdurrahman seorang School of Siner dan tokoh lainnya seperti Khairul ali rasahan (pernah jadi ketua DPRD Riau zaman orde baru) mengadakan gerakan bawah tanah menentang pemerintah Belanda. Mereka mengadakan rapat-rapat rahasia menyusun kekuatan menetang Pemerintahan Belanda. Sehingga sdalam konferensi meja bundar di Belanda Pemerintahan federal Riau mengirimkan utusan Muchtar Husin dan Raja Muhammad.

            Sebagai hasil perundinga KMB pemerintahan Belanda menyerahkan kedaulatannya kepada pemerintah NKRI pada tahun 1950. Pada tahun itulah baru Kepulauan Riau bergabung dengan negara kestuan Republik Indonesia, dimasukkan ke Provinsi Sumatera Tengah. Status keresidenan belum dihapus, pemerintah RI mengangkat residen koordinator yaitu Wibisono dan Sis Cakraningrat. Setelah itu masuk ke Pemerintahan RI tidak semua ketentuan yang berlaku di wilayah RI berlaku disini. Terutama mengenai mata uang, mata unag rupiah sebagai alat pembayaran yang syah tidak berlaku disini. Diwilayah ini “strait dolar” sebagai alat pembayaran yang sah setidak-tidaknya sampai tahun 1963

            Pergolakkan daerah di Sumatera Tengah memunculkan letkol Ahmad Husain sebagai ketua dewan Banteng. Selain menggerakkan gerakkan anti PKI ia juga menuntut perolehan daerah yang besar, secara administratif ia ingin mengangkat seorang Gubernur di Riau. Untuk menantisipasi hal ini Pemerintah Pusat (Ir. Soekarno) mengangkat Mr.SM Amin sebagai gubernur Riau yang berkedudukan di Tanjung Pinang.

            Keterangan di atas dibenarkan oleh Haji Syarif sutan mudo seorang pensiunan Perwira CPM yang masa tuanya dihabiskan untuk berdakwah mendirikan sekolah, mesjid, mushalah dan lain-lain. Beliau seoirang tokoh Muhammadiyah yang berwawasan luas berpikiran tajam serta akrab dalam pergaulan dikenal baik dikalangan ttua maupun muda kendatipun beliau sudah berusia 82 tahun. Penduduk KPRI Heterogen yang terdiri adri suku melayu bugis, minang, banjar, batak jawa dan lain-lain. Mata pencarian rakyat tempatan selain dari pada nelayan juga petani Karet sedangkan para pendatang lebih banyak bergerak dibidang Bisnis.

            Kehidupan keagamaan   nampak juga sedikit berbeda antara masyarakat tempatan yang keonserpatif dan masyarakat pendatang yang moderat. Hal ini terlihat pada pelaksanaan ibadah sholat baik wajib maupun sunat upacara-upacara kematian maupun pelaksanaan upacara kematian (Talkin mayat). Tokoh konseppatif yang sangat besar pengaruhnya ialah H. Abu Bakar yang mendapat pendidikan agama di Singapura (diperkirakan dari madrasah Al Junet) yang menjadi imam mesjid Raya Tanjung Pinang. Beliau melaksanakan dakwah tapi tidak memiliki jamaah khusus dan tidak pula mendirikan lembaga apapun. Tiokoh lain yang berpikiran maju dsan pandangan jauh  kedepan ialah pak Cik Yahyah latar belakang pendidikannya kurang ditehaui tapi ialah ortang yang pertama yang mendirikan madrasah Ibtidaiyah di Tanjung Pinag. Ia mendirikan Yayasan yang menaungi madrasah yang didirikann ya itu ia pulalah yang mengsponsori berdirinya pendidikan Guru agama (PGA) Tanjung Pinang ia usahakan lembaga yang disonsori tersebut agar dipimpin oleh ustadz Abdul Aziz Arif seorang tokoh Muhammadiyah di kala itu.

 

Lahirnya Muhammadiyah

            Menurut haji danur Yusuf (70 tahun) seorang pengusaha yang berhasil berasal dari Payakumbuh yang memiliki usaha perhotelan, biro travel ,wartel dan kelak terlibat dalam pimpinan Muhammadiyah Kepri, tokoh yang memprakarsai terbentuknya Muhammadiyah Kepri adalah ustadz haji Ramli Hamidi, sedangkan menurut Haji Syarif engku Mudo prakarsa tersebut datang dari ustadz Umar Awaluddin. Ketika haji Syarif Engku Mudo dipertemukan dengan Haji Danur Yusuf , keduanya mengaku bahwa memori mereka sudah kabur.  Kendatipun demikian kedua tokoh tersebut baik Haji Ramli hamidi maupun ustadz umar Awaludin, telah memimpin Muhammadiyah baik secara bersama-sama  maupun sendiri-sendiri.

            Estapet kepemimpinan Muhammadiyah selanjutnya bersada di H. Syarif Sutan Mudo dimasa kepemimpinan H. Syarif kegiatan dakwahnya dimulai  dengan pembebasan tanah tanah yang terletak ditepi jalan raya untuk dijadikan p[ermbangiunan mesjid yang paripurna dimana terdapat taman kanak-kanak balai pengobatan disamping bangunan mesjid. Keinginan H. Syarif St muda tersebut berkat dukungan kawan-kawannya yang duduk di pemerintahan seperti Sahbandar (Pak Tangiran) DPR Datuk Gunung Hijau, Camat, Bupati bahkan Bapak Panglima Kodamar (Komando daerah Maritim). Pak Syarif tidak menamakan mesjid yang didirikannyha itu dengan nama Muhammadiyah dengan alasan Bila dinamakan mesjid Muhammadiyah akan terbatas Jamaahnya. Kelak Muhammadiyah membangaun mesjid muhammadiyah di KM 8 di samping Panti Asuhan Muhammadiyah “ Sementara itu Ustadz Rifai’i Yunus berinisiatif mendirikan Panti Asuhan dengan mengumpulkan dana dari para Darmawan. Setelah Panti Asuhan Muhammadiyah selesai dibangun beliau menyerahkan kepada Persyarikatan Muhammadiyah

            Tokoh-tokoh Muhammadiyah yang duduk dalam pemerintahan mulai kurang disenagin karena pada umumnya mereka menyalurkan asfirasi politiknya pia Partai masyumi terlibat dalam pemberontakan PRRI. H. ramli Hamidi tersingkir menyusul pula Dr. Syatar Malik di pindahkan ketempat lain demikian pula tokoh-tokoh lainnya seperti Ustadz Umar Awaluddin.

 

Perkembangan Setelah Kelahiran

            Dalam periode berikutnya sekitar tahun 70 an H. Danur Yusuf tampil memimpin Muhammadiyah Kepri yang telah memiliki Cabang, tanjujg Batu, Karimun, Rejai, senayang dan Singkep di antara cabang-cabang tersebut, Cabang Karimun berkembang menjadi Pimpinan Daerah mengikuti perkembagan Administrasi pemerintahan yang telah dimekarkan dimasa kepemimpinan H. Danur Yusuf Panti asuhan yang diserahkan kepada Muhammadiyah sewpertiu sersebut pada uraian sebelumnya di rehap menjadi bngunan Baru yang permanen. Di Zaman ORBA kegiatan dakwah Muhammdiyah nbaik bil lisan maupun bil hal agak terganggu, hal ini disebabkan masalah politik (karena ada anggapan bahwa orang Muhammadiyah itu orang PPP dan ini kurang berkenan di mata poemerintah).

            Kecemburuan dari organisasi lain juga ada karena mereka tidak memiliki amal usaha seperti ytang dimiliki Muhammadiyah. Periode berikutnya tampil tokoh muda yang memimpin Muhammadiyah yaitu Drs. H. Muhsin Khalidi kemudian disambut pula oleh kepemimpinan Prurn Al M. Sadar yang juga pernah jadi Ketua DPRD KEPRI. Setelah kepemimpinan M. Sadar berakhir estapet kepemimpinan diserahkan pula pada Dr.. Bahtiar seorang pensiunan dari Dinas Kesehatan KEPRI.

            Hubungan persyariukatan di bawah kepemimpinan tokoh-tokoh yang disebut terakhir sangat baik, kooperatif saling membangun bila demikian dilihat masa depan persyarikatan ini sangat cerah karena memiliki SDM yang berkualitas. Dengan Keluarnya Cabang Karimun dan tanjung Btau (kedua cabang tersebut telah bergabung dengan PDM Karimun maka PDM KEPRI hanya memiliki 4 (emnpat) Cabang yang asktif yaitu Cabang tanjung Pinang, Bintan Timur, Singkep dan Cabang Kijang. Amal usahan yang dimiliki persyariktan terdiri dari dua panti asuhan putra-putri sebuah Musallah, sebuah Taman Kanak-Kanak sebuah SMP, sebuah SMA dan sebuah Rumah sakit yang sedang terbengkalai yang teletak di KM 8.

 

G. MUHAMMADIYAH DAERAH

NATUNA

 

Muhammadiyah Midai

Kondisi Awal Masyarakat

            Sebelum  lahirnya Muhammadiyah, seluruh adminis-trasi Pememrintahan dikuasai  sepenuhnya oleh Belanda yang berdomisili di Tanjung Pinang. Sementara di Midai dibawah penguasaan Amir (Camat) yang diangkat oleh Belanda. Dalam persoalan sosial Masyarakat sebelum Muhammadiyah lahir sampai saat ini masih diancungkan jempol, sehingga dikenallah sebutan Fastabiqul Khairat (suatu lembaga yang mengurus pesoalan kematian). Sedangkan masalah perekonomian masyarakat, tertera dalam cerita rakyat yang menyatakan bahwa Midai merupakan jalan terapung yang ditopang oleh tiga tiang, saat ini salah satu tiang tersebut telah roboh.

            Apa yang dimaksud oleh cerita rakyat ini adalah bahwa Midai dalam persoalan perekonomiannya dindalkan melalui 3 sektor perekonomian, yaitu : sector perikanan, kopra dan cengkeh. Sementara salah satu tiang yang roboh dimaksud adalah cengkeh. Sector ini tidaak bisa diandalkan lagi dikarenakan harganya sangat mencekik kehidupan masyarakat, terutama pada waktu cengkeh tersebut ditangani oleh BPPC. Kegiatan ekonomi ditandai dengan berdirinya Sarikat Ahmadi & Co tahun 1980.

            Paham keagamaan masyarakat boleh dikatakan sangat kurang sekali. Hal ini dikarenakan memang jarak tempu daerah Midai yang sangat jauh dari pusat Kota Kabupaten Tanjung Pinang. Oleh karenanya sangat menuntut adanya suatu lembaga agama yang dapat dibina oleh seorang tokoh yang dapat mengembangkan paham keagamaan secara benar seperti yang diajarkan Alquran dan Hadits Rasul. Lembaga di Masyarakat pada saat itu memang dikatakan belum ada, dan kalaupun ada hanyalah pendidikan surat yang disebut Madrasa fil Islam. Kemudian setelah itu barulah muncul Sekolah Rakyat (SR)

            Tokoh-tokoh yang berpengaruh di masyarakat/pemerintah diantara tokoh-tokoh yang berpengaruh adalah : Jasa Engku Sutan, beliau adalah seorang guru madrasa yang sekaligus menjadi muballigh di daerah ini. Begitu juga Youmil Diham, ia adalah pengurus madrasah dan tokoh masyarakat. H.Mukhtar adalah seorang guru Sekolah Rakyat.

            Kegiatan ibadah yang dilaksanakan masyarakat Midai, masih mengikuti seperti apa yang diperoleh dari orang tua melalui pendidikan di surau.

 

Lahirnya Muhammadiyah

            Diantara tokoh pengambil inisiatif lahirnya Muhammadiyah adalah : Jasa Engku Sutan, Haji Hasan, Khatib Ali, Abd. Ghafar Ali, Nurdin, H.Muhd. Yasin, H.Simin, H. Intan, Pohan, H.Syamsuddin, Fakih Dolah, Tarudin, dll, yang berjumlah tidak kurang dari 17 orang.

            Secara umum para tokoh pendidir Muhammadiyah di Midai berasal dari Riau daratan (Kampar dan Taluk Kuantan) yang berlatar belakang pendidikan surau (pesantren). Mereka datang ke daerah ini sebagai perantau dan karena tugas dinas yang diembannya.

            Adapun moment yang dijadikan dasar berdirinya organisasi Muhammadiyah adalah karena minimnya pengetahuan masyarakat, disamping itu karena adanya suatu  keinginan untuk bersama-sama berjuang mengusir penjajah yang bercokol di Midai dan mereka menguasai pemerintahan daerah tersebut.

            Pendekatan yang dipergunakan oleh para tokoh dalam mendirikan Muhammadiyah di Midai adalah dengan pendekatan kepentingan, artinya memang masyarakat itu sendiri yang menghendaki didirikan suatu lembaga keagamaan seperti Persyarikatan Muhamadiyah.

            Pada saar berdirinya Muhammadiyah, memang tidak terdapat reaksi dari masyarakat dikarenakan masyarakat sendiri yang menghendaki. Namun demikian setelah Muhammadiyah menunjukkan kegiatannya dengan memperbaiki kekeliruan beribadah, barulah mulai timbul reaksi yang menyatakan bahwa Muhammadiyah itu adalah aliran sesat yang sangat berbahaya.

            Nama-nama pengurus organisasi pada zaman Belanda antara lain : R.M.Ali sebagai ketua, H.Abdul Rahman sebagai sekretaris. 7 bulan kemudian sekretaris diganti dengan H.Syaamsuddin dan ketua Jasa Engku Sutan.

       

Perkembangan Setelah Kelahiran

            Di zaman Jepang Administrasi Pemerintahan ditangani olehJepang yang berdomisili di Tarempat. Hanya saja lembaga keagamaan seperti Muhammadiyah sedikit lebih leluasa melakukan dakwah  Islamiyah, sekaligus membina anggota dan masyarakat Mida tanpa adanya tekanan dari pemerintahan Jepang.

            Telah disebutkan bahwa pada zaman Jepang boleh dikatakan tidak terdapat tekanan dalam persoalan organisasi keagamaan, karena itu Muhammadiyah dapat berkebang sebagaimana mestinya, seperti melakukan amal usaha sesuai dengan misi yang diembannya. Amal usaha Muhammadiyah yang telah dibina pada waktu itu ada pesantren Muhammadiyah, yang membina anak-anak dan orang tua yang bertempat di Surau Muhajirin (sekarang berubah dengan nama Masjid At-Taqwa).

            Peranan konsulat dalam pembinaan organisasi Muhamamdiyah di Midai boleh dikatakan tidak ada, kalaupun ada hanyalah  ketika  peresmian bahwa Muhammadiyah Midai dapat berdiri oleh konsulat Taluk (Umar Husin) atas perintah Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yopgyakarta.

            Tokoh-tokoh Muhammadiyah yang terlibat dalam revolusi fisik pada umumnya  para tokoh Muhammadiya yang berjumlah 17 orang. Mereka sangat gigih dalam menanamkan semangat perjuangan menentang segala bentuk penjajahan yang tidak sesuai dengan hati nurani dan ajaran Islam.

            Dari 17 orang tokoh tersebut, mereka berusaha membeli senjata dengan cara memberikan sumbangan untuk dibelikan 7 ekor lembu, kemudian barulah dibelikan senjata, untuk diserahkan kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Usaha mereka akhirnya cepat diketahui oleh penjajah, sehingga mereka ditangkap dan dipenjarakan oleh Belanda.

            Keuletah tokoh dalam atifitas social keagamaan dalam mengisi kemerdekaan    memang semakin bersemangat tanpa mundur, walaupun para tokoh banyak yang ditangkap. Mereka melakukan terus semangat perlawanan kepada penindasan, dengan cara  menghidupkan pembinaan di Mesjid dengan berbagai aktifitas pendidikan pesantren.

            Kerjasama Muhammadiyah dengan organisasi social keagamaan lainnya, pada dasarnya belum terjadi karena di Midai tidak terdapat organisasi keagamaan lain selain organisasi Muhammadiyah. Muhammadiyah hanya bekerjasama dengan tokoh-tokoh masyarakat dalam mengembangkan Muhammadiyah.

            Liku-liku perjuangan Muhammadiyah, dan hambatan yang dialami oleh organisasi Muhammadi memang cukup terasa, terutama dengan ditangkapnya beberapa orang tokoh Muhammadiyah, baik itu di Tarempa kecamatan Siantan dan juga di Suba kecamatan Serasan. Ditambah lagi dengan tantangan tokoh masyarakat/pemuka agama Midai yang menganggap faham keagamaan yang dikembangkan oleh Muhammadiyah adalah paham yang sesat dan perlu ditantang.

           Kaderisasi organisasi yang ditempuh oleh pimpinan cabang Muhammadiyah Midai adalah dengan menghidupkan pesantren dan menanamkan faham keagamaan yang benar melalui pelajaran yang diberikan di pesantren tersebut. Dari sinilah lahir para kader pimpinan  yang akan meneruskan perjuangan organisasi Muhammadiyah.

Setelah pengambilan kedaulatan, seluruh administrasi pemerintahan Daerah telah ditangani oleh Pemerintah RI. Sedangkan untuk wilayah Midai (termasuk daerah Pulau Tujuh lainnya) berpusat di Tanjung Pinang (Pulau  Binta) sebagai ibukota Kabupaten yang dahulunya merupakan Daerah Sumatera Tengah.

            Organisasi Muhammadiyah dizaman ini tetap menunjukkan kegiatan di tengah-tengah masyarakat. Susunan pengurus Muhammadiyah tetap tidak mengalami perubahan semenjadi didirikan. Tokoh yang berpengaruh seperti disebutkan diatas adalah Jasa Engku Sutan, sebagai ketua cabang Muhammadiyah. Hal ini mungkin karena keimanan dan keteguhan yang ia miliki dibandingkan dengan tokoh Muhammdiyah lainnya. Dengan kewibawaan dan ketokohannya itulah ia diberi gelar dengan sebutan Guru Tunggal di kalangan masyarakat Midai.

            Keuletan Jasa Engku Sutan memang terlihat sejak pertama didirikannua Muhammadiyah. Akibat dari keuletan dan keteguhan hati memegang prinsip kebenaran, ia terseret ke penjara Tarempa (Kecamatan Siantan). Tetapi semangat juang yang telah ternanam dalam sanubarinya tidak membuat ia suru setapakpun, bahkan menjadikan ia lebih kokoh dengan berbagai kegiatan social kemasyarakatan seperti menangani perkumpulan yang mengurusi persoalan kematian yang diberi nama Babul Khairat.

            Perkembangan usaha cabang Muhammadiyah di masa ini tetap diemban oleh pimpinan cabang Midai, antara lain membina Masjid At-Taqwa, memajukan pesantren anak-anak. Muhammadiyah terus berkembang, organisasi ini dapat melakskanakan misi amal usahanya sebagaimana mestinya tanpa ada tekanan ataupun halangan dari pemerintah. Hal ini dikarenakan Muhammadiyah telah membantu pemerintah di dalam membina kehidupan kemasyarakatan dan keagamaan.

            Walaupun Muhammadiyah memiliki konsulat, namun jkeberadaan Muhammadiyah Midai tetap berjalan seperti pertama kali didirikan. Sebab sejak berdirinya Muhammadiyah Midai sampai saat ini, masih dan tetap menghandalkan “Guru Tunggal”. Oleh karena itu dengan berakhirnya periode konsulat tidak memberi pengaruh sedikitpun terhadap pembinaan agama masyrakat. Hal ini dikarenakan memang tugas pembinaan keagamaan sudah merupakan bagian dari kehidupan dan kepribadian “Guru tunggal” tersebut.

            Pada masa Orde Baru hubungan Muhammadiyah dengan pemerintah semakin baik. Sudah merupakan kewajaran bila hubungan yang makin tersebut terus berlanjut, karena dikatakan bahwa seluruh aktifitas keagamaan dan social kemasyarakatan yang dilaksanakan di kecamatan Midai adalah aktifitas Muhammadiyah.

            Perkembangan amal usaha Muhammadiyah di era Orde Baru ini semakin meningkat. Hal ini bisa dibuktikan dengan seluruh aktifitas social kemasyarakatan di bidang ekonomi Muhammadiyah Midai telah mulai bergelimang dengan dunia usaha koperasi anggota Muhamamdiyah.

            Mengenai hubungan Muhammadiyah dengan organisasi yang lain, amat sulit untuk dikatakan, bukan karena tidak terjadi keharmonisan, tetapi memang di Midai tidak terdapat organisasi  lain selain organisasi Muhammadiyah. Kedatipun demikian tak dapat dipungkiri bahwa berbagai kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan yang terorganisir jasa penggeraknya, motornya adalah warga Muhammadiyah.

            Muhammadiyah sebuah organisasi yang memiliki hubungan struktral mulai dari Pimpinan Pusat hingga ranting. Kondisi seperti membuat organisasi ini terus berjalan walaupun terkadang ada masa dimana organisasi ini menemui hambatan, tetapi ia tetap eksis dengan berdirinya sekolah sekolah Muhammadiyah. Sangat dipercayai bahwa dengan berdirinya sekolah dan berbagai amal usaha lain, maka organisasi ini tetap dapat menjalankan misinya yang mengembalikan pengamalan dan pandangan keagamaan sesuai dengan ajaran Alquran dan Hadits.

 

H. MUHAMMADIYAH DAERAH KARIMUN

 

Muhammadiyah Karimun

Kondisi Awal Masyarakat

            Pada tahun 1966 datang 2 orang ulama ke Tanjung balai Karimun yang bernama Pak Bio Utomo dan Haji Maulana dari selat Panjang membawa pembaharuan tentang pemahamaman tentang agama Islam dengan mengadakan pengajiuan yang pertama sekali di Mesjid Raya Tanjung Balai Karimun sampai akhir tahun 1966dan dilanjutkan oleh Bapak Baharuddin Latif menggerakan anggota pengajian tersebut dan akhirnya berkembang sampai pada tahun 1967 telah dapat didirikan Ranting Muhammadiyah di 3 Kelurahan di Kecamatan Karimun pada tahun 1967 tersebut di susunlah Pengurus Cabang Muhammadiyah yang terdiri dari :

Ketua              : H. Baharuddin Latif

Wakil             : Agani A.R

Wakil             : Darwin

Sekretaris      : Rielkl Salam

Wakil Sek.     : Rusdi

Bendahara     : Usman A

 

            Pada tahun 1968 datang pengesahan mandate berdirinya Cabang Muhammadiyah Karimun, pada tahun 1968 hasil Musyawarah pengurus PCM untuk mendirikan Amal Usaha, akan mendirikan TK ABA maka dibeli Tanah Bapak Harun dari Lubuk Puding yang terletak di Jalan Tengku Umar Tanjung Balai Karimun.

            Setelah tanah selesai pembayarannya maka dibangunlah Gedung tersebut dengan bergontoroyong, pada tahun 1969 berdirilah Gedung tersebut dengan semi permanent di gedung tersebut TK ABA dan Kantor PCM dan pada tahun 1968 pengurus PCM mendapat Hibah Tanah yang terletak di Kampung Tanjung. Tanjung Balai Karimun Oloeh Bapak H Arab Mantan Lurah Tanjung Balai seluas 40 x 30 M dan pada tahun 1973 Tanah Hibah tersebut dibangun Musallah yang diberi nama Nurul Ihsan dan setelah  beberapa bangun tersebut di rehap maka pada tahun 1977 dijadikan Masjid Nurul Ihsan. Dan Pengurus PCM Karimun di dukung oleh seluruh Putera Daerah Karimun sendiri seperti Bapak A Gani A.R yang gigih berjuang untuk pembaharuan tentang agama Islam dan didukung oleh para pendatang dari Minangkabau dan Pulau Jawa.

            Sebelum Muhammadiyah masuk Ke Tanjung Balai Karimun keadaan beragama umat Islam disini masih tardisional. Kepercayaan agama mereka, penyakit TBC. Masih sangat kuat kepercayaan umat Islam waktu itu, tantangan yang sangat kuat oleh Umat Islam kepada Muhammadiyah adalah masalah Kilapiyah seperti orang yang meninggal tidak dikendurikan dan yang menyebabkan umat mau membantu Muhammadiyah, karena Muhammadiyah dalam menyampaikan dakwah dengan ihlas dan mengenai Keuangan jelas dan Transparan, dan masyarakat senang beramal kepada Muhammadiyah.

            Pada tahun 1968 sampai dengan 1970 Muhammadiyah sedang Jaya-jayanya di Karimun sehingga pada waktu itu Pemuda Muhammadiyah sudah memiliki Drum Bend, dan pengajian berkembang, maka berubahlah pola piker masyarakat dari tradisional kepada Pembaharuan.

            Pada tahun 1970 Presiden soeharto mendirikan Partai Golkar maka datanglah intimidasi kepada pengurus Muhammadiyah yang pegawai negeri Supaya mengundurkan diri dari Anggota Muhammadiyah, sehingga pada saat itu pengurus dan anggota mengundurkan diri dari Organisasi  Muhammadiyah, maka pada saat itu sampai tyahun 1985 merupakan saat-saat yang suram bagi Muhammadiyah Karimun.

            Kemudian sesudah Muktamar ke 41 di Jogyakarta pada tahun 1984, diadakan Muscab Muhammadiyah di Karimun, maka terpilihlah pengurus baru dengan komposisi pengurus sebagai berikut:

Ketua              : Bustami ST Maruhun

Wkl Ketua     : H. Asmar Z

Sekretaris,     : Zaulis Zein

Bendahjara    : H. Syofinar ayub

 

            Di saat kepengurusan yang baru ini mulai pula Muhammadiyah bergerak setapak demi setapak, dengan menggerakkan pengajian rutin tiap bulan, pembenahan kembali TK. ABA, Pembebasan Tanah di sampng TK. ABA yang terletak di Jalan Tengku Umar.

            Kemudian setelah Muscab tahun 1990 telah tersusun pengurus sebagai berikut :

Ketua              : Bustami ST Maruhun

Wakl Ketua   : Muhktar Jamil, BA

Sekretaris      : Drs. Nasrial

Bendahara     : Usman Abdullah

 

            Pada zaman kepengurusan ini sudah mulai menampakkan sepak terjangnya di tengah-tengah masyarakat, dengan mengadakan pengajian Mingguan antar pengurus dan Ortom-ortomnya, Pengajian Bulanan dengan anggota-anggota dan simpatisan kemudian mendirikan amal usaha yang lainnya di antaranya:

1.    Merenopasi Mesjid Nurul Ihsan menjadi 2 (dua) tingkat

2.    Mendirikan SD Muhammadiyah dari tahun 1992 dan sudah menamatkan siswanya 2 (dua) periode.

-      Periode pertama tahun 1898/1999 mendapat rengking ke 6 datri 52 SD di Karimun

-      Periode Kedua tahun 1999/2000 mendapat rengking ke 3 dari SD yang ada di Karimun

3.    Mendirikan Panti asuhan yang dibangun atas swadaya Muhammadiyah yang terletak dikampung tengah Lubuk srumut. Kemudian tahun 1997 dapat bantuan dari yayasan Al Bir melalui PP Muhammadiyah untuk membangun panti  baru, yang terletak dikampung tenga Sidoarjo.

4.    Mendirikan MDA pada malkam harinya di Lantai pertama Mesjid Muhammadiyah, yang mana muridnya sampai 150 orang pada saat itu MDA belum ada di Karimun hanya belajar Al-quran dari rumah kerumah.

5.    Mendirikan Balai pengobatan yang digerakkan oleh PKS dengan ketuanya Darwin ST Sinaro balai pengobatan tersebut berjalan lebih kurang selama 1 (satu) tahun, kemudian mati karena kekurangan tenaga pengelolah seperti tenaga medis.

6.    Mendirikan SLTP Muhammadiyah dengan Izin Operasionalnya tahun 1999/2000, saat ini baru tahun ke 2 dengan jumlah siswa 45 orang.

 

            Kendala yang dihadapi Muhammadiyah sejak berdiri sampai sekarang adalah susahnya mendirikan Ranting-Ranting Muhammadiyah di Karimun, karena masyarakat merasa enggan menjadi anggota Muhammadiyah namun demikian mereka tetap menjadi simpatisan Muhammadiyah. Mereka tetap membantu amal-amal uisaha Muhammadiyah.

            Demikianlah sejarah berdirinya Muhammadiyah di Karimun ini sampai saat ini. Mudah-mudahan dengan niat yang tulus dari pengurus baru dan generasi penerus Muhammadiyah dimasa yang akan dating, Muhammadiyah dapat berkembang dengan pesatnya sesuai dengan perkembangan Kabupaten Karimun.

 

 

I. MUHAMMADIYAH  DAERAH BATAM

Kondisi Awal Masyarakat          

            Batam merupakan salah satu pulau dari Kepulauan Riau yang berbatasan dengan Singapura. Seandainya kita pergi ke Batam, maka sebelum pesawat landing di Bandara Internasional Hang Nadim, kita dapat melihat  melalui pintu pesawat deretan bangunan yang sudah siap dan yang sedang terbengkalai muncul di tengah-tengah kota. Selanjutnya bila perjalanan dilanjutkan jalan darat menuju pusat kota, apa yang terlihat dari pesawat tadi semakin jelas. Komplek perumahan kelas real estate nampak berjejer di kiri kanan jalan. Begitu juga rumah toko berbaris berjejer rapi.

            Tahun 1960-an, tentu sangat berbeda dengan Batam sekarang. Mulanya hanya ada dua tempat yang banyak penghuninya, yaitu Sekupang dan Batu Ampar. Sekitar tahun 1969 misalnya, hanya ada dua perusahaan besar di Batam, yaitu “Inggram” asal Amerika di Batu Ampar dan “Man Fong Ju”, asal negeri tentangga Singapura di Sekupang.

            Batam merupakan daerah gersang dan sepi. banyak orang tidak menyangka Batam bakal seramai yang sekarang. Namun, sejak ditetapkan sebagai daerah industri lewat Kepres No. 74 tahun 1971, pembangunan Batam terus melaju dengan pesat. Periode awal sebagai periode persiapan dipatok hingga tahun 1975. Di bawah kendali DR. H. Ibnu Sutowo, Batam diproyeksikan menjadi “Singapura” Indonesia. Tahun persiapan sampai tahun 1978. Selanjutnya Batam memasuki periode konsolidasi. Resisi di lubuk Pertamina membuat Batam diambil alih pemerintah di bawah B.I. Sumarlin yang ditunjuk pemerintah sebagai Ketua Otorita Batam yang kedua.

            Pembangunan Batam terus bergerak. Seterusnya Batam memasuki periode pemantapan yamg diketuai oleh Prof. DR. B.J. Habibie. Mantan Presiden RI ini membangun jembatan-jembatan raksasa yang menghubungkan Pulau Batam, Rempang, dan Pulau Galang. Selanjutnya B.J. Habibie menyerahkan tampuk Otorita Batam kepada adiknya, J.E. Habibie. Terakhir pada tahun 1988, Ismeth Abdullah mene-rima kepemimpinan Otorita Batam dari J.E. Habibie.

            Perkembangan penduduk Batam cukup pesat. Dari data yang tersedia, sekarang penduduk Batam sudah mencapai angka 550.000 jiwa. Daya tarik Batam memang luar biasa, ibarat gula dikerubungi semut. Mereka yang datang ke Batam ini untuk mengadu nasib, banyak yang berhasil, dan tidak sedikit pula yang kecewa. Mereka yang datang ke Batam maupun mereka yang selalu singgah di Batam ada yang memiliki wawasan dan pandang yang sama bertemu dan bertukar pikiran.

 

Lahirnya Muhammadiyah

            Berdirinya Muhammadiyah di Batam bermula dengan kebijakan Pimpinan Muhammadiyah Wilayah Riau mengutus Drs. H. Ali Munir Asany menemui Andi Ibrahim di Batam. Dari tukar pikiran yang berlangsung di rumah Andi Ibrahim, disepakati mendiirikan persyarikatan Muhammadiyah di Batam. Tapi saying Andi Ibrahim tidak bersedia jadi pengurus, karena beliau telah aktif memimpin Yayasan Ibnu Sina Batam. Andi Ibrahim bersedia mencari tokoh memimpin persyarikatan ini . gagasan awal inilah yang selanjutnya timbul dan berkembang dan melahirkan persyarikatan Muhammadiyah di Batam.

            Muhammadiyah di Pulau Batam sebenarnya telah menapak cukup lama, sejak tahun delapan puluhan. Pada masa itu di Batam telah ada PC Muhammadiyah Batam Timur yang masuk pada Daerah Kepulaun Riau. Namun sejak 1993 Muhammadiyah Batam dijadikan Pimpinan Daerah dengan Tiga Cabang; Cabang Batam Timur, Cabang Nongsa dan Cabang Batu Aji.

            Dari ketiga Cabang tersebut, yang sama sekali tidak ada amal usahanya adalah Cabang Batam Timur (Cikal Bakal PDM Batam). Sementara, walaupun dengan menggarap tanah Otorita Batam,  PCM Batu Aji telah memiliki TK dan SD walau sampai sekarang izinnya belum selesai diurus serta sebuah Panti Asuhan. Begitu pula halnya dengan PCM Nongsa, mereka memiliki Masjid dan TK di atas tanah garapan (bukan milik). Belakangan PCM Nongsa memperoleh tanah dari Otorita seluas ±7500 m, dan di atasnya sedang dibangun Panti Asuhan atas batuan Yayasan Al Bir.

            Lalu bagaimana dengan PDM Batam-nya sendiri ?

Alhamdulillah, sampai saat ini PDM Batam belum memiliki Kantor Sekretariat, dan Mesjid. Selama ini sekretariat PDM memakai rumah Sekretaris atau Ketua. Namun demikian, atas kerja keras bersama PDM Batam telah berhasil melobi Otorita Batam guna memperoleh lahan seluas ±118.000 m2 yang peruntukannya adalah untuk Pusat Dakwah Muhammadiyah ASEAN.

            Dalam rancangan kami, di lokasi tersebut kami akan mendirikan Gedung Dakwah Muhammadiyah Kota Batam.  Namun setelah berjalan dua tahun sejak Desember 1996, ternyata lokasi tersebut belum disentuh sama sekali. Sementara kami telah melaporkan keberadaan lokasi tersebut kepada pihak pihak yang berkepentingan dalam mewujudkan Pusat Dakwah Muhammadiyah ASEAN tersebut. Bahkan pada Desember 1997, bertepatan dengan peringatan 40 tahun Muhammadiyah di Singapore, kami telah mempresentasikan keberadaan lokasi tersebut di hadapan pemuka pemuka Muhammadiyah ASEAN ; Ketua PP Muhammadiyah Indonesia (M A Ra’is), Presiden Persatuan Muhammadiyah Singapore (Sykeih Husein Bin Seikh Yacob), President Muhammadiyah Association Thailand (Halim Nida) dan Ketua Persatuan Muhammadiyah Malaysia (Ust Wahab).

            Atas kebijaksanaan kami sendiri, maka kami mencanangkan bahwa pada tahun ajaran 2000/ 2001 kami harus telah membuka SMU Muihammadiyah di Batam, maka pada pertengahan 1999 kami membangun gedung sekolah yang terdiri atas 2 (dua) ruang belajar, Kantor dan WC/KM. Alhamdulillah pada saat ini, sekolah tersebut telah berjalan sebagaimana mestinya dan juga telah memiliki izin operasional dari instansi terkait.

            Dengan kondisi masyarakat Batam sebagaimana yang telah dikemukakan tadi, kami telah merasakan betapa sulitnya untuk mengkosolidasikan anggota maupun simpatisan Muhammadiyah. Sebagai ketua BPK, kami pernah mengundang seluruh alumni Perguruan Tinggi Muhammadiyah se Indonesia yang ada di Batam untuk bersilaturrhami. Undangan tersebut dipancar luaskan melalui radio swasta, akibatnya kami banyak mendapat telpon yang pada intinya ingin turut hadir,. Namun ketika harinya tiba, ternyata yang hadir tidak sebanyak yang diduga.

            Walau begitu kami tetap bersyukur, karena dari pertemuan tersebut kami berharap akan terbuka peluang untuk melakukan amal amal shaleh yang lebih luas. Namun ternyata hal itu tinggal harapan, karena ketika diadakan pertemuan lanjutan yang hadir tidak sampai 50 % nya, ketika dikonfirmasi masing masing mengemukakan kesibukannya sehingga tidak dapat hadir namun tetap berkomitmen akan membantu sedaya mampu apapun kegiatan yang akan dibuat.

            Persoalan mendasar bukan kepada apa yang akan dibuat, tetapi siapa yang akan membuat, karena masing masing sibuk. Maka Alhamdulillah –karena kita harus tetap bersyukur- sampai saat ini Muhammadiyah di Batam belum berhasil mewujudkan amal amal (shaleh) sosialnya.

            Selaku ketua BPK hal ini sebenarnya telah kami bayangkan jauh hari sebelumnya, sehingga ketika ada sedikit peluang, maka kami menawarkan untuk membuka SMU Muhammadiyah di Batam. Boleh di bilang kami yang paling ngotot membuka SMU. Karena dengan adanya SMU minimal kami akan memiliki kader yang siap pakai, tiggal perlu diawasi. Setidaknya, dalam bayangan kami, kami memiliki SDM untuk melakukan berbagai amal sosial yang akan bermanfaat bagi umat. Insya Allah tahun pelajaran 2000/2001 SMU dimaksud mulai melaksanakan kegiatannya. Dengan demikian harapan kami pada tahun tahun mendatang PDM Batam dapat melakukan amal amal sosial kontemporer yang lebih dirasakan manfaatnya bagi umat.

           

Perkembangan Setelah Kelahiran

            Dalam Lingkup Muhammadiyah Daerah Kota Batam terdapat 3 (tiga) Cabang, yang masing-masing adalah; Cabang Batam Timur, Cabang Nongsa dan Cabang Batu Aji plus 1 (satu) Cabang sedang dalam pertumbuhan, yaitu Cabang Tiban Lama.

            Cabang Batam Timur merupakan Cikal Bakal keberadaan Muhammadiyah di Batam, dahulunya Cabang ini bernama Cabang Batam yang berinduk ke Daerah Kepulauan Riau di Tanjung Pinang, baru pada 1993 setelah terbentuknya PDM Kota Batam Cabang ini berubah menjadi Cabang Batam Timur dan bergabung ke Daerah Kota Batam. Namun walaupun merupakan Cabang tertua, Cabang ini merupakan Cabang yang tidak memiliki amal usaha sama sekali.  Cabang ini hanya melaksanakan pertemuan (sekaligus pengajian anggota) sekali sebulan yang dilaksanakan setiap Ahad minggu kedua. Cabang ini telah mengajukan permohonan pengalokasian lahan kepada Otorita Batam agar dapat mendirikan amal usaha, namun sampai saat ini permohonan mereka belum dikabulkan.

            Cabang Nongsa memiliki 3 (tiga) ranting yaitu; Ranting Batu Besar, Ranting Nongsa Kaveling dan Ranting Teluk Mata Ikan. Sementara aktivitas ranitng rantingnya, sepertinya tidak begitu aktif.

Selain itu, Cabang Nongsa memiliki amal Usaha berupa 1 (satu) Mesjid yaitu Mesjid Al Munawarah, dan sebuah Panti Asuhan (sedang dalam proses pembangunan) bangunan fisik yang telah selesai sekitar 90 % dari yang direncanakan.

            Cabang Batu Aji memiliki 4 (empat) ranting, yaitu  Ranting MKGR, Ranting Batu Aji Lama, Ranting Batu Aji Baru dan Ranting Perumnas. Selain itu Cabang ini juga memiliki beberapa amal usaha yang telah berjalan dengan baik, yaitu ; SD Muhammadiyah Batu Aji (telah meluluskan murid), Mesjid At Taqwa dan Panti Asuhan Putra Al Anshari.

            Cabang Batu Aji yang telah terpecah menjadi 3  (tiga) Kecamatan (dahulunya Kecamatan Batam Barat sekarang menjadi Kecamatan Tiban, Sekupang dan Sei Beduk) juga karena aspirasi masyarakat setempat lewat rapat mereka pada 5 Agustus 2000 di Madrasah Tiban Lama yang dihadiri oleh PDM Kota Batam serta 41 orang simpatisan Muhammadiyah setempat. Karena cabang ini masih dalam proses pembinaan/ konsolidasi maka Cabang ini belum memiliki amal usaha sama sekali.

Kepengurusan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Batam periode 1995-2000 dibentuk berdasarkan Musyda pada April 1996 dan telah mengalami refreshing pada kepengurusannya. Pada awal kepengurusannya PDM Batam diketuai oleh Saudara Ir H Hablullah Wibisono, MBA. Namun pada Nopember 1998, Saudara Ir H Hablullah Wibisono ingin lebih mengkonsentrasikan diri pada penyelesaian studi selain itu beliau juga terpilih sebagai ketua DPD PAN Kota Batam, maka beliau memberi kesempatan kepada pengurus lain untuk menjadi ketua. Berdasarkan rapat pleno Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Batam, maka diusulkan 3 (tiga) nama untuk ditetapkan menjadi pejabat Ketua, yaitu ; Saudara M Saing Himo, BA; Saudara Drs H Soepardjan,MM dan Saudara H Yusman.

            Pada Juni 1999 terbit SK PP Muhammadiyah Nomor 39/SK-PP/I-A/2.b/1999 tanggal 24 Shafar 1420 H (9 Juni 1999 M) tentang Penetapan Pejabat Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Batam masa Jabatan 1995 – 2000. Keputusan PP tersebut menetapkan Saudara Drs H Soepardjan, MM sebagai pejabat Ketua PDM Kota Batam sampai  habisnya sisa masa jabatan 1995-2000.

            Selain aktivitas rutin, maka upaya/ usaha yang telah dilakukan PDM Batam dalam rangka melaksanakan amanah persyarikatan antara lain ;

1.    Memohon lokasi bagi Pusat Muhammadiyah ASEAN (seluas kurang lebih 12.000 meter persegi)

2.    Mendirikan SMU Muhammadiyah Batam (sampai saat ini baru ada dua lokal belajar dan kedua-duanya telah terpakai) dan telah memperoleh izin dari Kanwil Depdikbud Prov Riau Nomor : 00997/109.74/MN/2000 tanggal 16 Februari 2000.

 

            Sementara untuk aktivitas majelis-majelis tampaknya kurang begitu tampak, kecuali Majelis Dikdasmen (karena telah ada SMU) yang mulai melaksanakan kegiatan rutin setiap bulan telah melaksanakan pertemuan. Selain itu dari Badan Pendidikan Kader juga dilaporkan bahwa pada 1 Desember 2000 telah diresmikan pendirian Pimpinan Daerah Ikatan Remaja Muhammadiyah Kota Batam yang dibentuk oleh PW IRM Riau yang dalam hal ini diwakili oleh Asmadison.

 

 

J. MUHAMMADIYAH DAERAH PEKANBARU

 

Kondisi Awal Masyarakat          

            Pekanbaru yang dikenal sekarang, pada awalnya termasuk bagian dari Kerajaan Siak Sri Indrapura. Sebagian besar wilayahnya waktu dulu berada di pinggiran Sungai Siak, yang lebih dikenal dengan Senapelan. Jumlah penduduk yang mendiami daerah tersebut baru berjumlah ratusan orang yang sebagian besar merupakan etnik Melayu.

            Kepercayaannya masyarakat Pekanbaru melekat dengan Islam sebagaimana dipahami dan diamalkan oleh masyarakat Siak, yaitu berpaham keagamaan kaum tua (tradisional). Salah satu ciri khas kaum tradisonal adalah ber-pegang teguh pada tradisi turun-temurun dan sulit mene-rima hal-hal yang berkaitan dengan pembaharuan.

            Daya tarik Pekanbaru tidak terlepas dari kehadiran dan beroperasinya PT Caltex di daerah Minas, Duri dan Dumai. Fasilitas-fasilitas yang disediakan PT. Caltex untuk para karyawan dan pekerjanya memancing terjadinya proses urbanisasi di kota ini yang tidak terbendung.

            Konsekwensi dari proses urbanisasi itu merubah wajah Pekanbaru yang homogen menjadi heterogen dan multi etnik. Etnik yang datang ke Pekanbaru itu mayoritas beragama Islam dengan paham keagamaan yang sedikit berbeda. Hal ini terlihat pada kegiatan ibadah yang mereka lakukan, terutama dalam menjalankan ibadah sunat, misalnya perbedaan tata cata shalat tarawih, berzikir, tempat pelak-sanaan Shalat Idul Fitri, dan lain sebagainya.

 

Lahirnya Muhammadiyah

            Dalam mengkaji kehadiran Muhammadiyah di Pekanbaru, belum ditemukan data yang lengkap mengenai asalnya, apakah dari jalur Kampar, Lubuk Jambi atau Bagan Siapi-Api. Namun dari informasi yang diterima, Ustadz Zein Abdullah, merupakan pelopor berdirinya Muhamamdiyah. Beliau adalah seorang guru yang berasal dari Sumatera Barat. Bersama temannya bernama Asril, beliau mendirikan toko buku yang terkenal dengan Toko Buku Pustaka AS.

            Ustazd Zein Abdullah dengan teman-temananya  berinisiatif mendirikan Muhammadiyah Cabang Pekanbaru. Beliau langsung dimanahkan menjadi Ketua Pertama, meskipun tidak ada kaitan langsung dengan Muhammadiyah Sumatera Barat dan daerah di Riau lainnya. Dalam menjalankan amanah organisasi, beliau dibanbu oleh kaum muda, antara lain Yulizon St Marajo, yang langsung menjadi Ketua Pemuda.

            Kelahiran Muhammadiyah Pekanbaru pada prinsip-nya tidak mendapat tantangan berarti sebagaimana yang terjadi di berbagai daerah di Riau.  Hal itu disebabkan karena warga Pekanbaru banyak yang berasal dari Sumatera Barat yang telah banyak mengenal Muhammadiyah. Sejak itu  mulai dilaksanakan beberapa kegiatan keagamaan yang bagi masyarakat banyak agak terasa baru, seperti melaksanakan Shalat Idul Fitri di lapangan.

 

Perkembangan Setelah Kelahiran

            Pusat kegiatan organsiasi pembaharuan ini adalah di Jl. Mushalla yang sekarang lebih dikenal dengan Masjid Taqwa Muhammadiyah yang terletak di Jalan Cokroaminoto Pekanbaru. Dalam menjalankan organisasi, mereka telah melakukan berbagai amal usaha yang mempercepat gerak Muhammadiyah di Pekanbaru. Amal usaha yang meraka laklukan adalah mendirikan SD Muhammadiyah di Jl. Sulawesi, sekarang bernama SD M I Jl. H. Agussalaim.

            Sejalan dengan itu, pembangunan Mesjid Taqwa pun dimulai yang diketuai oleh Zaini Kunin.  Setelah itu, dirintis pula pendirian TK Aisyiah  I di Gedung Aisyiyah sekarang, yang lokasi STM Muhammadiyah. Tanah lokasinya itu berasal dari waqaf famili Raja Siak. Selanjutnya didirikan pula SD Muhammadiyah Sukajadi, TK Aisyah Sukajadi, dan Klinik Aisyiah secara bersamaan.

            Kemudian berdiri pula STM dan Sekolah Teknik (ST) Muhammadiyah, Sukajadi. Namun demikian, sebelumnya telah didirikan pula SMP Muhammadiyah Sukajadi yang dilanjutkan dengan pendirian SMA Muhammadiyah dan SMEA yang akhirnya bernama SMK II Muhammadiyah.  Adapun tanah tempat berdirinya pendidikan di Sukajadi ini berasal dari pemberian Pemerintah Kota Pekanbaru, yang waktu itu Walikota dijabat oleh Tengku Bay. Dalam hal ini peranan Tengku Kamaruzzaman sangat besar andilnya dalam mengurus tanah tersebut atas permohonan Ibu Khadijah Ali dengan Bapak Baidarus Muhammad.

            Melihat gerakan Muhammadiyah yang  maju, maka Dinas Sosial Kampar menyerahkan Panti Asuhan, Jl. Tengku Tambusai kepada Ustadz Zein Abdullah atas nama Pimpinan Wilayah Muhammadiyah yang jabatannya pada waktu itu Ketua PKU (Pembina Kesejahteraan Umat).

            Perkembangan selanjutnya dalam bidang organisasi,  terbentuklah Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM), yang berdasarkan perkembangan administrasi pemerintahan Kota Praja Pekanbaru berubah menjadi Kodya Pekanbaru dengan ketuanya adalah Zein Abdullah. PDM  pada waktu itu didukung oleh tiga cabang, yaitu Cabang Pekanbaru Kota,  Cabang Senapelan, dan Cabang Sukajadi.

            Cabang Pekanbaru Kota dipimpin oleh salah se-orang putera Bengkalis Drs. H. Razali Yahya. Jabatan beliau pada waktu itu adalah Kepala SMEA, Kepala Perwakilan P & K Propinsi Riau, pindah ke Departemen P7K Pusat, sekaligus menjadi kepala SMA Al-Azhar. Beliau akhirnya kembali menjadi Wakil Ketua PWM Riau, dan menjadi anggota DPR RI.

Dalam estafet Pimpinan Daerah selanjutnya, setelah dipimpin oleh Ustadz Zein Abdullah, kemudian diamanah-kan ke Razali Yahya, Baidarus Muhammad, Baidi Said (mengundurkan diri), Suhaili, Iqbal Ali, dan Prof. Helmi Karim.

 

K. MUHAMMADIYAH DAERAH SIAK

 

Muhammadiyah Sungai Apit

Kondisi Awal Masyarakat

            Muhammadiyah di Sungai Apit pertama kali dibawa oleh seorang tokoh dari Payakumbuh bernama  H. Abdur-rahman pada tahun 1950. Beliau adalah seorang  pedagang keliling berupa pakaian jadi yang berdomisili di Desa Sungai Kayu Ara. Ide Muhammadiyah pertama kali disebarkan beliau di desa tempat tinggalnya tersebut. Pada siang hari beliau berjualan dari rumah ke rumah sekaligus mengenalkan ide Muhammadiyah kepada setiap orang yang ditemuinya sambil berdagang. Pada malam hari beliau mengadakan pengajian kelompok yang dihadiri pada awalnya hanya 3-5 orang.

            Tidak berselang lama, pengajian tersebut berkem-bang dan memiliki jamaah yang mulai banyak peminatnya. Tidak sampai satu tahun, pengajian tersebut sampai ke Desa Lalang yang berjarak 7 Km dari Desa Sungai Kayu Ara dan mendapat sambutan yang baik dari masyarakat. Dalam masa tahun itu juga, persyarikatan Muhammadiyah memang belum terbentuk. Akan tetapi ide-ide kemuhammadiyahan sudah mulai ditanam di hati masyarakat dengan adanya pengajian yang dikelola oleh H. Abdurrahman yang pada waktu itu dikenal dengan pengajian yang bersumber kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasul.

            Pengajian yang disampaikan oleh H. Abdurrahman pada awalnya memang mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Akan tetapi, lama kelamaan mendapat tantangan dari masyarakat yang masih mempertahankan keyakinan yang diterima mereka sebelumnya. Apalagi keyakinan itu sudah mentradisi di tengah-tengah masyarakat, meskipun bertentangan dengan Sunnah Rasul. Terutama penentangan itu datang dari tokoh-tokoh agama yang pemahamannya sempit dan masih mencampuradukan ajaran agama dengan takhayul, bid’ah, dan khurafat.

            Penentangan tersebut tidak membuat langkah H. Abdurrahman dan orang-orang yang sepaham dengannya berlaku surut. Semakin ditentang, pengikut pengajian malah semakin banyak dan berkembang. Salah satu usaha yang dilakukan oleh tokoh agama yang menentang ajaran yang dibawa oleh H. Abdurrahman berupa dialog (muzakarah) yang bertujuan untuk menyudutkan/memojokkan beliau. Namun dalam dialog tersebut setiap pertanyaan yang ditujukan kepada beliau selalu dijawabnya dengan tepat dan benar yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Rasul sehingga semakin mengangkat namanya di tengah masya-rakat. Buktinya semakin bertambahnya masyarakat me-ngikuti pengajian beliau.

            Tantangan bukan hanya datang dari tokoh-tokoh masyarakat, tapi juga dari oknum pemerintah, dengan cara mempengaruhi masyarakat untuk tidak mengikuti pengajian H. Abdurrahman. Hanya saja masyarakat yang haus akan ilmu agama tidak memperdulikan hal itu yang menyebabkan pengajian itu semakin subur.

 

Lahirnya Muhammadiyah

            Disebabkan semakin berkembangnya pengikut pengajian yang diadakan oleh H. Abdurrahman, dirasakan perlunya bantuan tenaga mubaligh untuk mengelolanya. Maka pada  tahun 1951, beliau membawa seorang mubaligh bernama Nawawi Djamil dari Payakumbuh. Sesampainya Nawawi Djamil di Kecamatan Sungai Apit, beliau langsung  bertempat tinggal di Desa Sungai Kayu Ara.

            Nawawi Djamil datang ke Sungai Kayu Ara dengan membawa sekaligus keluarganya (seorang istri dan seorang anak perempuan berusia sekitar 2 tahun). Lantas beliau men-dirikan pondok di atas tanah milik warga masyarakat, dan setelah itu mulailah beliau melanjutkan dan mengelelola pengajian-pengajian yang sudah dirintis oleh H. Abdur-rahman tersebut. Dengan pengelolaan yang sangat baik oleh Nawawi Djamil, maka H. Abdurrahman mulai mengarah kepada pentingnya suatu organisasi.

            H. Abdurrahman sendiri sudah jarang berada di Desa Sungai Kayu Ara dikarenakan usia beliau sudah semakin lanjut. Beliau lebih banyak menghabiskan waktunya di kampung halamannya, hanya sekali-kali datang mengun-jungi Desa Sungai Kayu Ara. Sampai akhirnya beliau wafat di kampung halamannya.

            Selanjutnya perjuangan H. Abdurrahman menye-barluaskan ide-ide pembaharuan diteruskan oleh Nawawi Djamil. Berkat kegigihan Nawawi Djamil, pada tahun 1952 berdirilah Ranting Muhammadiyah pertama di Desa Sungai Kayu Ara yang diketuainya sendiri. Setelah berdirinya ranting ini, beliau merasa perlu mendirikan suatu tempat berhim-punya jamaah yang sudah terbentuk. Tidak berselang lama, bersama jamaah, H. Abdurrahman mendirikan mushalla yang selain tempat shalat, wirid pengajian, juga sebagai tempat mendidik siswa atau lebih dikenal dengan Madrasah Ibtidaiyah.

            Pada tahun yang sama Nawawi Jamil mendirikan pula Ranting Muhammadiyah Desa Lalang. Namun dua ranting ini ketika itu masih berinduk (bercabang) ke Payakumbuh, karena Muhammadiyah belum berdiri di Riau. Muham-madiyah baru ada di Bagan Siapi-api yang berinduk ke Sumatera Utara dan Lubuk Jambi yang berinduk ke Padang Panjang. Pada saat yang sama didirikan pula Ranting Muhammadiyah Pangkalan Jambi Kecamatan Bukit Batu yang ketuai oleh Abu Bakar yang selanjutnya berkembang sampai ke Sepotong sehingga pada tahun 1958 berdiri pula Ranting Muhammadiyah Sepotong.

            Dengan berdirinya dua ranting Muhammadiyah di dua desa tersebut, tantangan yang dihadapi Nawawi Djamil semakin berat, karena paham Muhammadiyah bertentangan dengan kebiasaan yang dilakukan oleh masayarakat dan mereka menganggap sebagai “agama baru”. Dari hari ke hari pertentangan tersebut semakin bertambah. Untuk itulah tahun 1953, Nawawi Djamil mendatangkan seorang ulama yang menguasai ilmu tafsir, ilmu hadits, nahwu sharaf dan lain sebagainya yang bernama Buya Dahri dari Payakumbuh  dan ditempatkan di Desa Tanjung Kuras.

            Dengan keberadaan Buya Dahri, pada tahun itu juga berdiri Ranting Muhammadiyah Tanjung Kuras yang diketuai oleh Imam Hasyim. Nawawi Djamil dan Buya Dahri tetap yang melakukan pengajian di tiga ranting tersebut dengan berjalan kaki karena sarana prasarana ketika itu belum ada sama sekali. Selanjutnya Buya Dahri mengem-bangkan pengajiannya sampai ke Pasar Sungai Apit yang sudah menjadi sebuah ibukota kecamatan, yaitu Kecamatan Sungai Apit.

            Di Pasar Sungai Apit ini Buya Dahri membentuk kelompok pengajian yang berpusat di Rumah Kediaman  M. Sukar, seorang penjahit berasal dari Payakumbuh dan istrinya berasal dari Kabupaten Kampar yang diikuti oleh beberapa orang jamaah pengajian. Pengajian itu dilaksanakan setiap Selasa malam. Buya Dahri selalu setia membina kelompok pengajian tersebut, meskipun datang ke Pasar Sungai Apit dengan berjalan kaki dari Desa Tanjung Kuras yang berjarak lebih kurang 3 Km. Dengan kondisi jalan yang masih semak belukar, beliau tetap jalani dengan penuh ketabahan dan keikhlasan. Yang sangat mengharukan selesai melakukan pengajian Buya Dahri tetap pulang ke rumahnya di Tanjung Kuras pada malam itu juga. Dapat kita bayangkan betapa besar pengorbanan beliau persembahkan demi tegaknya ajaran Islam yang benar.

            Kelompok pengajian diikuti oleh para pedagang dan tempatan antara lain  Nurdin (Orang Tua Warni), Siawang (Orang Tua Anas/Nurmah), Budang (Orang Tua Robin), Kusah (Orang Tua Nuriyah), Safi (Orang Tua Dol), Hamzah, Kundin, M. Siddik, Ajis Seliau, M. Rasyid,  A. Salam,  dan beberapa kawan yang lain. Inilah yang merupakan kader Buya Dahri dan Nawawi Djamil  yang pada tahap berikutnya menjadi pejuang Muhammadiyah. Di Kediaman M. Sukar inilah diperbincangkan perencanaan pembentukan Cabang Muhammadiyah Sungai Apit.

            Dengan berjalannya kelompok pengajian tersebut pada tahun 1955 Nawawi Djamil mengundang pengurus tiga ranting di atas (Sungai Kayu Ara, Lalang, dan Tanjung Kuras) untuk melakukan Musyawarah di Ibukota Kecamatan Sungai Apit yang bertempat di kediaman M. Sukar. Dalam mus-yawarah tersebut diputuskanlah pembentukan Cabang Muhammadiyah yang membawahi tiga ranting dengan pusat cabang berada di Sungai Apit selaku Ibu Kota Kecamatan yang diketuai oleh Abdul Murad (Pegawai Kantor KUA) dan Sekretarisnya Mukhtar M. Maka sejak itu resmilah ber-diri Cabang Muhammadiyah Sungai Apit. .

 

Perkembangan Setelah Kelahiran

            Setelah terbentuk Cabang Sungai Apit, para anggota mulai mendirikan sebuah gedung untuk Madrasah Ibtidaiyah sebanyak tiga lokal dengan kondisi seadanya (dinding papan, atap seng, dan berlantai tanah) di atas lahan yang diwakafkan Abdul Kusah salah seorang anggota Muhammadiyah seluas 900 m2 (30 x 30 m). Tahun 1956 M. Siddik, salah seorang anggota Muhammadiyah, mewakafkan pula tanah miliknya seluas lebih kurang 400 m2 dan sebuah bangunan berukuran 5 x 6 m di atas tanah tersebut. Bangunan inilah yang di-gunakan oleh Muhammadiyah untuk melakukan kegiatan wirid pengajian dan shalat jamaah, kecuali shalat Jumat, sebagai cikal bakal berdirinya komplek Muhammadiyah Sungai Apit.

            Tenaga pengajar di madrasah itu adalah Nawawi Djamil dan  Buya Dahri dengan jumlah siswa belasan orang. Seiring berjalannya madrasah tersebut, semakin bertambah pula anggota Muhammadiyah di Cabang Sungai Apit yang didominasi oleh masyarakat pendatang yang pekerjaan sehari-harinya sebagai  pedagang di Pasar Sungai Apit yang mayoritas dari Kabupaten Kampar. Pada periode ini anggota Muhammadiyah masih shalat berjamaah di Mesjid Raya Sungai Apit khususnya shalat Jumat, satu-satunya mesjid yang ada.

 

Masa Jabatan  1958-1961

            Pada Musyawarah Cabang ke-2 Muhammadiyah Sungai Apit tahun 1958 terpilih M. Amin (seorang guru agama dan tokoh masyarakat) sebagai Ketua dan  Mukhtar. M sebagai Sekretaris PCM Sungai Apit Periode 1958 -1961. Dalam perkembangan pengajian yang dibina oleh Buya Dahri dan Nawawi Djamil khusus permasalahan aqidah dan ibadah ditemuilah kejanggalan antara hasil pengajian yang diterima oleh anggota pengajian dengan praktek pelaksanaan yang  dilaksanakan di Mesjid Raya Sungai Apit, khususnya mengenai pelaksanaan shalat Jum’at.

            Hal ini terus berkembang di benak warga Muham-madiyah dengan mempertimbangkan  berbagai hal termasuk keutuhan persatuan dan kesatuan umat. Warga Muhamma-diyah tetap berusaha meredam keinginan untuk melak-sanakan ibadah tersebut secara bersama-sama di Mesjid Raya. Akan tetapi, permasalahan ini sering menjadi ganjalan di hati warga Muhammadiyah disebabkan pertentangan antara ilmu yang diperoleh dengan pelaksanaan keseharian yang berbeda dan sering dibahas dalam pertemuan-pertemuan dan wirid-wirid Muhammadiyah.

            Berselang beberapa lama anggota Muhammadiyah sudah tidak betah dengan ibadah yang dilaksanakan di Mesjid Raya Sungai Apit, karena bertentangan dengan ajaran Muhammadiyah. Maka timbul suatu pemikiran dari warga Muhammadiyah untuk mendirikan jamaah shalat Jumat sendiri. Dengan adanya ide ini, Ketua PCM Sungai Apit, M. Amin, merasa keberatan dengan mengatakan jika sean-dainya warga Muhammadiyah memisahkan diri melaksana-kan shalat Jumat, beliau akan mengundurkan diri sebagai ketua. Terhadap pennyataan M. Amin tersebut pengurus lain bersama warga Muhammadiyah tetap bertekad akan melak-sanakan shalat Jumat terpisah dengan Mesjid Raya.

            Dengan berbagai pertimbangan dan berbagai resiko yang bakal muncul, pada tahun 1960 waga Muhammadiyah dengan kebulatan tekad dan keteguhan iman memutuskan untuk melaksanakan shalat Jumat sendiri. Tempat pelak-sanaan pertama kalinya dilaksanakan di bangunan yang telah diwakafkan oleh M. Siddik. Adapun Bilal pertama adalah Bustami (penjahit), Khatibnya Ustadz Budang, dan Imamnya Bapak Nurdin. Pelaksanaan shalat Jumat ini dikawal oleh seorang Buter (sekarang Koramil) yang bernama Ritonga disebabkan adanya kemelut di tubuh umat Islam akibat pemisahan shalat Jumat itu.

            Satu kejadian yang tak dapat dilupakan saat pelak-sanaan shalat Jumat yang pertama oleh warga Muham-madiyah adalah bahwa dengan adanya kawalan yang di-lakukan oleh Buter Ritonga yang beragama Kristen, Ustadz Bustami pada saat mengumandangkan adzan tersebut dalam keadaan menggigil, karena pada waktu itu berada dalam penghujung pemberontak PRRI.  Dengan berdirinya shalat Jumat secara terpisah tersebut, M.Amin sesuai dengan pernyataannya mengundurkan diri dari Ketua PCM Sungai Apit Periode 1958-1961.

            Akibat dari pengunduran M. Amien ini, pada tahun itu juga dipercepat pelaksanaan Musyawarah Cabang Muhammadiyah ke-3  periode 1960-1963. Terpilih sebagai Ketua adalah Nawawi Djamil dan Ahmad N sebagai Sekretaris, sehingga ketua Ranting Muhammadiyah Sungai Kayu Ara yang masih dijabat oleh Nawawi Djamil digantikan oleh Pak Miss. 

            Di awal kepemimpinan Nawawi Djamil, roh kemu-hammadiyahan menjadi prioritas utama ditanamkan kepada seluruh warga Muhammadiyah ditandai dengan giatnya pengajian-pengajian, baik di cabang maupun ranting-ranting seperti pengajian ibu-ibu, pengajian pemuda/i, pengajian umum, dan lainnya. Buah dari pengajian yang giat tersebut, pada tahun 1962 berdirilah Ortom Muhammadiyah seperti ‘Aisyiyah diketuai oleh Ibu Ramnah, Pemuda Muham-madiyah diketuai oleh Mukhtar, Nasyiatul ‘Aisyiyah diketuai oleh Merlia. Mulai saat itu permasalahan kaum ibu diurus oleh ‘Aisyiyah, persoalan pemuda diurus oleh Pemuda Muhammadiyah, dan persoalan putri diurus oleh Nasyiatul ‘Aisyiyah .

            Kegiatan dakwah keliling mulai dilaksanakan oleh Nawawi Djamil dan Buya Dahri dan dibantu oleh jamaah yang lain, masuk kampung keluar kampung dengan tanpa pamrih sedikitpun. Berbagai macam halangan dan rintangan selalu menghadang pergerakan keagamaannya, akan tetapi mereka tetap tegar menghadapinya. Sehingga akhir tahun 1962 berdiri Ranting Muhammadiyah Tanjung Layang  yang diketuai oleh M.Yusuf. dalam perjalanan yang selalu dilakukan oleh Nawawi Djamil dan Buya Dahri ke tanjung layang dengan jarak 15 km dan belum dapat ditempuh melalui darat karena baru hutan rimba, mereka menggunakan sampan menuju ke sana. Halangan yang selalu mereka lalui adalah angin ribut, hujan,  panas terik, dan gelombang laut yang selalu menghempaskan perahu mereka.

            Pada suatu kali ketika Nawawi Djamil mengisi pengajian ke desa lalang dengan jarak tempuh  dari Cabang Sungai Apit sekitar 12 km dengan mengendarai sepeda dengan kondisi jalan setapak. Dipertengahan jalan antara desa lalang dengan desa sungai kayu ara yang dipenuhi semak belukar sekonyong-konyong sedang asyik menempuh perjalanan, beliau di lintasi oleh harimau, akan tetapi beliau tetap melanjutkan poerjalanannya sambil mendayung sepedanya semakin cepat dengan tak henti-hentinya berzikir, sehingga sampai di salah satu rumah keluarga Muhammadiyah di desa lalang. Sesampai dirumah tersebut beliau jatuh bersama sepeda yang dikendarainya lalu pingsan tak sadarkan diri. Betapa bathin beliau yang tertahan ketika itu diasaat harimau melintasi perjalanannya. Itulah sekelumit yang dirasakan oleh Nawawi jamil dalam melaksanakan dakwah keliling.

 

Masa Jabatan  1963-1966

            Pada tahun 1963 digelar Musyawarah Cabang ke-4 Muhammadiyah Sungai Apit dengan dihadiri oleh 4 (empat)  Ranting yaitu Ranting Sungai Kayu Ara, Ranting Lalang, Ranting Tanjung Kuras, dan Ranting Tanjung Layang. Pada Musyawarah Cabang ke-4 ini kembali terpilih sebagai Ketua Nawawi Djamil dan Ahmad N sebagai sekretaris PCM Periode 1963-1966.

            Selesai Musyawarah Cabang Muhammadiyah ke-4 Pimpinan Cabang terpilih mengembangkan pendidikan Muhammadiyah sehingga akhir tahun 1963 berdiri Pendidikan Guru Agama (PGA) dengan masa pendidikan selama 3 tahun dengan kepala sekolah Rustam Madjid dari lintau - sumatera tengah. Akan tetapi sangat disayangkan begitu menamatkan angkatan pertama, karena disebabkan oleh tekanan ekonomi anggota muhammadiyah yang sangat sulit ketika itu sahingga donatur berkurang, PGA tersebut dengan terpaksa harus ditutup dan Rustam Madjid pindah ke Aceh. Akan tetapi alumni pertama yang dilahirkan oleh PGA tersebut sampai saat ini menjadi guru agama di berbagai sekolah di kecamatan sungai apit seperti :Syafiah, Hadiyah, Rodiah, Zainab, khalifah, dll,.

            Pada tahun 1964 berdiri pula Sekolah Dasar Muhammadiyah Cabang Sungai Apit dengan Ustadz Rifa’I sebagai kepala sekolahnya dengan kondisi bangunan  sekolah seadanya. Tahun 1965  berdiri Mu’allimin Muhammadiyah yang dekepalai oleh Ustadz Rifa’I dengan penambahan lokal baru disamping SD dan MI Muhammadiyah. 

            Sekitar 3 tahun ustadz Rifa’I memimpin SD dan Mu’allimin, beliau pindah ke  Sepotong. Dengan pindahnya Ustadz Rifa’I, Pimpinan Cabang Muhammadiyah mencari pengganti beliau ke Padang Panjang – Sumteng yang bernama Ustadz Sirajuddin, dan langsung ditunjuk memimpin  Mu’allimin. Lebih kurang 2 tahun lamanya ustadz sirajuddin memimpin Mu’allimin, akhirnya beliaupun memutuskan untuk kembali ke Padang Panjang. Karena kekosongan Pimpinan Mu’allimin, PS Muhammadiyah Sungai Apit meminta kembali Ustadz Rustam yang telah kembali keaceh untuk memimpin Mu’allimin dan berlangsung selama lebih kurang 3 tahun.

            Ketika meletusnya gerakan G/30/S/PKI Muhammadiyah menjadi salah satu ormas yang ikut bersama pemerintah menumpas gerakan tersebut, yang dimotori oleh Pemuda Muhammadiyah deng Kokam nya. Sehingga Muhammadiyah punya andil besar dalam menghapuskan ide-ide komunis yang sempat berkembang di Kecamatan Sungai Apit.

            Pada Tahun 1966 dalam misi pengajian Muhammadiyah yang dilakukan oleh nawawi Djamil dan Buya Dahri, maka berdiri pula Ranting Muhammadiyah Parit Baru yang diketua oleh Bapak Tambi, sehingga Cabang Muhammadiyah Sungai apit memiliki ranting sebanyak 5 (lima) Ranting.

 

Masa Jabatan  1966-1990

            Pada tahun ini juga (1988) digelar kembali Musyawarah. Tahun 1967 berdiri Ranting Muhammadiyah Rintis Tengah yang diketuai oleh Jamal, dan setahun setelah itu (1968) berdiri pula Ranting Muhammadiyah Belakang Pasar yang diketua oleh Mukhtar merangkap ketua Pemuda Muhammadiyah Cabang Sungai Apit.

            Sampai tahun 1975 Muhammadiyah Cabang Sungai Apit hanya menjalankan amal usaha dan membina ranting-ranting yang ada, bahkan periode ini dibidang pendidikan sangat menurun dengan ditutupnya PGA dan Mu’allimin serta hanya tinggal SD Muhammadiyah saja. Hal ini disebabkan besarnya pendanaan yang diperlukan untuk membiayai pendidikan, sementara perekonomian warga Muhammadiyah meorosot tajam, dan tidak mampu membiayai pendidikan tersebut ditambah dengan tenaga pengajar yang kurang memadai.

            Periode ini dimulai dengan peningkatan amal usaha Muhammadiyah terutama peningkatan dibidang perekonomian, dimana pada tahun 1976 PC Muhammadiyah Sungai Apit memiliki sebuah Kapal Motor yang diberi Nama DDM (Dana Dakwah Muhammadiyah), sebagai alat transportasi para pedagang keliling dengan keuntungannya untuk dana dakwah muhammadiyah.

            Periode ini pula berdiri Ranting Muhammadiyah Sungai Tengah (1978) dengan ketua Parmin. Tahun 1980 PC berdasarkan hasil Rapat Pengurus Muhammadiyah maka diputuskan untuk membeli lagi satu armada Kapal Motor yang diberi Nama DDM Garuda dengan jurusan Sungai Pakning, Lubuk Muda, dan Sepotong.

            Dengan terpilihnya H. Mukhtar sebagai Pimpinan Muhammadiyah Cabang Sungai apit melalui Musycab ke-9 tahun 1985, tugas berat yang dihadapi sudah nampak kedepan, dimana muhammadiyah banyak mengalami kevakuman dan berbagai amal usaha muhammadiyah sudah ditutup, sehingga periode ini hanya melakukan pencerahan kembali kepada warga Muhammadiyah Cabang Sungai apit yang diawali dengan konsolidasi organisasi sampai kepada peningkatan ekonomi, serta mengembalikan hubungan yang baik dengan pemerintah daerah (pemerintah kecamatan dan kabupaten).

            Buah dari hubungan baik dengan pemerintah tersebut tahun 1987 melalui Bupati Bengkalis Djohan Syarifuddin, SH, Muhammadiyah mendapat bantuan wakaf tanah seluas 6 hektar yang berlokasi di desa jatibaru (eks Transmigrasi).

            Setelah mendapat wakaf dari Bupati Bengkalis tersebut sambil berbisnis ke Jakarta, H.Mukhtar menyempatkan diri untuk mampir di kantor PP Muhammadiyah di Jakarta dan menjalin hubungan baik dengan pengurus PP Muhammadiyah..  Setelah beberapa kali mampir di Kantor PP Muhammdiyah Jakarta, ada program pembangunan mesjid bantuan dari kuwait – Arab Saudi melalui PP Muhammadiyah, PC Muhammadiyah Sungai mendapat kepercayaan untuk membangun mesjid tersebut di wilayah Cabang Sungai apit. Berdasarkan rapat PC Muhammadiyah Sungai Apit, maka diputuskan meletakkan bangunan tersebut ke Jati Baru.

            Pada tahun 1988 dibangun mesjid tersebut di lahan 6 hektar bantuan dari Bupati Bengkalis (Djohan Syarifuddin, SH) dan sejalan dengan pembangunan mesjid tersebut berdirilah ranting Muhammadiyah Jatibaru.

            Selain di Jatibaru, pengajian Muhammadiyah juga bergerak ke Bungaraya, yang dilakukan para pedagang warga Muhammadiyah dari kecamatan sungai apit,  setiap minggu malam, dimana H. Mukhtar termasuk salah seorang pedagang keliling ketika itu.

            Dari pengajian-pengajian mingguan yang dilakukan setiap minggu malam, yang berlokasi di kediaman Hadirin dan Karsono secara bergiliran setiap minggu, terbetiklah keinginan jama’ah untuk mendirikan organisasi/perkumpulan yang akan mengurusi kemajuan pengajian yang telah dibina tersebut. Maka pada tahun 1989 berdiri pula ranting Muhammadiyah Bungaraya dengan ketuanya     M. Soleh. 

            Pada tahun yang sama (1989) Muhammadiyah Sungai Apit mendapat bantuan 2 lokal bangunan sekolah dari PP Muhammadiyah, yang oleh pimpinan cabang Muhammadiyah Sungai Apit di tempatkan di desa jatibaru. Maka pada tahun 1990 resmi menerima murid baru untuk Madrasah Tsanawiyah.

            Semakin lama pengajian yang dilakukan di Bungaraya semakin pesat dan memiliki jamaah yang sudah dapat diperhitungkan, terbetiklah keinginan jamaah untuk mendirikan rumah ibadah sebagai basis gerakan pengajian (Muhammadiyah), maka tahun pertengahan 1989 didirikanlah Mushalla berukuran 6 meter x 6 meter yang dialokasikan di tanah milik Hadirin.

            Dengan semangat berorganisasi dan melalui pengajian tersebut dihembuskan minat berinfaq demi pengembangan pengajian dan perjuangan Muhammadiyah, dan hal tersebut mendapat sambutan yang hangat dari warga Muhammadiyah. Setelah mendirikan Mushalla, berselang beberapa bulan kemudian (tahun 1990) Muhammadiyah Bungaraya membeli sebidang tanah  seluas 2000 m2 dan direncanakanlah ditanah tersebut membangun sebuah mesjid milik muhammadiyah dan berhasil dibangun tahun 1991 sekaligus dimanfaatkan diserambi mesjid untuk TK ABA.

 

Masa Jabatan  1990-1995

            Pada Musyawarah Cabang ke-10 Muhammadiyah Sungai Apit, kembali terpilih  H. Mukhtar sebagai Ketua, dan Sekretaris Baharuddin, Sm. (akan tetapi disebabkan beberapa masalah internal tahun 1993  sekretaris PCM; Baharuddin, Sm, mengundurkan diri dan dilanjutkan oleh Zulfi Mursal sebagai Sekretaris PCM Sungai Apit yang ketika itu sekretaris Bahagian Tabligh PCM Sungai Apit).

            Selanjutnya menjelang Pemilu tahun 1992, ditahun 1991 H. Mukhtar menjalin hubungan baik dengan kepala desa Bungaraya, dimana ketika itu Kepala Desa dibebankan oleh Pemerintah Orde Baru untuk memenangkan Golkar di Desa tersebut. Dan ini merupakan beban kepala desa di seluruh Indonesia. Disebabkan hal tersebut Kepala Desa Bunga Raya berharap kepada warga Muhammadiyah untuk memenangkan Golkar di wilayahnya. Maka dengan gaya politik yang diperankan H. Mukhtar selaku Ketua PC Muhammadiyah Sungai Apit demi kepentingan Muhammadiyah, maka Kepala Desa Bungaraya (Effendi) mewakafkan tanah untuk Muhammadiyah seluas 3 hektar. Dilahan tersebut pada tahun 1995 dibangun gedung TK ABA yang permanen, secara gotong royong oleh warga Muhammadiyah Bungaraya.

            Sejalan dengan pengajian yang dilaksanakan di Bungaraya pada 1990 yang membuahkan Ranting Muhammadiyah Bungaraya, H. Mukhtar dan beberapa orang warga Muhammadiyah juga mengembangkan ide Muhammadiyah ke Desa Dosan yang letaknya berseberangan dengan Desa Bungaraya. Dengan koneksi yang dijalin oleh H. Mukhtar dan para pedagang Muhammadiyah, maka tahun 1990 itu juga berdiri Ranting Muhammadiyah Dosan yang diketuai oleh Buyung Hitam (sebelumnya Buyung Hitam adalah seorang yang anti Muhammadiyah sejak awalnya, akan tetapi ketika pengajian Muhammadiyah sudah berkembang pesat di Bungaraya, beliau memiliki ketertarikan dengan misi dakwah yang diajarkan oleh Muhammadiyah. Beliau menemui H. Mukhtar di Pasar Bungaraya dan menyatakan masuk Muhammadiyah serta siap memimpin dan mengembangkan Muhammadiyah di desanya (Dosan).

            Pada tahun 1991 PC Muhammadiyah Sungai Apit mendapat kepercayaan kembali dari PP Muhammadiyah untuk membangun mesjid dan periode ini sekaligus 2 unit mesjid dengan ukuran 11 m x 11 m. maka ditempatkanlah pembangunan Mesjid tersebut di Ranting Muhammadiyah Dosan dan Ranting Muhammadiyah Tanjung Kuras.

            Pada tahun 1992 Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kodya Pekanbaru melimpahkan kepada Cabang Sungai Apit satu Ranting Muhammadiyah di Desa ubuk Dalam, yang sebelumnya dalam binaan PDM Kodya Pekanbaru. Kemudian oleh PCM Sungai Apit membina Ranting tersebut, sehingga pada tahun yang sama PCM sungai Apit mengembangkan Muhammadiyah di daerah Buatan dan sekitarnya dengan basis areal perkebunan kelapa sawit. Hasil dari pengembangan tersebut, maka berdirilah Ranting Muhammadiyah Sialang Sakti dengan ketua A. Fatah, berselang beberapa bulan berdiri pula Ranting Muhammadiyah Keranji Guguh dengan ketua Siregar. Selanjutnya berdiri ranting Afdling IX, dan Afdling X.

            Tahun 1993 H. Mukhtar masih tetap melakukan perjalan bisnis (dagang) ke Jakarta dan setiap kali ke Jakarta beliau menyempatkan diri mampir di kantor PP Muhammadiyah Jakarta. Tokoh yang sering beliau temui di kantor PP Muhammadiyah Jakarta adalah Ramlli Thoha, Lukman Harun, dan lain-lain.

Maka pada tahun ini juga PC Muhammadiyah Sungai Apit mendapat kepercayaan kembali bantuan satu unit mesjid berukuran 11 m x 11 m. oleh PC Muhammadiyah Sungai Apit ditempatkanlah bangunan mesjid tersebut di ranting Muhammadiyah Sialang sakti.  Dimesjid itulah dipusatkan seluruh kegiatan muhammadiyah Sialang Sakti, seperti MDA, Wirid-wirid Pengajian, dan TPA.

            Pada perkembangan selanjutnya 5 ranting yang berada diwilayah lubuk Dalam, dan Buatan tersebut bersepakat mendirikan sebuah perguruan Muhammadiyah tingkat SLTA. Maka pada tahun 1994 berdiri SMA Muhammadiyah Buatan yang berlokasi di Ranting Afdling X.

            Pada tahun 1993 PC Muhammadiyah Sungai Apit mendirikan pula Ranting Muhammadiyah Sialang Para desa Teluk Mesjid, Dan mendapat wakaf dari Abdurrahman sebidang tanah seluas 1 hektar yang masih berisi tanaman karet siap panen. Sehingga hasil tanaman karet tersebut dipergunakan untuk keperluan dakwah Muhammadiyah. Dari hasil tanaman karet yang dapat dikumpulkan tersebut ditambah dengan Infaq warga Muhammadiyah, maka didirikanlah satu buah mesjid yang permanen berukuran 10 m x 12 m, dan disamping mesjid tersebut dibangun pula bangunan gedung MDA semi permanen sebanyak 2 lokal.

Satu hal yang tak dapat dilupakan oleh H. mukhtar dalam mengembangkan dan membina Muhammadiyah ranting Sialangpara, ada satu dusun yang bernama Merambai dan bertetangga dengan Sialangpara, dimana Masyarakat tersebut sangat membenci kebaradaan Muhammadiyah. Pada suatu kali ketika H. mukhtar akan melakukan perjalanan ke sialangpara guna mengisi pengajian di ranting tersebut, sekelompok warga dusun merambai yang sangat benci kepada Muhammadiyah membuat sebuah jebakan kepada rombongan muhammadiyah yang dipimpin oleh H. Mukhtar menuju ranting sialang para, dimana sebuah jembatan di buat roda oleh warga tersebut dengan tujuan ketika rombongan ini lewat akan tergelincir jatuh kedalam parit.

            Akan tetapi dari sekian orang warga ada salah seorang warga yang masih punya hubungan keluarga dengan H. Mukhtar menghadang niat jahat sekelompok warga tersebut, yang pada akhirnya roda yang dipasang dijembatan tersebut terpaksa di buka kembali. Maka selamatlah rombongan Muhammadiyah menuju Ranting Sialangpara dengan niat menyebarkan ajaran Islam yang bersumber dari alquran dan sunnah.

            Tahun 1994 PC Muhammadiyah mendapat bantuan dari PP Muhammadiyah melalui bantuan luar negeri untuk membangun perkebunan Muhammadiyah dan oleh PC Muhammadiyah Sungai Apit di beli sebidang kebun seluas 3 hektar yang bertempat  di Ranting Sungai Tengah  berisi kebun karet, guna untuk menunjang perekonomian Muhammadiyah dalam membiayai amal usaha Muhammadiyah Se Cabang Sungai Apit.

 

Masa Jabatan 1995-2000

            Sebelum diselenggarakan Musyawarah Cabang Ke-11 Muhammadiyah Sungai Apit, pada tahun 1995 PCM Sungai Apit berfikir ke sektor ekonomi Muhammadiyah dengan pengembangan perkebunan kelapa sawit. Pemikiran ini muncul disebabkan lahan Muhammadiyah di Desa Jatibaru seluas 6 hektar hanya diisi oleh bangunan mesjid dan MTs Muhammadiyah Jati baru, sedangkan selebihnya  sekitar 5 hektar tidak terawat.

            Oleh karenanya, Muhammadiyah sungai apit berfikir bahwa lahan tersebut mesti dimanfaatkan. Sehingga tercetuslah semangat untuk menanam Kelapa Sawit dilahan yang masih kosong tersebut. Pada saat itu berbagai macam pertentangan di internal persyarikatn muncul dan beberapa kelompok pesimis hal ini dapat diwujudkan. Akan tetapi dengan semangat kebersamaan yakni dengan cara meminta infaq dari seluruh warga Muhammadiyah program penanaman perkebunan kelapa sawit ini dapat terlaksana, dan saat ini sudah menghasilkan.

Tahun ini juga (1995) timbul pula pemikiran PCM Sungai Apit untuk meningkatkan Sektor Pendidikan di Cabang Muhammadiyah Sungai Apit.

            Melalui rapat dan pembicaraan yang panjang dan berbagai polemik yang muncul di internal persyarikatan, akhirnya diputuskan untuk mendirikan MTs Muhammadiyah sekaligus MA Muhammadiyah Sungai Apit, dan bulan juli 1995 menerima murid baru dengan lokal bertempat di lantai 2 mesjid taqwa Sungai Apit yang dipetak-petak menjadi lokal belajar, meskipun pada saat itu izin operasionalnya belum terbit dari Dinas Pendidikan.

Timbul pemikiran bahwa pada tahun-tahun berikutnya disebabkan akan semakin bertambahnya tingkatan kelas untuk MTs dan MA Muhammadiyah Sungai Apit tersebut, sehingga lantai 2 Mesjid taqwa Sungai Apit tidak akan mungkin representatif dalam melaksanakan proses belajar mengajar, maka muncul pemikiran PCM Sungai apit untuk membeli lahan guna akan dibangun Gedung Sekolah, khusus untuk MTs dan MA Muhammadiyah Sungai Apit, yang baru terealisir tahun 2001.

            Tahun 1996 di selenggarakan Musyawarah Cabang ke-11 Muhammadiyah Sungai Apit, dan kembali terpilih sebagai Ketua H. mukhtar, sebagai Sekretaris Zulfi Mursal. Pada Musyawarah Cabang ke-11 ini dipisahkan/dimekarkan pula 5 ranting yang berada di Lubuk dalam dan Buatan Kecamatan Siak menjadi Cabang Muhammadiyah Siak (saat ini menjadi kecamatan Dayun). Sehingga tanggung jawab PCM Sungai Apit dalam hal pembinaan 5 ranting tersebut dipercayakan kepada Muhammadiyah Cabang Siak yang berpusat di Sialang sakti.

            Tahun 2000 PCM Sungai Apit menambah areal Komplek Muhammadiyah Sungai Apit dengan membeli tanah milik M. Siddiq berukuran 30 m x 60 m dan diatas tanah tersebut dibangun SD Muhammadiyah yang permanen bantuan dari Pemerintah provinsi riau sebanyak 9 lokal.

            Tahun 2001 PCM Sungai Apit membeli sebidang tanah di Jl. Sudirman seluas lebih kurang 9000 m2. dan pada tahun 2002 dibangun MTs Muhammadiyah yang permanen bantuan Pemerintah Kabupaten Siak sebanyak 3 lokal ruang belajar dan 1 unit ruang kantor.

 

Masa Jabatan 2000-2005

            Akibat berbagai permasalahan internal persyarikatan dan suhu politik yang mengarah kepada tumbangnya rezim Orde Baru dan mulainya Era Reformasi, serta adanya rangkap jabatan Ketua/Sekretaris PCM Sungai Apit dan PD Muhammadiyah Siak oleh H.Mukhtar/Zulfi Mursal, juga membawa efek kepada Muhammadiyah Cabang Sungai Apit. Sehingga pelaksanaan Musyawarah cabang Ke-12 yang seharusnya dilaksanakan pada tahun 2000/2001, terlambat dilaksanakan. Baru pada bulan januari tahun 2003 dapat diselenggarakan Musyawarah Cabang ke-12 Muhammadiyah Sungai Apit dengan terpilihnya H. M. Sahir sebagai Ketua, dan M. Isyak Rasyidi sebagai Sekretaris.

            Tahun 2003 Muhammadiyah Sungai Apit mendapat bantuan bangunan MA Muhammadiyah Sungai Apit  sebanyak 3 lokal ruang belajar dan 1 unit ruang kantor dari Pemerintah Daerah Kabupaten Siak. Hingga saat ini MTs dan MA Muhammadiyah Sungai Apit masih tetap berjalan sebagaimana mestinya dan telah memiliki tanah dan bangunan lokal yang permanen satu unit Marching Band dalam mengisi kegiatan kesiswaan dan sudah tampil diberbagai even tingkat kecamatan dan Kabupaten,

 

Berdirinya Pimpinan Daerah Muhammadiyah Siak

            Pada tanggal 12 Oktober 1999 Kabupaten Siak dimekarkan dari Kabupaten Bengkalis, sehingga Muhammadiyah juga secara otomatis ikut dimekarkan dari Daerah Kabupaten Bengkalis. Maka pada Bulan Desember 1999 resmi dicetuskan berdirinya Muhammadiyah Daerah Siak dengan ketua H. Mukhtar dan Sekretaris Zulfi Mursal, dan menjadi salah satu peserta pada Muktamar muhammadiyah ke-43 tahun 2000 di Jakarta. Pada periode ini belum banyak hal yang dapat dilakukan oleh Pimpinan Daerah Siak dalam mengembangkan Muhammadiyah di Wilayah Kabupaten Siak.


Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website